Site icon PinterPolitik.com

Anies-Risma Menjemukan, Baim Wong Jawabannya?

Anies-Risma Menjemukan, Baim Wong Jawabannya?

Selebriti dan Influencer Baim Wong (Foto: Istimewa)

Tak ada angin tak ada hujan, survei yang dilakukan Median baru-baru ini menempatkan nama artis dan influencer Baim Wong sebagai salah satu kandidat dalam bursa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Mengapa hal ini bisa terjadi?


PinterPolitik.com

Nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masih menjadi kandidat terkuat yang diprediksi akan dipilih warga Ibu Kota jika pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar hari ini. Anies ditempel oleh dua kandidat lain yakni Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini, hingga mantan kompetitor sang petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). 

Kemunculan tiga nama tersebut dalam jajaran teratas kandidat yang paling dijagokan memang tak begitu mengejutkan. Ketiganya sudah santer diberitakan sebagai calon-calon yang memang potensial akan memperebutkan kursi DKI-1. 

Namun hasil survei yang dipublikasikan Media Survei Nasional (Median) belum lama ini juga memunculkan satu nama yang kiranya cukup mencuri pusat perhatian media massa. Ia adalah aktor dan influencer Muhammad Ibrahim atau yang lebih akrab disapa Baim Wong. 

Baim memang hanya dipilih kurang dari 1 persen responden saja. Namun yang menarik, nama tersebut muncul atas usulan responden langsung, sebab dalam survei ini, pihak Median tidak menyodorkan nama untuk dipilih. 

Selain itu, meski terbilang sangat rendah, namun elektabilitas Baim nyatanya setara dengan sejumlah politikus yang sudah lebih senior di DKI, misalnya saja Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Abraham Lunggana atau Haji Lulung, Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria, hingga Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, memandang masuknya nama Baim Wong dalam survei Pilkada DKI disebabkan karena masyarakat mulai jenuh dengan politisi. 

Ia menilai kejenuhan itu muncul karena publik sudah bosan dengan tingkah laku para politisi yang terlalu banyak melakukan pencitraan dalam kerja-kerjanya. Oleh karenanya, kemunculan nama Baim menjadi pertanda bahwa masyarakat ingin mencari sosok atau figur alternatif yang tidak punya latar belakang politik. 

Tak hanya itu, melalui nama Baim Wong, menurut dia, masyarakat juga ingin mengkritik para politisi, bahwa publik bisa mengusulkan dan mendukung tokoh lain, selain yang saat ini muncul. 

Baca Juga: Giring, Capres Penyelamat PSI? | PinterPolitik.com

Signifikansi peran selebriti dalam panggung politik nyatanya tak luput dari perhatian partai politik (parpol). Di setiap gelaran pemilu, baik lokal maupun nasional, parpol tak luput melibatkan para pesohor untuk mendulang suara, termasuk Pilkada DKI. 

Baru-baru ini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga melemparkan wacana untuk mengusung artis Raffi Ahmad hingga penyanyi kawakan, Agnez Mo untuk bertarung di Pilgub DKI Jakarta. Meski bisa dianggap sebagai strategi politik semata, namun fenomena ini tak dapat dipungkiri menyiratkan kegagalan parpol dalam melakukan kaderisasi, sehingga mereka terpaksa menggandeng artis untuk meraup popularitas secara instan. 

Lantas benarkah publik memang sudah begitu antipati terhadap para politisi? 

Menyoal Populisme

Kegundahan Ujang Komarudin yang menyebut bahwa saat ini publik mulai jenuh dengan para politikus yang kerap melakukan pencitraan sebenarnya dapat dipahami. Ini mungkin saja disebabkan oleh akumulasi kekecewaan terhadap para politikus yang dulu menampilkan diri sebagai pemimpin populis, namun semakin bertindak antipopulis setelah menduduki jabatan publik. 

Sebut saja Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang setelah dua periode menjabat, nilai-nilai populisme yang dulu dibawa Jokowi perlahan dianggap mulai terkikis. Jokowi bahkan dinilai semakin bertindak elitis dengan kebijakan-kebijakannya yang tak lagi terlalu memedulikan suara masyarakat.

Oleh karena adanya pergeseran ini, maka menjadi wajar jika kemudian mulai bermunculan pandangan negatif terhadap strategi-strategi politik populis. Strategi seperti mengutamakan kepentingan rakyat kecil dan blusukan-blusukan dipandang sebagian pihak tak lebih sebagai pencitraan semata. 

Berbeda dengan politikus tulen kebanyakan, Cas Mudde dalam tulisannya di The Guardian menyebut bahwa artis justru tak memerlukan populisme jika ingin masuk ke panggung politik. Ia mencontohkan keberhasilan aktor Arnold Schwarzenegger menjadi Gubernur California tanpa pernah menjadi politikus yang populis. 

Selain Arnold, bahkan eks Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga disebut  tidak memulai karier politiknya sebagai seorang populis. Ia lebih menjual kejeniusannya sendiri daripada keinginan rakyat. Trump disebutnya baru menjadi populis ketika menjabat Presiden AS. 

Untuk itu kemudian menjadi wajar jika ada pihak yang menganggap bahwa artis adalah alternatif yang mumpuni dibanding politikus yang hanya sekadar menjual narasi-narasi populis. 

Namun di titik ini yang menjadi pertanyaan, apakah kejenuhan terhadap strategi-strategi politik populis dapat membuat publik benar-benar tak lagi mempercayai politikus?

Populisme Tetap Relevan?

Meski kerap dituding pencitraan, namun tak sedikit politikus yang masih mengandalkan strategi-strategi populis dalam kegiatan politiknya. Dalam konteks politik elektoral Ibu Kota, petahana Anies Baswedan pun menggunakan strategi serupa saat berkampanye pada Pilgub 2017 silam. 

Kala itu, Anies kerap menampilkan diri sebagai sosok pelindung golongan-golongan yang termarjinalkan oleh kebijakan-kebijakan Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan kompetitornya, Ahok. Misalnya seperti berjanji tak akan menggusur pemukiman warga di bantaran sungai, maupun warga yang tinggal di perkampungan kumuh di kawasan Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. 

Mensos dan Eks Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini yang digadang-gadang bakal menjadi pesaing utama Anies, hingga hari ini juga masih menggunakan strategi serupa. Setelah menjabat sebagai Mensos, Risma diketahui aktif melakukan blusukan di beberapa titik di wilayah DKI Jakarta, misalnya saja kawasan Penjaringan, Cilincing, hingga di Jalan MH Thamrin yang menjadi jantung Ibu Kota. 

Meski sebagian pihak memang memandang sinis langkah Risma dengan menyebut strategi blusukannya itu sebagai pencitraan, namun pada kenyataannya hal itu berkontribusi positif pada elektabilitasnya. 

Berdasarkan survei Median yang sama, disebutkan bahwa elektabilitas Risma melonjak signifikan pasca menjabat sebagai Mensos dari sebelumnya hanya 4,5 persen pada Juli 2020 menjadi 23,5 persen di awal Februari 2021. 

Meski masih tertinggal jauh dari petahana Anies Baswedan yang dipilih 42,5 persen responden, namun jika dihadapkan langsung atau head to head, selisih keduanya terpaut di bawah 10 persen, yakni Anies dengan raihan 45 persen versus Risma yang mendapatkan 36 persen. 

Menariknya, hasil survei Median ini juga memetakan bahwa hampir 12 persen responden yang memilih Risma mengaku terpikat oleh gaya blusukannya. Direktur Riset Median, Ade Irfan Abdurrahman pun berpendapat jika strategi blusukannya itu terus dilakukan, elektabilitas Risma bisa saja mengancam petahana Anies Baswedan. 

Menyikapi fenomena ini, Stephan Lewandowsky dalam Why People Vote for Politicians They Know Are Liars mengemukakan analisisnya yang cukup menarik untuk direnungkan. Dalam tulisannya itu, Ia mencoba memaparkan alasan mengapa politikus tetap mendapatkan simpati publik meski masyarakat sadar bahwa mereka tak selalu bisa dipegang kata-katanya.  

Lewandowsky menyebut ketika seseorang merasa kehilangan haknya atau berada dalam kondisi yang terpinggirkan oleh sistem politik, mereka akan cenderung menerima narasi-narasi seorang politikus yang mengklaim diri sebagai pembela ‘rakyat’ yang melawan ‘kemapanan’ atau ‘elite’. Dengan kata lain, dalam derajat tertentu, narasi populisme tetap memiliki signifikansinya sendiri. 

Lantas jika memang strategi tersebut masih bisa diandalkan, lalu mengapa kemudian nama Baim Wong bisa muncul dalam survei mengenai Pilgub DKI Jakarta?

Kritik Terhadap Demokrasi

Tak dapat dipungkiri, popularitas memang menjadi modal inheren selebritas yang sangat menguntungkan di panggung politik.  

Kimberly Casey dalam tulisannya Defining Political Capital menyebutkan istilah name recognition atau pengakuan sebagai salah satu modal sosial yang dapat ditransformasikan menjadi modal politik. Selain modal nama, selebriti juga kerap memiliki  modal finansial yang juga dapat dikonversi menjadi modal politik.

Terkait dengan hal tersebut, Cindy D. Kam dan Elizabeth J. Zechmeister dalam Name Recognition and Candidate Support menyebut meski name recognition memungkinkan kandidat memperoleh pengakuan dan keterpaparan nama yang tinggi, ini tidak berarti bahwa rata-rata pemilih mereka memiliki pemahaman yang baik tentang ideologi, posisi, dan pendirian mereka tentang masalah politik. Bahkan tak jarang, pemilih menjatuhkan pilihannya kepada seorang kandidat berlandaskan alasan yang terlalu absurd.  

Dalam konteks Baim Wong ini misalnya, kemunculan namanya dalam bursa Pilgub DKI disebut-sebut karena dirinya dipersepsikan media sebagai seseorang yang dermawan dan kerap membantu masyarakat yang membutuhkan. Padahal kedermawanan seseorang tak bisa dijadikan tolok ukur terhadap kemampuan politik seseorang. 

Ketidakjelasan ukuran pemilih dalam menentukan sosok pemimpin negara sebenarnya telah lama diwanti-wanti oleh filsuf asal Yunani, Socrates. Ia bahkan menganggap hal tersebut sebagai kelemahan dalam demokrasi. 

Socrates menilai bahwa memilih dalam sebuah pemilihan umum adalah suatu keterampilan, bukan intuisi acak. Oleh karenanya, membiarkan semua orang boleh menilai siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah negara sama saja membiarkan mereka mengomandoi sebuah kapal perang yang sedang berlayar ke Pulau Samos di bawah badai.

Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan bahwa anggapan yang menyebut bahwa munculnya nama Baim Wong dalam bursa Pilgub DKI sebagai pertanda kejenuhan publik terhadap politisi bisa jadi kurang tepat. Hal ini lebih disebabkan karena efek dari name recognition semata. 

Kendati demikian, segala ulasan ini hanyalah analisis teoretis yang tentu terbuka untuk diperdebatkan. Namun di titik ini setidaknya kita dapat mengambil pelajaran bahwa sebagai pemilih, kita sebaiknya memiliki pemahaman yang cukup terkait kandidat calon pemimpin yang kita pilih. Sebab, pemahaman pemilih sangat dibutuhkan agar pemilu dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mumpuni serta diharapkan masyarakat.  (F63) 


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version