Site icon PinterPolitik.com

Anies Nyapres Dijegal Netizen

Anies Baswedan kerap jadi bulan-bulanan warganet. (Foto: Jakarta Post)

Anies Baswedan jadi buah bibir warganet jelang pembukaan pendaftaran capres dan cawapres.


PinterPolitik.com

[dropcap]G[/dropcap]ubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jadi bulan-bulanan warganet. Kebijakannya sebagai nakhoda di ibukota terus-menerus disorot dan jadi sasaran kritik. Warganet tampaknya banyak yang mengambil sikap berseberangan dengan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.

Bagi sebagian orang, kebijakan-kebijakan Anies sebagai gubernur memang dianggap mengherankan. Meski begitu, ia tetap bergeming dan tampak tak ambil pusing dengan kritik dari masyarakat tersebut. Ia bahkan terus menghiasi media massa dan media sosial dengan kebijakan baru yang menuai cibiran masyarakat.

Di satu sisi, mulut pedas masyarakat ini bisa menodai kesucian kiprah Anies sebagai politisi. Apalagi, belakangan namanya disebut-sebut tengah dipertimbangkan untuk menjadi calon orang nomor satu di negeri ini. Serangan bertubi-tubi warganet bisa saja mengurangi peluang sang gubernur menuju Istana.

Nama Anies memang terlampau sering jadi buah bibir media sosial dan media massa. Mungkinkah langkah Anies menuju kursi RI-1 terjegal akibat hujan kritik warga terhadap kebijakannya? Ataukah justru ia bisa mendapat keuntungan dari sorotan-sorotan tersebut?

Hujan Sorotan

Sejak awal pelantikannya, Anies memang telah menjadi buah bibir masyarakat. Bagaimana tidak, kebijakan dan gaya kepemimpinan sang gubernur dianggap sebagai antitesis dari pendahulunya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Perbedaan dengan pendahulunya tersebut membuat ia menjadi bulan-bulanan masyarakat.

Belakangan, frekuensi sorotan kepada Anies tampak meningkat. Pergunjingan terhadap sang gubernur bermula dari kebijakannya untuk menutup Kali Sentiong atau kerap disebut Kali Item dengan jaring hitam. Anies menyebut kebijakan ini sebagai solusi sementara untuk menangkal bau dari kali tersebut menjelang Asian Games.

Setelah itu, nama Anies seperti kejar setoran keluar masuk media massa dan media sosial. Masih berkaitan dengan Asian Games, sang gubernur dihajar penghuni media sosial akibat desain baru trotoar di kawasan Sudirman dan Thamrin. Di mata warganet, desain tersebut menyulitkan masyarakat yang hendak menaiki bus.

Belum usai hujan kritik soal desain baru trotoar itu, nama Anies kembali menggemparkan jagat internet. Video sambutannya saat meresmikan Lapangan Banteng dipotong, sehingga menimbulkan kesan bahwa ia mengklaim pembangunan lapangan tersebut. Lagi-lagi, Anies jadi bulan-bulanan warganet.

Belakangan, kebijakan Anies tentang pembongkaran jembatan penyeberangan orang (JPO) di kawasan Bundaran Hotel Indonesia juga disorot masyarakat. Padahal, menurut warganet, jembatan tersebut berfungsi dengan baik dan membantu mobilisasi mereka di kawasan tersebut.

Di luar itu, masih ada pula perseteruan sang gubernur dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Anies beberapa waktu lalu baru saja mencopot sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov DKI. Langkah tersebut direspons negatif oleh media dan masyarakat.

Meningkatnya frekuensi pemberitaan negatif terhadap Anies bisa saja merugikan. Hal ini terutama karena belakangan nama Anies tengah diperbincangkan untuk menjadi capres dari kubu oposisi. Wacana pasangan Anies-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) misalnya belakangan santer diberitakan akan menjadi penantang petahana Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Bukan tidak mungkin, sorotan negatif yang menghujaninya membuat ia tak lagi populer sebagai capres. Padahal, pendaftaran capres dan cawapres sudah tinggal hitungan hari. Anies seperti dibuat tak berdaya di hadapan jempol-jempol sakti para netizen.

Korban Kampanye Negatif

Terlihat bahwa ada semacam dekonstruksi terhadap figur Anies sebagai salah satu sosok potensial sebagai capres. Namanya yang  menjadi buah bibir terus-menerus diserang akibat kebijakannya yang dianggap kontroversial. Sekilas, ia dibuat terlihat tidak layak akibat berbagai kebijakan yang menuai kritik.

Jika diperhatikan, Anies seperti menjadi korban dari negative campaigning atau kampanye negatif akibat kebijakan-kebijakannya tersebut. Bola-bola kritik yang terus menggelinding ke arahnya menjadi perusak reputasinya yang tengah dibicarakan menjadi capres kelompok oposisi.

Secara konsep, kampanye negatif diartikan sebagai pergunjingan tentang lawan politik dan mengkritik program-program, pencapaian, dan kualifikasi mereka. Definisi ini diungkapkan oleh Richard Lau dan Gerald Pomper. Secara umum, kampanye negatif kerap dianggap sebagai sebuah serangan kepada lawan politik.

Sebenarnya, kampanye negatif merupakan hal yang dianggap wajar dan informatif. Masyarakat diberikan fakta-fakta yang disertai kritik terhadap pejabat yang dimaksud. Dalam kadar tertentu, kampanye semacam ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang jahat dan tidak bermoral.

Meski tidak mengandung unsur jahat, mau tidak mau kampanye semacam ini akan menguntungkan satu kandidat dan merugikan kandidat yang menjadi target. Oleh karena itu, banyak politisi yang tertarik menggunakan strategi semacam ini karena efektif dan tidak sepenuhnya menyalahi moral.

Sejauh ini, memang belum ada bukti bahwa serangan terhadap Anies oleh warganet ini memang dikontrol secara sistematis oleh kelompok tertentu. Meski demikian, dampak yang dihasilkan pemberitaan miring terhadap Anies ini memang dapat dikatakan setara dengan kampanye negatif.

Akibat serangan-serangan tersebut Anies seperti digambarkan sebagai seorang pemimpin yang tidak terlalu kompeten. Nada negatif kerap menyertai komentar-komentar masyarakat di dunia maya terkait dengan kebijakan-kebijakannya belakangan ini.

Jika dilihat sepintas, Anies seperti tengah dijegal langkahnya menjadi capres oleh netizen. Kampanye negatif yang diarahkan padanya bisa membuat nama Anies kian surut di tengah gelombang tokoh-tokoh lain yang juga memburu kursi RI-1.

Berkah Karena Sering Disebut

Negative campaign jelas bisa merugikan siapapun yang menjadi korban serangannya. Meski begitu, kondisi ini tidak bisa selamanya dinilai dari sisi yang buruk. Dalam kasus Anies misalnya, bisa saja ia justru meraup untung dari serangan-serangan yang hadir di berbagai jenis media.

Sebagaimana disebut sebelumnya, berbagai kebijakan yang ia keluarkan membuat ia hilir mudik di media massa dan media sosial. Namanya menjadi begitu akrab di telinga masyarakat yang sehari-hari terpapar berita.

Kondisi ini disoroti oleh Jonathan Stray, peneliti dari Columbia School of Journalism. Stray menyoroti bahwa penyebutan seorang tokoh politik di dalam media dapat mempengaruhi popularitas tokoh tersebut. Ia menaruh perhatian bahwa jika hanya menghitung penyebutan nama, maka orang cenderung akan mengabaikan apa yang jurnalis bicarakan, terlepas dari negatif ataukah positif.

Stray membahas bagaimana penyebutan media terhadap tokoh-tokoh yang akan menjadi capres jelang Pemilu Amerika Serikat (AS) 2016. Stray menyoroti bagaimana media banyak memberikan nada negatif dalam pemberitaan tentang kandidat presiden Donald Trump. Meski demikian, ia menyebut bahwa pemberitaan negatif tersebut tidak memiliki dampak nyata terhadap popularitas Trump.

Kenyataannya, terlepas dari banyak faktor lain, Trump justru berhasil keluar sebagai pemenang dalam gelaran tersebut. Padahal, serangan-serangan negatif justru banyak terpusat kepada kandidat dari Partai Republik tersebut. Terlihat bahwa nada negatif terhadap Trump memang tidak berpengaruh banyak kepada kemenangan seorang kandidat.

Lebih jauh, Stray bahkan menyimpulkan bahwa popularitas seseorang lebih banyak bertumpu pada seberapa banyak peliputan media terhadap sang kandidat, bukan seberapa positif nada berita yang dihasilkan terhadap kandidat tersebut. Hal ini dapat menjadi tanda bahwa semakin sering seseorang disebut di media, negatif atau positif, maka ia akan semakin populer.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka Anies bisa saja mendapatkan keuntungan serupa dengan Trump di AS. Namanya yang terus-menerus jadi buah bibir media massa dan media sosial dapat memberi keuntungan bagi popularitasnya. Boleh jadi, akibat sorotan masif ini, membuat ia jadi top of mind masyarakat saat ditanya tentang capres pilihannya.

Oleh karena itu, boleh jadi Anies akan tetap berlalu dengan kebijakan-kebijakannya, tak peduli dengan respons negatif masyarakat. Semakin sering ia digunjingkan di media, maka semakin mudah pula namanya menempel di pikiran masyarakat. Dengan begitu, peluangnya menjadi capres akan tetap terjaga.

Menarik untuk ditunggu apakah langkah ini akan berbuah berkah atau petaka bagi Anies. Yang pasti, sebagai seorang yang jadi buah bibir, tampaknya nama Anies belum akan hilang dari lini masa. (H33)

Exit mobile version