Makin ke sini, PDIP dianggap semakin kehilangan identitas dalam menyongsong Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ketika PDIP masih jadi partai penguasa, capres nomor urut 3 malah memosisikan diri sebagai yang melawan kekuasaan.
“I just don’t know who I am without you.” – Ken, Barbie (2023)
Masih ingat tidak dengan film-film besar yang dirilis pada Juli 2023 kemarin? Beberapa di antaranya adalah Oppenheimer (2023) dan Barbie (2023).
Sebenarnya, keduanya merupakan film dengan pesan dan cerita yang bagus. Bila Oppenheimer berbicara mengenai sejarah besar bom nuklir, Barbie lebih membahas isu sosial dan politik yang berkaitan dengan gender.
Selama ini, Barbie selalu dikonstruksikan sebagai perempuan yang selalu riang gembira dan tidak memiliki masalah apapun. Mudahnya, Barbie bisa menjadi cantik, pintar, dan menarik – sehingga mampu memikat para Ken.
Namun, situasi berubah sang Barbie terpengaruh oleh emosi yang dirasakan oleh pemainnya – seakan-akan kejadian di dunia nyata juga mengubah dinamika di dunia Barbie. Alhasil, Barbie tidak bisa menjadi Barbie yang serba sempurna seperti dulu.
Barbie yang mulai berubah akhirnya merasa khawatir dan mencari jawaban atas persoalan yang dihadapinya. Iapun sampai pergi ke dunia nyata untuk mencari pokok permasalahannya.
Namun, segala hal yang terjadi malah membuat Barbie semakin tidak yakin dengan dirinya. Mungkin, Barbie bisa dibilang tengah mengalami krisis identitas – sebuah masa kehidupan ketika perasaan identitas seseorang menjadi tidak stabil.
Tampaknya, apa yang dialami Barbie juga terjadi di dunia nyata, termasuk di dunia perpolitikan Indonesia. Boleh jadi, PDIP tengah mengalami situasi yang mirip.
Ini terlihat dari bagaimana calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo, membawa narasi perjuangan melawan penguasa. Padahal, PDIP yang mengusungnya-pun merupakan bagian dari penguasa.
Tidak hanya itu, Ganjar juga mengkritik penegakan hukum Indonesia yang buruk. Namun, ini jelas-jelas juga mengkritik calon wakil presidennya (cawapres), Mahfud MD, yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
Bila memang PDIP semakin kehilangan arah, lantas, bagaimana dampaknya ke depan bagi perolehan suara PDIP dan Ganjar? Mungkinkah ini menjadi ‘akhir’ bagi kekuasaan PDIP?
Politik Juga Soal Branding
Branding dalam politik adalah cara untuk membangun citra, identitas, dan reputasi bagi seorang politisi, partai politik, atau gagasan politik tertentu. Hal ini penting karena memengaruhi persepsi masyarakat terhadap pemimpin atau partai politik, memudahkan pemilih dalam mengidentifikasi nilai dan tujuan yang diwakili, serta membentuk kesan yang kuat dan konsisten.
Mengacu ke tulisan Catherin Needham dan Gareth Smith yang berjudul Introduction: Political Branding, politisi dan partai politik dapat dikonseptualisasikan sebagai brands atau merek.
Contoh penggunaan branding dalam politik dapat dilihat dari kampanye presiden Amerika Serikat (AS) pada tahun 2008 oleh Barack Obama. Obama menggunakan pesan “Change” (perubahan) yang kuat dan optimis, serta logo kampanye yang sederhana tetapi mudah diingat (gambar bendera dengan lingkaran biru).
Melalui kata-kata dan simbol tersebut, Obama berhasil mengkomunikasikan pesannya tentang perubahan yang diinginkan oleh mayoritas rakyat Amerika.
Di lain pihak, Donald Trump juga menjadi contoh yang kuat dalam penggunaan branding politik. Trump membangun citra sebagai sosok anti-establishment, menggunakan slogan “Make America Great Again” yang menarik perhatian massa, serta memanfaatkan media sosial dengan sangat efektif untuk menjangkau basis pendukungnya.
Branding politik bukan hanya soal logo atau slogan, tetapi juga mencakup perilaku, komunikasi, dan keputusan yang diambil oleh seorang politisi atau partai politik. Citra yang konsisten, jelas, dan meyakinkan dapat memengaruhi opini publik dan mendukung kesuksesan dalam pemilihan umum.
Berkaca dari Obama dan Trump, bukan tidak mungkin branding juga bisa digunakan dalam Pilpres 2024. Ini terlihat juga dari sejumlah pasangan capres-cawapres yang mengusung tema-tema yang ejalan dengan brnading masing-masing.
Lantas, bagaimana dengan branding PDIP dan pasangan Ganjar-Mahfud? Akankah krisis identitas yang dialami berpengaruh terhadap perjalanan politik mereka?
Hilangnya Branding Ganjar dan PDIP?
Bila diperhatikan saksama, sejumlah pasangan capres-cawapres telah membuat branding mereka tersendiri. Pasangan nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), misalnya, telah mengusung tema perubahan.
Di sisi lain, pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, telah mengusung tema keberlanjutan. Mereka menjanjikan keberlanjutan atas kebijakan-kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap baik.
Namun, Ganjar-Mahfud dan PDIP dirasa masih belum memiliki posisi yang jelas. Meski PDIP merupakan bagian dari kekuasaan, Ganjar malah mendorong narasi bahwa mereka adalah orang-orang yang berjuang bukan untuk kekuasaan.
Anehnya lagi, Ganjar malah menggunakan simbol-simbol aktivisme yang diadopsi dari franchise film dan novel yang berjudul Hunger Games. Padahal, masih banyak persoalan hak yang belum tuntas di Jawa Tengah (Jateng) – seperti Kendeng dan Wadas.
Ketidaksesuain ini bisa saja merusak branding Ganjar dan PDIP ke depannya. Bukan tidak mungkin, ini juga bisa memengaruhi tingkat keterpilihan mereka.
Pasalnya, mengacu ke tulisan Karen S. Johnson-Cartee dan Gary A. Copeland yang berjudul The Importance of Political Branding in an Era of Disillusionment, branding yang dibangun juga harus sesuai dengan tindakan nyata politisi – atau aktor politik lainnya.
Tujuannya-pun adalah agar bisa menguatkan keyakinan publik terhadap visi dan nilai yang diusung. Bila sejalan, publik-pun bisa meningkatkan kepercayaan mereka terhadap aktor politik tersebut – yang mana bisa berujung pada dukungan politik.
Kehilangan identitas brandinghttps://www.youtube.com/watch?v=BD_1uvpqn7k dari Ganjar ini juga bisa berkaitan dengan hilangnya sosok Presiden Jokowi di kubu PDIP. Apalagi, Ganjar juga sebelumnya me-branding diri sebagai penerus Jokowi.
Bila begini jadinya, bukan tidak mungkin, kutipan percakapan Ken dalam film Barbie di awal tulisan menggambarkan situasi PDIP dan Ganjar saat ini. Siapakah Ganjar dan PDIP tanpa seorang Jokowi? (A43)