Dengarkan artikel berikut
Anies Baswedan sepertinya jatuh dalam bidikan PDIP untuk menjadi Cagub dalam Pilgub Jakarta. Mungkinkah Anies jadi pilihan yang tepat?
Genderang perang menjelang Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Jakarta (Pilgub DKJ) tampak bertabuh semakin kencang. Seluruh partai-partai politik besar rasanya sudah mulai melakukan manuver masing-masing demi memenangkan kursi nomor satu di daerah ‘mantan’ Ibu Kota Indonesia, pada 27 November 2024 nanti.
Salah satu manuver partai politik yang paling menarik untuk disorot di Jakarta tentu adalah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kabar terbarunya, kendati hampir tidak pernah memiliki kesamaan pandangan politik, PDIP ‘mengirim sinyal’ bahwa mereka akan mengusung Anies Baswedan untuk Pilgub DKJ. Sinyal ini bahkan disampaikan langsung oleh Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, yang menyebut Anies adalah pilihan yang ‘menarik’.
Tidak hanya itu, Anies sendiri juga telah mengirim sinyal positif kembali kepada PDIP dengan menyebut PDIP adalah partai yang ‘menarik’. Hal tersebut sontak memunculkan spekulasi-spekulasi menarik di publik bahwa pada November nanti Anies akan memiliki teman kuat yang baru yakni sang Partai Banteng Moncong Putih.
Namun, potensi bersatunya Anies dan PDIP sesungguhnya tampaknya tidak hanya memiliki bobot dari aspek elektoral Pilgub DKJ saja. Melihat konstelasi politik paska Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), ada kemungkinan peluang kerja sama Anies dan PDIP menyimpan suatu motif politik yang lebih dalam dari sekadar kepentingan Pilgub.
Lantas, motif politik apa yang kira-kira tersimpan di balik wacana ini?
Anies, ‘Senjata’ Megawati dalam Pertaruhan di Jakarta?
Kalau kita coba menelusuri arah posisi politik PDIP di pemerintahan yang baru, kita akan menyadari bahwa banyak orang yang yakin partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri tersebut akan berada di luar pemerintahan. Motivasinya cukup banyak, tapi mungkin yang paling utama bisa diasumsikan adalah tensi politiknya dengan keluarga Joko Widodo (Jokowi).
Tentunya, jika kita berangkat dari asumsi yang sama, ada kemungkinan ‘kebencian’ PDIP terhadap keluarga Jokowi akan tetap terjaga hingga pemerintahan selanjutnya, karena keberadaan Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra dari Jokowi sendiri. Maka dari itu, meski tidak selalu, peluang adanya motif di atas dalam manuver-manuver politik PDIP pantas untuk selalu kita pertanyakan, termasuk dalam persoalan Pilgub DKJ.
Sebagai sebuah daerah yang akan memiliki otonomi khusus, posisi Gubernur DKJ sekiranya sanggup jadi misi terbesar PDIP sekarang. Sebagai contoh, di dalam Pasal 3 ayat 1 dalam RUU DKJ, disebutkan bahwa DKJ berkedudukan sebagai pusat perekonomian nasional, kota global, dan kawasan aglomerasi. Ini artinya, meski tahta Ibu Kota sudah tidak lagi di Jakarta, secara de facto aktivitas perputaran uang Indonesia tetap akan berpusat di Jakarta.
Dengan demikian, siapapun yang menjadi Gubernur DKJ nanti, pihaknya akan sangat memiliki daya tawar yang sangat tinggi dengan pemerintah pusat.
Pertanyaannya lantas tertuju kepada Anies. Bila memang ambisi PDIP untuk Pilgub DKJ begitu besar, mengapa Anies bisa jadi pilihan yang menarik bagi Megawati? Well, sekarang kita coba bandingkan saja dengan kandidat-kandidat PDIP lainnya.
Pertama, eks-Panglima TNI, Jenderal TNI (Purn.) Andika Perkasa. Kendati secara sekilas Andika bisa jadi pilihan yang menarik, banyak orang lupa bahwa kemampuan politik Andika masih perlu diuji. Sebagai sosok yang muncul dari kalangan militer, Andika perlu menghadapi banyak tantangan besar, seperti stigma ke-kakuan orang militer, seperti yang pernah dihadapi Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 dan 2019.
Kedua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Meskipun Ahok bisa dikatakan memiliki sentimen dukungan yang cukup positif di media sosial, dirinya bisa dianggap sudah terlalu lama jauh dari arena politik praktis. Pentas politik pada tahun 2024 ini sangatlah berbeda dengan pentas politik ketika Pilkada 2017. Apakah Ahok mampu beradaptasi cepat dengan landscape politik sekarang? Mungkin bisa, tetapi hal tersebut kembali lagi masih perlu diuji.
Sekarang kita coba nilai Anies Baswedan. Jujur saja, di dalam konstelasi politik saat ini, Anies tampaknya menjadi pilihan yang paling menarik secara elektoral. Meski Anies mengalami kekalahan ketika Pilpres kemarin, namun kekalahan Anies bisa dikatakan cukup istimewa karena Anies mendapatkan suara yang cukup tinggi dibanding Ganjar Pranowo, padahal mereka berasal dari kubu yang awalnya paling dipertanyakan secara logistik. Hal ini membuktikan bahwa jika saja pada Pilpres kemarin Prabowo tidak bertanding, bisa saja Anies jadi pemenangnya.
Selain itu, jangka waktu Pilkada 2024 yang tidak begitu jauh dengan Pilpres 2024 pun bisa dikatakan masih menyisakan rasa ‘dendam’ dari para pendukung Anies. Tentunya, mereka yang kecewa dengan hasil Pilpres kemarin akan melihat Pilkada 2024 sebagai momentum balas dendam untuk Anies.
Tidak hanya itu, Anies pun memiliki satu keunikan yang tidak dimiliki kandidat PDIP lainnya, yakni politik sentimen. Bagi sejumlah pendukung garis keras Anies, potensi ini bisa saja jadi sesuatu yang menarik untuk ‘dieksploitasi’ kembali.
Pertanyaannya lantas hanya satu, seberapa besar peluang Anies terima pinangan PDIP jika terjadi nanti?
Anies the ‘Political Mercenary’?
Saat ini mungkin pertanyaan terbesar dari para pendukung setia Anies adalah, apakah Anies akan menemukan kecocokan ideologi dengan Megawati dan PDIP? Bagaimana dengan prinsip konsistensi, bukankah PDIP dulu menjadi bagian dari pihak penguasa yang juga dikritik Anies?
Well, seperti yang pernah dikatakan mantan Perdana Menteri (PM) Inggris, Winston Churchill: tidak ada pertemanan dan permusuhan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.
Dan bila kita lihat rekam jejak Anies, mungkin pepatah tersebut sangat menggambarkan manuver-manuver politiknya. Sebelum kepemimpinan Jokowi pada 2014, Anies menjadi bagian dari tim Jokowi sendiri, kemudian pada 2017, Anies berpindah dan menjadi kubu Prabowo, sementara 2024 seperti yang kita ketahui Anies menjadi bagian dari kubu Surya Paloh.
Maka dari itu, mungkin Anies sebetulnya bisa menjadi salah satu contoh ‘political mercenary’ yang paling efektif di Indonesia. Seperti yang diungkap Lindsay Mark Lewis dalam bukunya Political Mercenaries, di dalam politik terdapat sejumlah orang yang tidak memiliki keberpihakan pasti namun mampu menjual jasa elektoral karena ia memiliki keunggulan persona di mata publik. Dalam konteks Anies, bisa jadi karena personal brandingnya yang sudah begitu bagus, ia bisa menjadi tokoh yang tidak perlu berpihak pada siapapun untuk sukses di kancah elektoral.
Mungkin hal ini jugalah yang membuat Anies berbeda dengan politisi lain seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, dan Ganjar Pranowo. Politisi-politisi tersebut mungkin memiliki masa di mana mereka begitu menarik di publik, namun tidak mampu mempertahankannya secara lama karena branding mereka belum begitu kuat.
Namun, Anies bisa berperan sebaliknya karena ia memiliki beberapa stempel-stempel politik yang memang sudah khas bagi dirinya, seperti citra sebagai akademisi dan orang yang agamais. Karena keunggulannya ini mungkin sekarang saatnya Megawati yang terpincut pesona Anies Baswedan.
Akan tetapi, tentu perlu diingat bahwa ini semua hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, Anies adalah sosok politisi muda yang kiprahnya akan sangat menarik untuk terus kita perhatikan. (D74)