HomeHeadlineAnies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis dengan menyebut kampanye mereka di lapangan selalu dipadati lautan peserta. Lantas, apakah data survei tidak mencerminkan situasi lapangan? Atau justru Anies-Muhaimin tengah terjebak ilusi kampanye?


PinterPolitik.com

“Illusion is the first of all pleasures.” – Oscar Wilde

Melihat survei-survei elektabilitas pada periode akhir Oktober hingga awal November 2023, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi buncit alias nomor tiga.

Perhatikan berbagai hasil survei berikut:

 Prabowo-GibranGanjar-MahfudAnies-Muhaimin
Indo Barometer34,2%26,2%18,3%
Poltracking Indonesia40,2%30,1%24,4%
Populi Center43,1%23,0%22,3%
Lembaga Survei Indonesia (LSI)35,9%26,1%19,6%
Indikator Politik36,1%33,7%23,7%
Charta Politika34,7%36,8%24,3%

Namun, menariknya, menanggapi hasil survei minor tersebut, baik Anies maupun Muhaimin justru memberikan respons optimis. Anies, misalnya, berulang kali menceritakan soal kisah sukses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Kala itu, survei Anies-Sandi juga tidak di posisi pertama, namun justru menjadi pemenangnya.

Sedangkan Muhaimin, Ketua Umum PKB itu mengkomparasi hasil survei dengan temuan di lapangan. Di berbagai kesempatan, misalnya kampanye di Makassar, Sidoarjo, dan juga di Depok, lautan peserta justru memadati acara kampanye Anies-Muhaimin.

Ini kemudian melahirkan satu pertanyaan penting yang sudah menjadi perdebatan lama. Apakah temuan survei benar-benar mencerminkan realitas atau situasi di lapangan?

Terjebak Ilusi Kampanye?

Tulisan Ikrama Masloman yang berjudul Ilusi Kampanye Membeludak Pilpres 2024: Besar di Lapangan, Ciut di Survei adalah bahan renungan yang sangat baik. Ikrama mengajukan pertanyaan yang sangat menarik, “Apakah massa membeludak telah melampaui win number?”.

Untuk menjawabnya, Ikrama membuat simulasi perolehan suara berikut:

Untuk menang satu putaran paslon membutuhkan suara 50% plus 1. Sedangkan untuk maju ke putaran kedua, paslon minimal mengantongi 40% suara. Dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 204 juta pemilih, paslon membutuhkan 81 juta suara untuk lolos ke putaran kedua, atau 112 juta suara untuk menang satu putaran.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Katakanlah setiap kampanye dihadiri oleh 100 ribu peserta, dengan simulasi 100 hari kampanye, kerumunan massa yang terlibat baru mencapai 10 juta orang atau setara dengan 4,9% suara nasional. Angka itu sangat jauh dari win number yang harus dicapai. Bahkan, jika pun kampanye disimulasikan dimulai sejak dua tahun lalu, maka baru di angka 20% suara nasional yang didapatkan.

Singkatnya, Ikrama hendak menegaskan bahwa menyimpulkan kemenangan dengan melihat kerumunan massa di lapangan tidak dapat dilakukan. Oleh karena tidak mungkin mengumpulkan 80-100 juta massa ketika kampanye, potensi kemenangan kemudian dapat dilihat melalui temuan survei.

***

Di titik ini, mungkin banyak yang memandang sinis. Ada banyak keraguan di luar sana yang mengatakan kalau survei bisa dibeli, bisa direkayasa, bisa dimanipulasi, dan seterusnya. Sayangnya, pernyataan-pernyataan itu mungkin terlalu mengkerdilkan kemampuan dan kredibilitas lembaga survei.

Faktanya, survei-survei elektabilitas dari lembaga survei kredibel berhasil menunjukkan siapa pemenang di edisi pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2019, lembaga-lembaga survei top menemukan pemenangnya adalah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.

Berikut adalah temuan berbagai lembaga survei kredibel pada periode akhir Maret sampai awal April 2019:

 Jokowi-Ma’rufPrabowo-Sandi
Roy Morgan54,5%45,5%
Indodata54,8%32,5%
Cyrus56,4%38,1%
NIRC57,3%35,9%
Median47,2%39,5%
SMRC57,3%32,5%
Indo Barometer59,9%40,1%
Y-Publica55,3%35,2%
Poltracking53,3%39,7%
Alvara52,2%38,8%
Indopolling57,4%32,5%
Charta Politika55,7%38,8%

Terkait simulasi Ikrama, ada satu pertanyaan menarik yang tersisa. Sebagai sosok yang meraih gelar Ph.D ilmu politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat, bukankah Anies seharusnya sangat memahami kalkulasi semacam itu?

Lantas, kenapa Anies dan juga Muhaimin tetap memkomparasi temuan survei dengan kampanye di lapangan? Apakah keduanya terjebak dalam ilusi kerumunan kampanye?

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Kobaran Api Semangat

Ada dua hipotesis untuk menjawab pertanyaan itu. Hipotesis pertama, jawabannya adalah “iya”. Bukan tidak mungkin Anies dan Muhaimin terjebak pada ilusi kerumunan kampanye.

Jika benar demikian, tulisan Chris Mooney yang berjudul Science Confirms: Politics Wrecks Your Ability to Do Math memberikan penjelasan yang bagus. Mengutip studi dari Yale Law School, Mooney menyebut bahwa gairah politik dapat merusak keterampilan penalaran yang sangat mendasar.

Dengan kata lain, gairah politik Anies dan Muhaimin untuk menang di Pilpres 2024 tampaknya membuat mereka lebih percaya pada kerumunan massa yang parsial, daripada temuan survei yang bersifat menyeluruh.

Hipotesis kedua, jawabannya adalah “tidak”. Alasan di balik respons optimis Anies dan Muhaimin bukan karena terjebak ilusi kerumunan kampanye, melainkan, itu adalah respons untuk memberikan semangat.

Dalam bukunya yang masyhur, The Art of War, Sun Tzu mengatakan, “Apabila prajurit sangat cemas, putus asa, dan tidak memiliki semangat, maka ia tidak bisa diberdayakan.”

Dalam pandangan Sun Tzu, memiliki seorang panglima yang mampu membangkitkan semangat prajurit adalah kunci untuk mencapai kemenangan dalam pertempuran. Seorang panglima yang mampu memotivasi dan menginspirasi prajuritnya akan mampu mengarahkan energi dan tekad mereka dengan lebih efektif.

Kata-kata dan tindakan panglima yang mampu membangkitkan semangat dapat mengubah suasana hati dan mempengaruhi psikologi prajurit, mendorong mereka berjuang lebih keras dan berani.

Dalam menghadapi situasi yang sulit, panglima yang mampu membakar semangat prajuritnya akan mampu menciptakan atmosfer yang positif. Prajurit akan termotivasi dan yakin terhadap tujuan pertempuran.

Kemampuan ini juga dapat membantu dalam mengatasi tantangan dan rintangan, sehingga prajurit lebih termotivasi untuk bertahan dan berjuang, bahkan dalam kondisi yang sulit.

***

Apabila Anies dan Muhaimin tidak memberikan respons optimis, itu dapat menurunkan semangat para pendukungnya. Anies dan Muhaimin dengan jelas ingin mengobarkan api semangat. Jika pendukung mereka kalah mental duluan, tidak akan ada usaha besar untuk bertarung di Pilpres 2024.

Para pendukung mereka mungkin akan mengatakan, “Untuk apa berjuang mati-matian, toh akan kalah karena surveinya kecil”.

Dengan politik adalah pertarungan persepsi, menjaga semangat tempur pemenangan adalah keharusan yang tidak dapat ditawar. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...

Mungkinkah Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran?

Dengan diisi pertarungan tiga paslon, Pilpres 2024 diprediksi kuat membutuhkan dua putaran untuk menentukan pemenangnya. Namun, apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, duet Prabowo-Gibran dapat menjadi...