Dengan karakteristik dan koalisi politik penyokongnya, Anies Baswedan agaknya akan melakukan apa yang Presiden Jokowi lakukan saat mengelola militer jika berhasil menjadi RI-1 nantinya. Mengapa demikian?
Kecanggungan bisa saja melingkupi Anies Baswedan-Muhaimin Iskadar dalam mengelola hubungan kekuasaan dan militer jika berhasil menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI tahun depan.
Selain frasa “supremasi sipil” yang seolah sangat sulit diaktualisasikan secara paripurna, bukan rahasia lagi bahwa relasi sipil-militer di Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang kemudian sedikit banyak memengaruhi jalannya roda pemerintahan.
Pro-kontra yang eksis saat melihat realita di lapangan, di mana perwira aktif maupun para purnawirawan memiliki posisi di berbagai sendi kekuasaan dan pemerintahan menjadi salah satu sampel sahih keunikan tersebut dalam dinamika politik tanah air.
Dengan duet sipil-sipil yang tampak tak memiliki pengalaman interaksi sosio-politik dengan militer, jika menang, Anies-Imin kiranya akan memiliki tantangan besar untuk membentuk dari awal relasinya dengan militer, menjaga agar kecemburuan faksi internal institusi tak muncul ke permukaan, untuk kemudian bermuara pada stabilitas keamanan negara.
Presumsi kecanggungan dan tantangan itu kemungkinan sudah dibaca oleh Anies dan koalisi politik pendukungnya saat mengumumkan Tim Nasional (Timnas) Pemenangan AMIN.
Ya, sang “Kapten” merupakan sosok berlatar belakang serdadu matra udara, yakni Marsdya TNI (Purn.) Muhammad Syaugi Alaydrus.
Abiturien Akademi Angkatan Udara (AAU) 1984 itu pernah menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) atau yang dahulu dikenal sebagai Basarnas pada 2017-2019 silam.
Tentu tak hanya itu, karena belakangan, muncul beberapa nama purnawirawan jenderal yang masuk dalam tim pemenangan. Hal itu belum termasuk elemen sosok-sosok militer yang ketika aktif dahulunya memiliki posisi strategis dan kini memperkuat parpol pengusung Anies-Imin.
Akan tetapi, sekali lagi, berkaca pada latar belakang duetnya dengan Muhaimin Iskandar, relasi Anies dengan militer jika menang kemungkinan tak akan jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada 2014 silam. Mengapa demikian?
Manfaatkan Koneksi Dekat?
Pengaruh militer dalam simpul kekuasaan dan pemerintahan telah banyak diulas oleh berbagai analis dan cendekiawan. Kendati terdapat asas rantai komando dan siapapun yang ditunjuk pemimpin tertinggi negara pasti akan patuh, nyatanya, relasi kekuasaan-militer tak sesederhana itu.
Militer yang dimaksud dalam konteks ini sendiri adalah mereka yang masih aktif dan berpotensi menduduki jabatan strategis, serta para purnawirawan yang memiliki pengaruh sosial-politik signifikan.
Pada 2014 lalu pasca mengamankan kemenangan, Presiden Jokowi tampak memberikan militer posisi yang lebih besar dalam keseimbangan sipil-militer, ditandai dengan penunjukan beberapa tokoh Orde Baru (Orba) dalam politik.
Selain itu, terdapat pula tren meningkatnya ketergantungan pada sistem teritorial tentara, dan kemampuan yang lebih besar bagi purnawirawan untuk membentuk wacana publik dan kebijakan melalui sejumlah regulasi.
Menariknya, persepsi masyarakat terhadap militer sebagai aktor yang terpercaya, memberikan mereka kemudahan untuk diterima begitu saja di tengah pro-kontra yang ada, termasuk superamasi sipil dan prinsip demokrasi yang ideal.
Sebagaimana dikatakan nonresident fellow Brookings Institute Nathalie Sambie, konstruksi sosial yang terjadi tak tidak banyak berpengaruh dalam memperkuat gagasan publik mengenai subordinasi militer terhadap otoritas sipil yang demokratis.
Justru, yang eksis adalam promosi gagasan kompetensi militer, baik di jabatan sipil atau bahkan ketika para purnawirawan tidak lagi mengenakan seragam.
Selain itu, dalam praktinya, reputasi dan pengaruh militer sendiri berkelindan dengan karakteristik Presiden Jokowi yang seakan mempraktikkan inti sari Niccolò Machiavelli dalam Il Prince, bahwa akan lebih mudah menjalankan kekuasaan bersama orang yang dipercaya. Tentu dalam konteks mengelola militer.
Selain dikelilingi oleh para purnawirawan jenderal Orba sebagai penasihat kunci, Presiden Jokowi juga mempercayakan posisi strategis militer kepada sosok yang pernah bekerja bersamanya di masa lalu, termasuk apa yang telah dikenal sebagai “Geng Solo”.
Mulai dari Marsekal TNI (Purn.) Hadi Tjahjanto, Danlanud Adi Sumarmo Solo yang menjadi Panglima TNI, Jenderal TNI (Purn.) Jenderal TNI (Purn.) Andika Perkasa Danpaspampres semasa Jokowi di awal menjabat.
Pun dengan calon Panglima TNI berikutnya, yakni Jenderal TNI Agus Subiyanto yang juga eks Danpaspampres dan pernah menjadi Dandim Surakarta saat Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo.
Itu belum termasuk pergerakan posisi strategis lain di tiga matra yang seolah sukar disangkal bahwa menggambarkan pola jejaring, pengaruh, dan koneksi tertentu.
Lalu, jika benar Anies mau tak mau akan meniru karakteristik relasinya dengan militer saat menang nantinya, seperti apa proyeksinya?
Beda, Tapi Sama Saja?
Ada sekelumit komentar bertendensi sensitif saat melihat latar belakang Kapten Timnas Syaugi dan Anies dari segi etnis.
Namun, hal itu seolah menjadi satu variabel lain dari proyeksi relasi kekuasaan-militer jika Anies memenangkan Pilpres 2024. Bukan karena etnisnya, tetapi lebih kepada konteks matra.
Ya, matra udara kemungkinan akan menjadi lebih istimewa di mata Anies andai dirinya menang. Hal itu dikarenakan, Anies bisa saja melihat pengaruh rival politik di matra darat telah begitu mendalam dan terlampau kuat meski koalisi politiknya juga diperkuat purnawirawan AD.
Justifikasi fairness matra, tajuk “perubahan”, hingga landasan profesionalitas bahwa para perwira yang tak kalah secara kompetensi membuat matra udara bisa saja di atas angin.
Namun, relasinya dengan matra darat dan laut kemungkinan juga akan tetapi dibangun dan bisa saja melibatkan orang yang paling tidak pernah mengampu di teritorial yang sama.
Seperti misalnya dengan para Dandim teritorial DKI Jakarta dahulu. Sebagai catatan, Pangdam Jaya era di era Anies menjabat Gubernur DKI Jakarta kebanyakan telah pensiun.
Membuka opsi relasi baru atau alternatif bisa saja juga diproyeksikan Anies dan koalisi politiknya. Termasuk dengan memberikan kesempatan kepada perwira Kostrad “tulen” maupun infanteri biasa dan kecabangan lainnya untuk menempati posisi strategis.
Hal itu karena saat ini, posisi strategis dan berpengaruh kebanyakan diampu oleh mereka yang berasal dari Kopassus.
Relasinya dengan matra laut juga boleh jadi akan dieksplorasi lebih lanjut jika Anies menjadi RI-1 untuk memperkuat aspek kemaritiman.
Visi pertahanan juga kiranya harus mulai dikedepankan oleh Anies-Imin selama kampanye nanti agar komprehensivitas isu dan korelasinya dapat dilihat oleh para pemilih.
Hal itu belum termasuk relasinya dengan Polri dan aparat penegak hukum lain yang juga memiliki signifikansi tersendiri dalam konteks kekuasaan dan akan dijelaskan dalam artikel PinterPolitik berikutnya.
Bagaimanapun, siapapun Presiden ke-8 RI nantinya, profesionalitas dan subordinasi militer dalam kontrol sipil yang demokratis diharapkan eksis dan membuat iklim demokrasi berjalan dengan baik. (J61)