Dengarkan artikel ini:
Elektabilitas pasangan calon (paslon) nomor urut satu, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin), terus meningkat. Mungkinkah mereka mampu mengejar elektabilitas paslon nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka? Apa senjata andalan Anies-Imin?
“Whenever ARMYs miss us, you can come to us. If you have to go or if you want to go, it’s okay for you to leave us. But always remember this. I will always be here.” – Jungkook, anggota BTS
Siapa yang tidak kenal dengan lagu-lagu BTS – sebuah boyband ternama asal Korea Selatan (Korsel)? Bisa dibilang, boyband satu ini menjadi boyband K-pop pertama yang mencapai status “paling terkenal” di pasar musik dunia dengan lagu-lagu hits-nya seperti “Dynamite” (2020) dan “Butter” (2021).
Kini, sejumlah anggotanya-pun telah meniti karier solo. Salah satunya adalah Jungkook yang akhir-akhir ini dikenal dengan single-nya yang berjudul “Seven” (2023).
Dalam lagu itu, Jungkook menceritakan bahwa dirinya akan hadir selama tujuh hari dalam seminggu untuk orang yang dicintainya. Nah, mungkin, lagu itu ditujukan untuk para ARMY yang senantiasa mendukung karier Jungkook dan kawan-kawan.
Boleh jadi, inilah mengapa akhirnya Jungkook-pun bersedia untuk senantiasa hadir demi para ARMY. Setidaknya, begitulah perkataan Jungkook seperti pada kutipan di awal tulisan.
Apa yang dikatakannya-pun sebenarnya telah dilakukan dalam kesehariannya. Tidak jarang, Jungkook hadir dalam live (siaran) yang dilakukannya di sejumlah platform media sosial (medsos).
Di Instagram, misalnya, Jungkook pernah siaran bersama rekan anggota BTS-nya, yakni Taehyung atau V. Dalam sesi-sesi siaran, merekapun berbicara sembari ditonton oleh audiens secara daring.
Kedekatan Jungkook dan Taehyung ini bahkan jadi pembicaraan. Layaknya teman mereka sendiri, para ARMY-pun mendukung kedekatan keduanya – sampai-sampai memunculkan istilah Taekook (Taehyung dan Jungkook).
Fenomena siaran yang membangun kedekatan antara idol dan fans-nya ini sebenarnya bukanlah hal yang hanya terjadi di Korsel, melainkan juga di sejumlah negara lain seperti Indonesia. Salah satu contoh nyatanya adalah JKT48.
Para penggemar JKT48 selalu membangun kedekatan personal dengan idols mereka di grup musik ala J-pop tersebut. Bahkan, banyak dari mereka rela mengeluarkan uang lebih untuk sekadar bertemu dan berjabat tangan.
Cara-cara inipun akhirnya turut diadopsi dalam dunia politik – di mana sejumlah calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mengadakan sesi siaran di platform-platform seperti TikTok dan Instagram.
Capres nomor urut satu, Anies Baswedan, misalnya, kini mulai rajin melakukan siaran untuk menyapa followers-nya. Dalam beberapa kesempatan, Anies-pun mengajak anggota tim suksesnya – seperti Thomas Lembong – untuk siaran bersama.
Apakah mungkin para capres kini ingin membangun “ARMY” mereka sendiri? Lantas, apa konsekuensinya terhadap capres-capres yang tidak melakukan sesi siaran– seperti Prabowo Subianto?
Anies Tiru Jungkook?
Fenomena yang terjadi di industri hiburan seperti K-pop dan J-pop sebenarnya memiliki dampak berupa membangun sebuah hubungan (relationship). Dalam hal ini, selebriti seperti Jungkook tengah membangun hubungan dekat dengan penggemar-penggemarnya, yakni ARMY.
Hubungan antara idola dan penggemarnya ini disebut sebagai parasocial relationship (hubungan parasosial). Hubungan parasosial sebenarnya merupakan sebuah hubungan psikologis.
Mengacu ke tulisan Donald Horton dan Richard Wohl yang berjudul Mass Communication and Para-social Interaction, hubungan parasosial adalah sebuah hubungan keakraban antara penonton dan penampil – dan inipun bisa terjadi dari jarak jauh.
Meski terpaut jarak, keakraban yang terjalinpun bisa terasa seperti hubungan pertemanan layaknya di dunia nyata. Bahkan, di industri K-pop, keakraban yang terjalin bisa saja dipersepsikan melebihi hubungan pertemanan – misal mengandaikan sang idola layaknya pasangan sendiri.
Keakraban juga semakin menguat melalui sesi-sesi siaran yang dilakukan melalui platform medsos. Jungkook, misalnya, secara rutin melalukan siaran sambil menceritakan kehidupannya sehari-hari kepada para penonton – bahkan kamera dibiarkan menyala ketika sang idola tidur.
Dengan keakraban yang terbangun, kepercayaan audiens kepada persona yang ditampilkan oleh penampil juga akan meningkat. Loyalitas juga bisa terbangun melalui keakraban ini.
ARMY, misalnya, akan membangun kesetiaan terhadap idolanya, seperti Jungkook dan anggota-anggota BTS lainnya. Ini terlihat dari bagaimana ARMY juga akan melakukan apapun demi “melindungi” sang idola.
Bukan tidak mungkin, cara inilah yang akhirnya digunakan oleh Anies. Ketika Anies melakukan siaran, mantan gubernur DKI Jakarta tersebut juga kerap menceritakan kesehariannya.
Pada akhir Desember 2023 lalu, misalnya, Anies melakukan sesi siaran dengan tajuk “Temani Saya di Jalan” di TikTok. Siaran itupun berhasil mendapatkan sekitar 400 ribu penonton.
Lantas, bagaimana siaran yang dilakukan Anies ini bisa menghadirkan hal baru dalam kampanye politik di Indonesia? Mengapa siaran justru bisa memikat pemilih-pemilih baru dalam Pilpres 2024?
Bisakah Prabowo Live?
Konsekuensi lanjutan dari hubungan parasosial yang dibangun Anies bisa jadi berujung pada suara pemilih pada hari pemungutan suara nanti. Apalagi, tidak semua pemilih sebenarnya memiliki familiaritas dengan dunia politik.
Di masyarakat, setidaknya terdapat dua jenis individu, yakni the personal dan the political. Setidaknya, hal inilah yang dijelaskan oleh Staffan Kumlin dalam tulisannya yang berjudul The Personal and the Political.
The political adalah mereka yang memahami dengan baik dinamika politik. Sementara, the personal adalah mereka yang merasa bahwa dunia politik adalah dunia yang tidak bisa diakses secara langsung – sehingga terasa jauh.
Kehadiran siaran melalui platform-platform medsos ini bisa menjangkau para pemilih yang tergolong dalam kategori the personal. Merekalah pemilih yang sudah sibuk dengan keseharian mereka sendiri di luar dunia politik.
Maka dari itu, para pemilih personal akan lebih merasa terhubung dengan hal-hal yang tidak berhubungan dengan politik secara langsung. Tajuk “Temani Saya di Jalan” dari siaran Anies, misalnya, membawa pengalaman perjalanan yang juga dialami oleh banyak orang – yang mana bisa menjadi membosankan apabila itu merupakan perjalanan jauh.
Namun, siaran yang dilakukan di platform medsos sebenarnya juga lebih dari sekadar soal komunikasi personal, melainkan juga persoalan sifat alamiah manusia. Manusia adalah makhluk sosial dan interaksi sosial merupakan hal yang penting bagi manusia.
Bila berbicara soal komunikasi, hal yang penting adalah bagaimana pesan bisa tersampaikan di antara para komunikan. Namun, pesan bukanlah hanya soal kata-kata, melainkan juga terdapat petunjuk-petunjuk non-verbal dalam komunikasi.
Inilah mengapa, saat pandemi Covid-19 terjadi selama beberapa tahun lalu, manusia masih membutuhkan komunikasi non-verbal yang akhirnya bisa dilakukan melalui bantuan teknologi, yakni melalui platform-platform seperti Zoom, Skype, dan Google Meet.
Mengacu ke tulisan Helena Mukli Grillo dan Miranda Enesi dalam tulisan mereka yang berjudul The Impact, Importance, Types, and Use of Non-Verbal Communication in Social Relations, komunikasi non-verbal seperti gerak tubuh juga penting untuk memahami makna dari pesan yang disampaikan.
Selain komunikasi non-verbal, terdapat juga komunikasi paralinguistik – yakni soal bagaimana manusia menggunakan vokalnya seperti intonasi dan nada – untuk berkomunikasi. Ini menjadi penting karena manusia juga berusaha menangkap emosi dari lawan bicaranya.
Dengan begitu, keakraban akan semakin terjalin dengan adanya sesi-sesi siaran yang dilakukan – termasuk oleh para politisi seperti Anies. Para pemilih akhirnya bisa lebih memahami Anies – mulai dari nada bicara hingga senyum yang diekspresikan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Prabowo bisa melakukan hal serupa – mengingat sang menteri pertahanan (menhan) tidak memiliki keluwesan serupa dalam hal interaksi, khususnya interaksi melalui siaran di platform medsos.
Sejauh ini, untuk membangun hubungan personal, Prabowo lebih mengandalkan konten-konten biasa melalui video, foto, atau gambar. Namun, apakah medium-medium ini bisa membangun interaksi dengan audiens? Menarik untuk diamati kelanjutannya. (A43)