Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menempuh jalur berbeda untuk menghadapi gelombang pendatang pasca Lebaran. Mantan Menteri Pendidikan ini bersikap lebih terbuka dan tak menggelar operasi yustisi kepada mereka.
Pinterpolitik.com
Jakarta bak kota yang dianggap paling tepat bagi beberapa orang untuk mewujudkan mimpi, atau setidaknya sekadar memperbaiki nasib. Sejak dahulu, ibukota negara ini kerap menjadi tujuan utama bagi migrasi masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia. Mudik Lebaran sering menjadi momen di mana migrasi semacam ini menjadi lebih besar.
Migrasi atau lebih tepatnya urbanisasi ini kemudian menimbulkan ledakan penduduk yang cukup luar biasa di Jakarta. Sejak tahun 1960-an, pertumbuhan penduduk di Jakarta sudah sangat melesat dan terus berlangsung hingga kini. Hal ini berakibat pada membludaknya jumlah penduduk yang berujung pada problema seperti pengangguran, pemukiman kumuh, hingga kriminalitas.
Selama beberapa periode, berbagai upaya digunakan untuk mengendalikan urbanisasi ini agar tidak berdampak negatif. Salah satu yang paling jamak dilakukan adalah dengan menggelar operasi yustisi saban musim mudik lebaran berakhir.
Meski operasi telah menjadi semacam tradisi tahunan Pemprov DKI Jakarta setiap pasca Lebaran, Gubernur saat ini, Anies Baswedan tampak tak ingin melanggengkan tradisi ini. Anies tak ingin ada pemandangan di mana terjadi pemeriksaan di stasiun dan terminal kepada para pendatang.
Anies berargumen bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari peruntungan di ibukota. Selain itu, ia juga menyebut bahwa dirinya lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang operasi yustisi.
Terlihat bahwa Anies memiliki pendekatan tersendiri saat menghadapi arus urbanisasi. Lalu seperti apa langkah Anies menghadapi pendatang ini dapat diteliti?
Pertumbuhan Ekonomi
Perkara menghadang arus pendatang ke Jakarta memang kerap menjadi dilema bagi orang nomor satu di provinsi tersebut. Di satu sisi, ada unsur hak yang harus dipenuhi, di mana semua orang ingin punya penghidupan yang lebih baik. Di sisi lain, kedatangan warga baru, berpotensi menimbulkan masalah baru bagi ibu kota.
Anies tampaknya lebih mengedepankan unsur hak dalam urusan urbanisasi ke Jakarta. Hal ini setidaknya terlihat dari kebijakannya saat menghadapi potensi pendatang pasca mudik Lebaran 2019. Ketimbang melakukan operasi yustisi secara ekstensif di stasiun atau terminal, Anies memilih melakukan pendekatan lain.
Mantan rektor Universitas Paramadina ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi adalah hal yang lebih penting daripada melakukan operasi yustisi. Ia menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi Jakarta tergolong baik, sehingga tak risau kedatangan warga baru akan menimbulkan masalah.
Hubungan antara urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi ini digambarkan misalnya oleh Ha Minh Nguyen. Ia menggambarkan bagaimana urbanisasi memiliki pengaruh positif kepada pertumbuhan ekonomi yang dalam konteks ini terjadi di negara-negara ASEAN.
Meskipun demikian, perlu diakui bahwa hubungan antara urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi ini tidak selalu linear. Hal tersebut diakui sendiri oleh Nguyen dan disebutkan oleh Ivan Turok dan Gordon McGranahan saat mengobservasi urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi di Asia dan Afrika.
Turok dan McGranahan menggambarkan bahwa pengaturan infrastruktur dan institusi penting agar urbanisasi itu berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Mereka menyebut bahwa manfaat akan lebih besar jika ada kebijakan yang mendukung, pasar, dan investasi infrastruktur.
Jika melihat konteks Jakarta, hal ini boleh jadi bukan menjadi batu sandungan yang benar-benar besar. Jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi atau kota-kota lain, untuk urusan kebijakan dan infrastruktur Jakarta boleh jadi punya ragam yang lebih maksimal untuk menerima arus urbanisasi. Oleh karena itu, dari sisi ini, Anies boleh jadi punya alasan bahwa arus pendatang ke Jakarta tak akan memberikan dampak yang teramat buruk.
Sikap Terbuka
Selain menyoroti masalah pertumbuhan ekonomi, Anies juga menyoroti masalah hak-hak yang harus dipenuhi kepada para pendatang. Hal seperti ini kerap menjadi pertimbangan berbagai pemimpin dunia saat menghadapi perkara migrasi.
Masalah migrasi ini sebenarnya tidak terjadi untuk lingkup provinsi seperti Jakarta saja, tetapi juga untuk lingkup yang lebih luas, yaitu negara. Ada banyak negara yang menjadi tujuan migrasi warga dunia yang mencoba mencari peruntungan yang lebih baik atau mewujudkan mimpi mereka. Beberapa negara memang cenderung menerima pendatang dengan tangan terbuka tak seperti negara-negara lain.
Negara seperti Kanada misalnya, memiliki istilah landed immigrant untuk mengistilahkan warga pendatang yang tinggal permanen di negara mereka. Istilah ini sempat digunakan selama bertahun-tahun lamanya oleh negara yang berada di utara Amerika Serikat tersebut.
Sikap menerima dengan tangan terbuka para pendatang ini juga ditunjukkan pula oleh Jerman. Hal ini terutama berlaku di era pemerintahan Kanselir Angela Merkel. Dalam kadar tertentu, sikap cukup terbuka kepada imigran Merkel ini dapat digolongkan ke dalam kosmopolitanisme.
Meski Merkel menggambarkan diri sebagai orang yang terbuka dan humanis melalui sikap pro kosmopolitanisme tersebut, sayangnya kebijakan imigrasi ini tidak selalu berdampak baik. Jerman saat ini mengalami sejumlah masalah akibat kebijakan imigrasi yang lebih terbuka ketimbang negara-negara lain.
Salah satu yang paling banyak dipersoalkan adalah soalkan terjadinya angka kriminalitas di Jerman. Imigran kerap kali tertangkap melakukan tindak kriminal seperti perkosaan yang dilakukan secara massal.
Secara politik, sikap terlalu terbuka ini disebut-sebut bisa mempengaruhi posisi Merkel sebagai Kanselir. Perdebatan dalam aturan imigrasi misalnya, bisa berujung pada pembubaran koalisi dan berakhirnya pemerintahan.
Menerawang Peluang
Merujuk pada kondisi tersebut, Anies boleh jadi tengah menggambarkan diri seperti pemimpin pro kosmopolitanisme layaknya Merkel di Jerman. Anies mencoba memposisikan diri sebagai sosok gubernur yang lebih humanis dan menghargai hak-hak para pendatang.
Di satu sisi, sikap Anies seperti ini dapat menjadi gambaran bahwa dirinya adalah sosok yang terbuka terhadap masyarakat dari berbagai kalangan termasuk dalam hal daerah asal. Hal ini bisa saja menjadi semacam gambaran bahwa ia adalah sosok pemimpin untuk semua kalangan.
Dalam kadar tertentu, sikap setara kosmpolitanisme ini dapat menjadi modal jika ia ingin melaju ke level yang lebih tinggi dalam kepemimpinan nasional melalui Pilpres 2024. Ia bisa saja bisa meraup simpati karena tak hanya mementingkan penduduk yang lama tinggal di Jakarta, tetapi juga para pendatang dari berbagai daerah.
Meski demikian, layaknya Merkel, sikap yang terbuka kepada pendatang ini tidak sepenuhnya bisa menguntungkan dirinya. Alih-alih memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada Anies, sikap terbuka ini bisa saja justru memberikan kerugian kepada dirinya dan Jakarta sebagai tujuan urbanisasi.
Secara kasat mata, masalah pengangguran dan kriminalitas menjadi hal yang paling dikhawatirkan bagi langkah Anies seperti ini. Selain itu, seperti yang terjadi kepada Merkel, pendekatan Anies dalam menghadapi urbanisasi bisa saja berpengaruh secara politik.
Kebijakan membuka diri bagi pendatang bisa berdampak buruk tidak hanya bagi Jakarta, tetapi juga bagi Anies sendiri. Share on XJika Merkel berpotensi kehilangan dukungan dari rekan koalisinya, Anies bisa saja gagal mempertahankan dukungan dari masyarakat yang ada di ibukota. Di satu sisi, Anies bisa saja mendapatkan dukungan dari masyarakat migran dari wilayah lain di Indonesia. Tetapi, di sisi yang lain, dengan berbagai masalah yang berpotensi muncul dari urbanisasi, ia justru bisa kehilangan popularitas.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, meski sikap terbuka Anies bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan hak, hal ini bisa juga memberikan pengaruh negatif baik kepada Jakarta sebagai kota, juga kepada Anies sebagai seorang politisi.
Anies boleh jadi akan menahbiskan diri sebagai Gubernur Indonesia, julukan yang diberikan netizen kepadanya. Meski begitu, seperti yang terjadi kepada Merkel, sikap terbuka ini bisa juga berimbas buruk kepadanya. Kita lihat saja bagaimana kebijakan urbanisasi ala Anies ini akan berpengaruh di ibukota. (H33)