Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merupakan politisi yang kerap membangun monumen. Mulai dari instalasi bambu, instalasi batu, tugu sepeda, hingga tugu sepatu. Mengapa Anies gencar membangun monumen yang pada dasarnya tidak mendatangkan manfaat ekonomi?
“Statues to great men are made of the stones thrown at them in their lifetime.” – Jean Cocteau, penyair Prancis
Sejak awal menjabat Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sudah menunjukkan ketertarikan khusus pada pembangunan monumen-monumen fisik. Pada Agustus 2018, misalnya, Anies meresmikan instalasi seni bambu yang bernama Getah Getih. Saat itu, instalasi ini mendapat hujanan kritik karena dinilai sia-sia dan membuang-buang anggaran. Pasalnya, instalasi yang menghabiskan anggaran Rp550 juta ini diperkirakan hanya bertahan selama 6-12 bulan. Dan benar saja, pada Juli 2019, instalasi bambu tersebut dibongkar karena sudah mulai rapuh.
Tidak berselang lama, pada Agustus 2019, lokasi instalasi bambu kemudian diisi oleh instalasi seni baru yang tidak lagi berbahan bambu, melainkan rangkaian batu. Menelan biaya Rp150 juta, rangkaian batu bronjong tersebut disebut dengan Gabion. Terdiri dari tiga rangkaian batu, yang dua di antara setinggi 160 cm dan satunya 180 cm. Instalasi ini juga tidak bertahan lama karena dibongkar pada Desember 2019, namun dipasang kembali pada Januari 2020.
Baca Juga: Monas adalah Milik Anies?
Pada April 2021, Anies juga kembali menuai sorotan karena proyek tugu sepeda di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, diketahui mangkrak. Biaya proyek ini juga fantastis, yakni sebesar Rp800 juta. Terbaru, pada September 2021, ada tugu sepatu yang juga terletak di kawasan Sudirman. Kendati tidak menggunakan APBD, tugu sepatu juga menuai sorotan karena hanya bertahan beberapa hari. Setelah menjadi sasaran vandalisme, tugu ini dipindahkan oleh Pemprov DKI.
Terlepas dari pro-kontra yang ada, menjadi menarik untuk ditanyakan, mengapa Anies begitu giat membangun monumen-monumen seperti itu? Bukankah monumen-monumen seperti instalasi bambu, instalasi batu, tugu sepeda, dan tugu sepatu tidak mendatangkan manfaat ekonomi?
Monumen-monumen tersebut juga menghabiskan anggaran besar dan tidak bertahan lama. Dengan cost sebesar itu, sulit membayangkan tidak ada kalkulasi politik di baliknya. Lantas, kalkulasi politik apa yang membuat Anies melakukannya?
Statumania
William Cohen dalam tulisannya Symbols of Power: Statues in Nineteenth-Century Provincial France, dengan mengutip sejarawan Maurice Agulhon, menyebutkan istilah menarik yang tepat untuk menggambarkan aktivitas politik Anies tersebut, yakni statumania.
Istilah itu digunakan Agulhon untuk menggambarkan perubahan perilaku politisi-politisi Prancis di abad ke-19, yang tidak lagi mengekspresikan ideologi dan komitmennya melalui kata-kata, melainkan melalui pembangunan monumen-monumen fisik. Menurut Cohen, mereka bermaksud untuk meninggalkan jejak-jejak pemikirannya di ruang-ruang publik. Ini disebut sebagai penguasaan ruang.
Abad ke-19 merupakan era statumania, di mana elite-elite Prancis memiliki hasrat yang besar dan mengontrol pembangunan monumen-monumen untuk mengingat tokoh lokal, nasional, historis, dan kontemporer.
Menimbang pada hasrat besar Anies atas pembangunan berbagai monumen, mantan Rektor Universitas Paramadina ini mungkin menggambarkan aktivitas elite politik Prancis di abad ke-19. Ia merupakan seorang statumania. Seperti kata Cohen, Anies hendak menunjukkan pemikirannya melalui berbagai monumen yang dibangun.
Monumen-monumen tersebut memiliki beragam makna filosofis. Instalasi bambu menunjukkan perjuangan kemerdekaan, dan instalasi batu menggambarkan tiga elemen, yakni tanah, air, dan udara. Sementara tugu sepeda dan tugu sepatu menunjukkan dukungan politik Anies atas suatu kebijakan.
Baca Juga: Anies, Sepeda dan Politik
Seperti namanya, tugu sepeda dimaksudkan sebagai penghargaan atas para pesepeda di ibu kota. Sementara, tugu sepatu merupakan simbol harapan untuk mendukung industri kreatif di Indonesia agar dapat bangkit dalam menghadapi masa-masa sulit.
Mengutip Robin Jeffrey dalam tulisannya What the Statues Tell: The Politics of Choosing Symbols in Trivandrum, monumen-monumen tersebut menunjukkan secara implisit political statement yang diusung Anies.
Jika diterjemahkan, keempat monumen tersebut menunjukkan bahwa Anies mengingat jasa pahlawan, mengenang semangat dalam merebut kemerdekaan, concern atas alam yang menjadi pilar kehidupan, mendukung transportasi massa, mengurangi emisi karbon, dan mendukung industri kreatif.
Indeks Sosial
Mengutip istilah peneliti senior Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Abdul Hamid, Anies sedang membuat “indeks sosial” terhadap dirinya. Istilah itu diadopsi dari indeks dalam buku yang menunjukkan istilah-istilah penting yang berada dalam buku.
Artinya, Anies ingin mencatatkan poin ke tengah masyarakat bahwa melalui monumen tersebut, ia memiliki pemikiran, ideologi, dan dukungan penting yang harus diingat. Itu cara agar masyarakat mudah mengingat, menemukan, mengenang, dan mengapresiasinya.
Istilah “indeks sosial” ini menjadi penting, khususnya secara politik apabila kita mengelaborasinya dengan pernyataan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno ketika mengomentari roasting komika Kiky Saputri terhadap Anies di program acara Lapor Pak Trans7 baru-baru ini.
Menurut Adi, roasting Kiky secara implisit menunjukkan bagaimana membekasnya hasil kinerja Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama atau yang akrab disapa Ahok. “Itu kesan sederhananya bahwa di mata Kiky yang membekas di Jakarta itu Gubernur Ahok, bukan Gubernur Anies,” ungkapnya.
Simpulan itu misalnya ditarik Adi dari pernyataan Kiky yang berbunyi, “Kita kedatangan tamu luar biasa. Seorang gubernur, sosok pemimpin hebat. Tepuk tangan dong buat Pak Ahok.”
Sekilas, mungkin analisis yang disebutkan Adi dipandang sebelah mata. Namun, apabila kita merujuk pada tulisan Bendor Grosvenor yang berjudul When the politics change, so must the statues, pemaknaan menarik akan didapatkan.
Menurut Grosvenor, ada fenomena menarik yang bahkan telah terjadi sejak era kekaisaran Romawi, di mana penguasa baru pasti menghapus peninggalan penguasa lama, khususnya yang berupa peninggalan fisik. Tujuannya mudah ditebak, agar masyarakat tidak lagi mengingat penguasa lama dan fokus pada penguasa baru.
Senada, Gautam Bhatia dalam tulisannya Statues have become less about history, and more about politics juga menyebutkan bahwa pembangunan monumen telah menjadi begitu politis karena pembangunannya tidak lagi diperuntukkan untuk mengenang sejarah, melainkan sebagai legacy pejabat yang membuatnya.
Baca Juga: Kok Mau Anies Di-roasting Kiky?
Apa yang dijelaskan Grosvenor terlihat dilakukan Anies. Instalasi bambu, misalnya, itu merupakan “politik pembeda”. Alih-alih memasang lampu merah-putih di gedung dan jalanan seperti era Ahok, Anies justru membangun instalasi bambu untuk menyambut HUT RI.
Ada pula berbagai kebijakan yang menunjukkan perbedaan kentara dengan Ahok. Salah satunya adalah mengubah konsep trotoar di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin, yang sebelumnya hanya untuk pejalan kaki, menjadi tempat yang bisa dimanfaatkan untuk pentas seni dan kebudayaan. Selain itu, Anies juga membangun tiga wilayah yang pernah digusur di era Ahok, yakni Kampung Susun untuk korban penggusuran Bukit Duri, Kampung Susun di dekat Kota Tua, dan Kampung Akuarium.
Kembali mengutip Abdul Hamid, melalui diferensiasi kebijakan tersebut, Anies hendak mencatatkan indeks sosial agar masyarakat lebih mengingatnya daripada Ahok – setidaknya legacy Ahok tertutup oleh program-program Anies.
Well, sebagai penutup, sekiranya dapat dikatakan bahwa Anies adalah seorang statumania. Melalui berbagai monumen tersebut ia ingin mencatat sejarah politiknya. (R53)