Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan kalau kebijakan penataan Pedagang Kecil Menengah (PKM) Tanah Abang di jalan Jatibaru dapat dilaksanakan sampai dua tahun ke depan.
PinterPolitik.com
Sang ‘komandan’ penataan Tanah Abang itu juga mengimbau masyarakat agar bersabar dan tidak terlalu dini menilai kebijakan Pemprov DKI ini secara negatif. Menurutnya, hasil dari penataan PKL dengan menduduki badan jalan, baru akan terlihat satu tahun ke depan.
Asumsi Sandi, dalam satu tahun ke depan akan ada pembiasaan masyarakat untuk menaiki Transjakarta gratis yang disediakan untuk mengitari Tanah Abang, serta ada progres proyek Pemprov untuk membenahi Tanah Abang.
Pemerintahan Anies-Sandi memang memiliki rencana besar untuk merombak Tanah Abang. Cetak birunya yang tergambar adalah bagaimana mereka menginginkan Tanah Abang menjadi daerah transit komuter sekaligus pasar yang tertata dengan Transit Oriented Development. Pemprov akan merangkul pengembang properti bangunan Tanah Abang, perusahaan transportasi daring, serta PT Kereta Api Indonesia selaku pengelola Stasiun Tanah Abang untuk menyukseskan program tersebut.
Rencana yang visioner tentu saja, namun ada residunya. Kini Tanah Abang terlihat jadi bermasalah karena premanisme kembali beroperasi. Belum lagi, ada kabar bahwa sebagian PKM yang berjualan sebenarnya adalah pemilik toko di Blok A dan B yang ‘ekspansi’ untuk meraih pasar lebih banyak di jalanan. Protes masyarakat berupa petisi dan protes Polda Metro Jaya pun diabaikan Pemprov, dengan dalih bahwa PKM belum dapat ditertibkan dan karena Blok G akan direnovasi dahulu.
Dengan cara penataan yang cenderung dipaksakan begini, tak ayal publik jadi kebingungan dan bertanya-tanya. Apa memang harus seperti ini ide perbaikan di Tanah Abang? Atau, jangan-jangan di balik program tersebut, ada seseorang yang diuntungkan?
Triple Threat Match: Ucu vs Lulung vs Djan
“Meludah saja bisa jadi duit.”
-Abraham Lunggana atau Haji Lulung-
Alkisah, Tanah Abang adalah lahan perebutan dua jawara, yakni jawara lokal M Yusuf bin Muhi atau Bang Ucu melawan jawara timur Hercules Rosario Marshal yang biasa dipanggil Hercules. Singkat kata, keduanya ‘berperang’ di akhir dekade 1990-an. Peperangan dimenangkan oleh Bang Ucu. (Baca juga: Potret Negara di Tanah Abang)
Abraham Lunggana, atau Haji Lulung yang kita kenal saat ini, memulai karirnya dengan menjadi anak buah Hercules untuk mengoleksi setoran dari pedagang pasar. Selepas Hercules kalah, Lulung kemudian jadi ‘buron’ kelompok Bang Ucu karena dianggap pengkhianat.
Bang Ucu kemudian mengendur pada awal tahun 2000-an, dan menawarkan Lulung menjadi anak buahnya. Maka, setelah menjadi bagian kelompok preman Bang Ucu, Lulung dipercaya mengendalikan perpakiran dan keamanan di Tanah Abang.
Seribu sial bagi Bang Ucu, insting Lulung untuk berbisnis ternyata begitu kuat. Jauh lebih kuat dari Bang Ucu, demikian kata Lulung sendiri.
Setelah dipercaya oleh Bang Ucu, Lulung justru membuat perusahaan sendiri atas namanya. PT Putrajaya Perkasa yang didirikannya mengambil jalur legal-formal untuk pengelolaan Tanah Abang, dengan mengajukan tender kepada Pemprov DKI, waktu itu dipimpin Sutiyoso.
Sejak saat itu, bisnis Bang Ucu semakin terpinggir oleh karena akses Lulung yang lebih besar ke pemerintahan. Tak hanya legal di mata pemerintah, Lulung pun menambah pundi-pundi kekayaannya dengan menjadi broker bagi pengembang yang ingin berinvestasi di Tanah Abang. Dari usaha itu, Lulung berkenalan dengan Djan Faridz, bos PT Primanaya Djan, yang ingin berinvestasi membangun gedung-gedung di Tanah Abang yang bisa kita lihat sekarang.
Kekayaan dan kekuasaan Haji Lulung akhirnya semakin menggurita, sementara Bang Ucu semakin karatan.
Karir politik Lulung pun beririsan dengan Djan Faridz di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Di Jakarta sendiri, Djan Faridz adalah tokoh penting, karena bisnisnya menguasai Tanah Abang sejak 2004, sekaligus ia juga adalah bendahara Nadhlatul Ulama (NU) Jakarta. Djan kemudian semakin aktif di PPP saat ia menjadi Menteri Perumahan Rakyat di tahun 2011.
Sementara Lulung adalah salah satu sosok pembesar PPP Jakarta pasca-Orde Baru. Sempat keluar dan masuk kembali pada 2004, Lulung kemudian mengawinkan kekuatan bisnis Tanah Abang-nya dengan PPP. Ia kemudian menjadi anggota DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 dengan basis massa warga Tanah Abang.
Djan Faridz yang menguat di pusat, kemudian terpilih menjadi Ketua Umum PPP 2014-2019. Lulung, sudah pasti mengikuti Djan. Namun, sejak tahun 2016 menyambut Pilkada DKI 2017, Djan dan Lulung sepakat berpisah jalan. Ada apa?
Ternyata, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang berkuasa sejak 2014 menjadi penyebabnya. Dengan Lulung, Ahok banyak berkonflik, terutama karena cara Ahok menata PKL Tanah Abang untuk tidak berjualan di trotoar dan memasukkan mereka ke Blok G. Lulung ketar-ketir, Tanah Abang yang ia cengkram kuat melalui para preman mulai diusik oleh Ahok.
Secara kontras, Ahok memiliki relasi yang jauh lebih baik dengan Djan Faridz. Sebabnya, PT Primanaya Djan berhasil di mediasi dengan PD Pasar Jaya oleh Ahok. Ahok memperbaiki hubungan setelah adanya konflik kedua perusahaan pada era Fauzi Bowo, yakni tahun 2008-2011. Djan kemudian berterimakasih kepada Ahok dan secara resmi—walaupun PPP kubu Djan Faridz tak diakui hukum—mendukung Ahok.
Juga, tak hanya dukungan dari Djan, Bang Ucu yang lama menghilang, muncul dengan dukungan kepada Ahok. Ya, Bang Ucu comeback dengan berpihak kepada Ahok.
Sehingga, peta kekuasaan Tanah Abang pra-Pilkada 2017 sesungguhnya menguntungkan Ahok. Ada Bang Ucu dengan penataan reformis Tanah Abang alanya, yang juga memiliki basis massa loyal di sana, dan dari sektor pengembangan bisnis, ada Djan Faridz, yang memiliki relasi baik dengan PD Pasar Jaya di bawah kendali Ahok. Sementara, Lulung terkatung-katung sendirian. Membela Agus-Silvy pada putaran pertama, lalu beralih kepada Anies-Sandi di putaran kedua.
Kemenangan Anies atas Ahok di seluruh Jakarta, kemudian membuka jalan bagi Lulung di Tanah Abang. Lulung punya kesempatan untuk mengembalikan pengaruhnya di sana, yang hilang sepanjang era Ahok-Djarot, tergerus akibat koalisi Ahok-Ucu-Djan untuk merapikan PKL dan membersihkan premanisme.
Tersandera Koalisi, Harus Berkompromi dengan Preman
“Sebetulnya begini, masalah preman itu orang hanya membesar-besarkan bahasa aja. Sebetulnya, masih banyak preman yang berdasi.”
-Seorang preman di Tanah Abang-
PPP kubu Romahurmuzy (Romy) yang sah secara hukum telah mendukung Anies-Sandi dalam Pilkada. Di sisi lain, Haji Lulung keluar dari PPP kubu Djan karena Djan mendukung Ahok.
Tetapi, sampai saat ini, Haji Lulung tak kunjung bergabung ke PPP Romy dan menjadikannya politisi tanpa partai (secara resmi) di DPRD DKI. Walau begitu, Sekjen PPP kubu Romy, Arsul Sani menyebut Lulung memiliki komunikasi yang baik dengan mereka. Sehingga, walaupun tak memiliki hubungan formal, hubungan informal cukup memastikan Lulung masuk dalam koalisi pemerintah DKI.
Lantas, Lulung bermain taktis. Kesempatannya untuk dekat dengan pengambil kebijakan dan koalisi pendukungnya, kemudian memungkinkan Lulung untuk menekan kepentingannya atas Tanah Abang. Disinyalir, ada banyak cover-up kepentingan pembangunan ala Anies-Sandi, yang sesungguhnya adalah kepentingan Lulung di belakang layar.
Beberapa pihak menyebut Lulung memiliki agenda lama untuk menata Tanah Abang dengan caranya. Hal ini juga bisa dilihat dari sejumlah wawancara dengannya, di mana ia menginginkan Tanah Abang menjadi seperti apa adanya saja. Adanya PKL, kios-kios pinggir jalan, juga bermacam toko grosir yang masuk ke dalam gedung, adalah yang terbaik untuk Tanah Abang menurut Lulung.
Lulung memiliki visi untuk menata Tanah Abang dengan sentralisasi pada kekuasaan bisnisnya. Itu berarti, Lulung ingin setiap sudut Tanah Abang berbisnis melalui jalurnya. Misalnya, dari pembebasan lahan, pengadaan perintilan dagangan, sampai izin dan keamanan. Caranya, tentu saja dengan melestarikan premanisme beserta setoran harian-mingguan-bulanan yang dibebankan kepada para PKL.
Melawan Ahok yang membabat habis preman, Lulung selalu mengatakan ‘komunikasi kepada para pedagang’ adalah solusinya, bukan memindahkan mereka secara paksa.
Lulung sendiri menolak disebut ‘bos preman’ atau mendapat setoran dari model bisnis seperti itu. Ia juga menolak disebut mengambil jatah itu karena bisnis pribadinya telah cukup besar. Dia juga menolak disebut memonopoli pasar karena ia royal dan suka berbagi bisnis dengan guyub-guyub warga dan pemuda setempat.
Namun biar bagaimanapun, Lulung disinyalir kuat tetap mendapatkan untung dari pusaran gelap itu. Sekalipun Lulung tidak menarik setoran dari jatah preman, preman-preman tersebut adalah ‘orang-orang’ Lulung. Mereka akan mampu mengembalikan pengaruh Lulung di Tanah Abang.
Terbukti, Pemprov akhirnya menggandeng preman-preman untuk kembali menata Tanah Abang. Gaya pengelolaan Tanah Abang dengan metode premanisme dikembalikan, kali ini dengan perlindungan aparat resmi milik Pemprov DKI. Belum lagi, sudah ada keputusan untuk merelokasi pedagang sementara ke lahan milik Lulung, dengan Pemprov menyewa kepada Lulung. Pundi-pundi kembali ke Lulung, bukan?
Sehingga, kilah Lulung tentang ‘komunikasi dengan pedagang’ yang buruk pada era Ahok adalah hal yang patut dipertanyakan. Ahok-Djarot menang di TPS Tanah Abang pada Pilkada lalu, dan justru Lulung-lah yang sedang bermanuver untuk mengembalikan cengkeramannya di Tanah Abang.
Win-win Solution?
Untuk saat ini, penataan Tanah Abang model Anies-Sandi menghasilkan lebih banyak mudarat bagi masyarakat umum, ketimbang manfaatnya.
Trotoar yang sempat ditegaskan oleh Anies hanya untuk pejalan kaki, nyatanya dijadikan parkir motor. Badan jalan dipangkas 50 persen, sehingga tak memungkinkan kendaraan pribadi untuk nyaman melewati jalan Jatibaru. Pedagang di gedung terancam sepi pembeli, sekalipun sudah diberi Transjakarta gratis.
Masalah teknis lainnya pun bermunculan, seperti sulitnya bongkar muat, kesulitan mengakses stasiun, dan pengunjung kesulitan mengakses ojek daring. Bahkan eksesnya, sudah banyak pasar di daerah Jakarta lain yang meminta diperlakukan serupa, seperti prediksi para pengamat.
Premanisme? Sudah tentu tidak dapat dilihat sebagai masalah karena ini adalah metode Pemprov. Kompromi politik dengan Lulung mengunci mereka, dan membiarkan Lulung mengambil keuntungan.
Lalu, apakah ini menguntungkan Anies-Sandi? Bila melihat dari kacamata sensasi, tentu saja. Anies-Sandi bisa saja sedang mencari kegemparan liputan atas mereka, yang dengan sendirinya menaikkan popularitas mereka. Ini adalah bagian dari gimik politik yang manjur meningkatkan popularitas, mirip-mirip ‘pribumi’-nya Anies beberapa waktu lalu. (Baca juga: Pribumi, Jalan Menuju Presiden)
Jadi, apakah ini berarti Pemprov Jakarta akan membiarkan Tanah Abang terus begini, sampai visi Transit Oriented Development terpenuhi? Entah sampai kapan, publik hanya bisa menunggu. (R17)