Anies Baswedan menyatakan siap maju sebagai capres di Pilpres 2024 jika terdapat partai politik yang mengusungnya. Mungkinkah Anies sedang melakukan blunder besar?
“Perang harus mampu berpegang pada taktik tipu muslihat.” – Sun Tzu, buku The Art of War
Jika berbicara kandidat di 2024 nanti, nama Anies Baswedan sekiranya tidak mungkin dilepaskan. Selain karena dinilai populer, elektabilitasnya juga konsisten tinggi di berbagai survei berkala.
Ketika diwawancara Reuters di Singapura pada 16 September 2022, Anies juga telah menyatakan kesiapannya untuk maju di Pilpres 2024. “Saya siap maju sebagai Presiden seandainya ada partai politik mencalonkan,” ungkapnya.
Seperti yang mudah ditebak, pernyataan itu memantik respons dari berbagai pihak. Partai NasDem, misalnya, sebagai partai yang memunculkan nama Anies di Konvensi-nya beberapa waktu lalu, terlihat memberikan respons positif atas pernyataan eks Gubernur DKI Jakarta itu.
“Pernyataan Anies ini menjadi menarik karena ini ada keberanian, kejujuran dari Anies bahwa dia siap untuk maju,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali pada 16 September 2022.
Melihatnya menggunakan kacamata komunikasi politik, pernyataan Anies kemungkinan adalah apa yang disebut dengan trial balloon. Ini adalah strategi komunikasi politik, di mana politisi sengaja melempar pernyataan atau wacana untuk melihat dan memetakan reaksi publik.
Yang patut menjadi catatan adalah, pada praktiknya trial balloon sering kali tidak diperuntukkan kepada publik, melainkan kepada elite politik atau politisi lainnya. Trial balloon digunakan untuk melakukan diplomasi terbuka. Jika elite politik tertarik, lobi-lobi belakang layar akan dilakukan.
Pada kasus Anies, strategi trial balloon-nya dapat dikatakan sukses. Ini terlihat dari respons positif Ahmad Ali. Selain itu, ramai terdengar bahwa komunikasi antara Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS kian hari semakin erat.
Kuat dugaan, jika ketiganya membentuk koalisi, Anies akan diusung bersama dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres.
Anies Perlu Hati-hati
Sedikit berspekulasi, sebagai seorang pembaca buku, besar kemungkinan Anies tengah menerapkan strategi perang Sun Tzu dalam buku The Art of War.
Dalam bab “Medan Perang”, Sun Tzu menulis, “Orang yang mau mengalahkan musuh harus mengambil peranan inisiatif dan aktif menyerang (offensive) terlebih dahulu.”
Selain melakukan trial balloon, pernyataan terbuka Anies untuk maju di Pilpres 2024 sepertinya merupakan peran inisiatif untuk bergerak offensive. Seperti yang dijelaskan Sun Tzu, Anies tampaknya ingin datang ke medan tempur elektoral terlebih dahulu.
Lantas, jika benar demikian tujuan Anies, apakah itu adalah strategi bertarung elektoral yang tepat?
Sayangnya tidak.
Masih mengutip Sun Tzu, memang benar disebutkan tindakan agresif perlu dilakukan dan kita perlu tiba terlebih dahulu di meda perang. Namun, dalam bab “Manuver Perang”, Sun Tzu memberikan nasihat penting yang perlu dicatat.
Dijelaskan, pasukan musuh yang tiba terlebih dahulu di medan perang memang memiliki keunggulan dalam hal semangat tempur yang tinggi. Namun, itu dapat disiasati dengan tidak dulu menyerang, dan menunggu semangat tempur musuh memudar.
Selama fase menunggu itu, Sun Tzu menyebut berbagai strategi spionase harus dilakukan. Berhubung posisi musuh sudah diketahui, kita perlu mencari berbagai titik lemah musuh, seperti formasi prajurit, strategi menyerang dan bertahan musuh, serta jumlah logistik yang dimiliki.
Nah, apabila membaca nasihat perang Sun Tzu secara teliti, pernyataan terbuka Anies untuk maju di Pilpres 2024 dapat dikatakan sebagai suatu blunder. Mungkin juga dapat dikatakan sebagai blunder besar. Pasalnya, Anies secara terang-terangan telah menunjukkan posisinya.
Ihwal ini yang sebenarnya begitu dihindari berbagai pihak. Banyak kandidat tengah menahan diri saat ini. Mengacu pada kebiasaan partai politik yang mengusung capres-cawapres di akhir waktu, menyatakan diri siap maju sejak dini sama saja dengan mengundang berbagai pihak untuk memberikan serangan politik.
Seperti yang ditulis Sun Tzu, “Manuver perang haruslah seperti angin yang bertiup. Lakukanlah gerakan tanpa suara (silent operation) dengan tenang.”
Pada Pilpres 2019, silent operation jelas terlihat di kubu Joko Widodo (Jokowi). Tiba-tiba di akhir waktu nama Ma’ruf Amin muncul sebagai cawapres Jokowi.
Coba bayangkan, seandainya nama Ma’ruf dimunculkan sejak dini, berbagai serangan politik tentu akan menghantam bertubi-tubi. Akan ada yang menyinggung soal usia, marwah sebagai kiai, hingga ketegangan Ma’ruf dengan Ahok.
Di titik ini, sekiranya ada satu hal yang mengganjal. Sebagai sosok yang telah lama berkecimpung di dunia politik, rasanya sulit membayangkan Anies tidak memahami pentingnya silent operation.
Lantas, kenapa Anies tidak menerapkan silent operation? Kenapa gerakan politik terang-terangan justru dilakukan Anies?
Anies Terlalu Pede?
Sebagai jawaban, setidaknya ada dua hipotesis yang dapat dibangun.
Pertama, Anies tampaknya sudah memiliki berbagai kekuatan politik yang siap mendukung dan melindunginya. Jika berbicara nama, sosok Jusuf Kalla (JK) sekiranya menjadi yang terdepan. Mantan Wakil Presiden itu telah lama diketahui sebagai mentor politik Anies.
Melihat gestur politik terkini, JK tampaknya tengah menghimpun kekuatan politik bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Surya Paloh. Jika ketiga sosok ini bersatu dan koalisi NasDem-Demokrat-PKS terbentuk, sangat masuk akal apabila Anies merasa aman secara politik.
Kedua, ini adalah kemungkinan terburuk, patut diduga Anies terlalu pede dengan dirinya.
Dennis Chong dalam tulisannya Degrees of Rationality in Politics di buku The Oxford Handbook of Political Psychology, menyebut politisi memiliki kecenderungan untuk melihat realitas berdasarkan keyakinan yang disukainya.
Menurut Chong, politisi cukup sulit merespons dan menyerap informasi baru untuk memperbaharui keyakinannya. Ini membuat politisi tidak mengumpulkan cukup informasi untuk membuat dan mengambil keputusan yang tepat.
Melihat kasus Anies, bukan tidak mungkin penjelasan Chong tengah menimpa eks Gubernur DKI Jakarta itu. Berbagai informasi positif, seperti popularitas, elektabilitas, dan memiliki berbagai kelompok relawan tampaknya membuat Anies tidak mempertimbangkan dengan serius skenario terburuk.
Sedikit berspekulasi, seperti yang dijelaskan Sun Tzu, berbagai musuh Anies saat ini tengah menunggu momen yang tepat. Hantaman pamungkas tidak akan dilakukan sekarang. Serangan politik mematikan akan dilakukan pada tahun depan.
Sekitar sebulan atau dua bulan sebelum penetapan capres-cawapres adalah momen sempurna untuk menjatuhkan, hingga menghancurkan Anies.
Kemudian, Anies juga perlu merefleksikan kembali adagium, “tiada kawan dan musuh yang abadi dalam politik”.
Mungkin benar saat ini trio SBY-JK-Paloh tengah membangun kekuatan bersama. Mungkin juga koalisi NasDem-Demokrat-PKS benar-benar akan mengusung Anies. Namun, kemungkinan gugurnya skenario-skenario itu tidak boleh dilupakan.
Sebagai penutup, pernyataan Sun Tzu di awal tulisan perlu dihadirkan kembali. Intisari dari perang adalah tipu muslihat. Pun demikian dengan perang elektoral, menipu dan mengelabui musuh haruslah dilakukan dan menjadi strategi paling mendasar. (R53)