Tudingan sebagai sosok dengan kebijakan intoleran ataupun diskriminatif ditampik dengan tegas oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam sebuah kesempatan belum lama ini. Namun demikian, mengapa narasi tersebut bisa muncul saat ini dan bagaimana dampaknya bagi karier politik Anies ke depannya?
Perhatian langsung tersorot pada sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika dalam sebuah kesempatan di awal pekan ini, dirinya mengklaim bahwa selama ini tidak pernah menelurkan kebijakan intoleran maupun diskriminatif selama mengampu jabatan DKI 1.
Seketika berbagai tanggapan mewarnai klaim Anies tersebut. Salah satunya datang dari Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Mujiyono yang menyarankan Anies agar lebih santai menyikapi hal bernada politis tersebut dan sebaiknya fokus pada persoalan di depan mata seperti penanganan pandemi Covid-19 di Ibu Kota.
Respon berbeda hadir dari pengamat politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin. Menurutnya, Anies memang punya celah untuk disudutkan sebagai pemimpin intoleran karena dicitrakan dekat dengan PA 212 sebagai buntut polemik Pilkada DKI Jakarta 2017 silam.
Terlebih lagi, Ujang menyebut bahwa bagaimanapun Anies memiliki proyeksi untuk berkontestasi di Pilpres 2024. Pembingkaian Anies sebagai sosok intoleran atau diskriminatif dikatakan Ujang adalah upaya pembusukkan karakter, popularitas, dan elektabilitasnya sejak dini secara politik.
Memang, dinamika demokrasi di Indonesia selalu meniggalkan pelajaran berharga. Politik identitas salah satunya. Pilkada DKI Jakarta 2017 dinilai merupakan klimaks tertinggi eksistensi panggung bagi politik identitas sejak era reformasi.
Jamak diketahui bahwa aktor-aktor yang terlibat kala itu seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Rizieq Shihab, hingga Ma’ruf Amin menjadi pivot signifikan terkonstruksinya tendensi politik identitas.
Isu SARA seketika terbukti menjadi salah satu senjata ampuh yang mendistorsi persepsi publik hingga dinilai berdampak signifikan pada mengejutkannya hasil akhir Pilkada DKI Jakarta 2017 itu sendiri.
Francis Fukuyama dalam Identity: Contemporary Identity Politics and the Struggle for Recognition juga menjelaskan bahwa terdapat fenomena kemerosotan demokrasi secara global dengan menguatnya politik identitas dan nasionalisme yang diartikan secara sempit.
Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2016 disebut Fukuyama sebagai salah satu sampel utama kentalnya politik identitas, terutama bagi supremasi kelompok tertentu. Secara umum Fukuyama menyebut politik identitas merupakan ancaman, tidak hanya terhadap demokrasi tetapi juga martabat manusia.
Menurut peneliti politik Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, politik identitas pada Pilkada DKI Jakarta 2017 bahkan melemahkan kultur kritis masyarakat hingga saat ini yang cenderung memaknai perbedaan pandangan politik dengan labelisasi tertentu, seperti “komunis”, “syiah”, “LGBT”, meski acapkali tak sesuai dengan substansinya.
Begitu “latennya” bahaya dari politik identitas seperti yang disebutkan Fukuyama serta Wasisto di atas membuat penyangsian Anies atas tudingan intoleran dan diskriminatif terhadap kebijakannya sebagai gubernur menjadi signifikansi tersendiri.
Namun argumen Ujang Komarudin sebelumnya bahwa isu politik identitas berupa kesan intoleran dan dikriminatif merupakan upaya pembusukan popularitas dan elektabilitas Anies agaknya juga menjadi menarik untuk didalami.
Terutama jika hal tersebut dikaitkan dengan mengapa narasi yang entah kapan dan dari mana berhembus tersebut tiba-tiba langsung ditampik dengan cukup “nge-gas” oleh Anies. Lantas, apa yang dapat dipahami dari hal ini?
Anies Sedang Self-Framing?
Satu hal yang mungkin luput dari perhatian ialah Anies membantah tudingan intoleran dan diskriminatif terhadap dirinya ketika tudingan itu sendiri tampak nihil atau belum terlihat memuncak saat ini.
Meskipun menurutnya narasi bahwa dirinya intoleran dan diskriminatif diframing sejak masa kampanye pilkada hingga sekarang, tendensi akan adanya “sesuatu” yang mungkin saja Anies ingin publik lihat di balik bantahannya tersebut menjadi terbuka.
Cristina Archetti dalam Politicians, Personal Image and the Construction of Political Identity menyebut bahwa bagi pejabat maupun politisi, pembentukan gambaran personal yang positif merupakan aspek esensial bagi citra profesionalitas politik.
Profesionalitas politik yang dikemukakan Archetti itulah yang dinilai berusaha Anies tunjukkan ke khalayak dengan bantahan akan tudingan pemimpin dengan kebijakan intoleran dan diskriminatif.
Lebih dalam, ketika klaim personalnya itu diuji, terbukti memang bahwa DKI Jakarta merupakan daerah yang paling demokratis berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019.
Bahkan, torehan tersebut diiringi pemecahan rekor indeks tertinggi demokratis di Indonesia selama 11 tahun perhitungan statistik tersebut. Perhitungan rinci indikatornya pun berkaitan erat dengan isu toleransi dan diskriminasi.
Dengan kata lain, bisa saja klaim Anies bukan hanya sebatas bantahan, melainkan juga sebagai upaya konstruksi personal yang bertujuan membuat perhatian publik secara otomatis tertuju pada pencapaian positif yang impresif dari wilayah yang dipimpinnya.
Dan dengan tereksposnya hal tersebut, pada saat yang sama gambaran personal atas profesionalitas politik seperti yang disebutkan Archetti di atas juga secara otomatis terkonstruksi pada Anies Baswedan sebagai sosok yang mampu untuk tidak “terjerat” politik identitas haluan manapun seperti yang disebut Fukuyama sebelumnya, meski konteks tersebut dianggap turut berperan dalam kemenangannya pada Pilkada DKI Jakarta edisi terakhir.
Lantas sejauh manakah preseden berbentuk keuntungan citra positif secara personal tersebut akan berdampak pada karier politik Anies ke depannya?
Anies Pilih Pilkada 2022 atau Pilpres 2024?
Suka atau tidak, sulit dipungkiri dengan kemampuannya selama ini Anies menjadi salah satu sosok dengan elektabilitas mumpuni dalam kancah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dalam berbagai survei belakangan ini.
Akan tetapi, lembaga survei dan publik mungkin luput mengkalkulasikan satu agenda politik penting yang kiranya dapat mengubah konstelasi politik nasional secara signifikan. Ya, Pilkada DKI Jakarta tahun 2022, yang bertepatan dengan habisnya masa jabat Anies Baswedan.
Jika berkaca pada edisi sebelumnya, Pilkada DKI Jakarta 2022 dianggap juga akan menjadi batu loncatan bagi berbagai sosok maupun partai politik (parpol) manapun untuk memetakan kekuatan pada agenda puncak demokrasi dua tahun setelahnya, yakni Pilpres 2024.
Nathaniel Rakich dalam Which Offices Are Good Stepping Stones to the Presidency? menjelaskan bahwa terdapat beberapa posisi yang menjadi batu loncatan terbaik sebelum memasuki kontestasi Pilpres di Amerika Serikat (AS).
Rakich menjabarkan bahwa sejak tahun 1824, posisi jabatan sipil yakni gubernur negara bagian, senator, dan menteri di kabinet menjadi tiga batu loncatan terakhir paling sukses bagi sosok kandidat di pilpres maupun yang berhasil terpilih sebagai Presiden AS.
Konteks batu loncatan juga dikaji oleh Frank McQuade dalam Stepping Stone Or Stumbling Block: How Soon for Political Advance? yang menyebutkan jika penggunaan posisi atau jabatan tertentu sebagai batu loncatan bagi karier politik berikutnya, dapat berbalik menjadi sebuah kerugian besar ketika dianggap tidak memiliki pencapaian atau justru berbuat blunder dan tidak dikalkulasikan secara matang.
Pada konteks Anies, jika memang Pilpres 2024 akan dijadikan ajang pamungkas karier politiknya, sosok eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu semestinya juga memerhatikan keterlibatannya dalam Pilkada DKI Jakarta 2022.
Tidak hanya sebagai batu loncatan seperti yang disampaikan Rakich, tetapi juga kalkulasi bahwa di antara kandidat potensial lainnya seperti Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, maupun Ganjar Pranowo, hanya Anies yang masa baktinya “nanggung” jika berbanding dengan Pilpres di tahun 2024.
Prabowo sebagai Menteri Pertahanan akan habis masa jabatannya tepat saat Pilpres berlangsung, sementara Kang Emil dan Ganjar yang penghujung masa baktinya pada tahun 2023 dinilai sangat ideal bagi persiapan kontestasi Pilpres 2024.
Pada titik ini, kalkulasi seperti yang disebutkan McQuade menjadi menarik. Jika tidak mencalonkan kembali dalam Pilkada DKI Jakarta 2022, Anies otomatis menganggur dan dinilai akan kehilangan signifikansi politiknya.
Namun jika Anies mencalonkan diri kembali sebagai petahana, ada peluang untuk kalah dan menang, yang sama-sama memiliki konsekuensi politik tersendiri. Faktor parpol serta “kelompok” mana yang juga akan mendukungnya pun dinilai akan sangat menentukan.
Pengamat politik yang juga pakar hukum tata negara, Refly Harun pada medio Juli lalu sempat memprediksi bahwa Anies akan mengikuti langkah Joko Widodo (Jokowi) yang menjadikan Pilkada DKI Jakarta 2012 sebagai batu loncatan untuk bertarung di Pilpres 2014.
Akan tetapi khusus bagi Anies, sosoknya yang non-partisan menjadikan dirinya cukup sulit untuk dikalkulasi secara dukungan politik, sebelum masa jabatannya berakhir plus keputusan langkah politiknya secara personal ditentukan.
Bagaimanapun, Pilkada DKI Jakarta 2022 dengan apapun dinamika isunya nanti akan sangat menarik bagi Anies, tentang apakah ajang tersebut akan menjadi batu loncatan atau justru batu sandungan bagi karier politiknya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.