Pendukung Anies Baswedan tetap optimis meskipun berbagai survei elektabilitas menempatkan Anies di posisi ketiga. Mereka bertolak pada Pilgub DKI Jakarta 2017 ketika survei Anies juga bukan nomor satu, tapi keluar sebagai pemenang. Lantas, tepatkah pendukung Anies membandingkan situasi sekarang dengan Pilgub DKI 2017?
PinterPolitik.com
“In this game of politics, it’s always kind of blame.” Jose Andres Puerta
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 merupakan sorotan nasional dan internasional yang begitu signifikan. Tanpa berpikir dua kali berbagai ilmuwan politik dunia berbondong-bondong memberikan perhatian ekstra.
Salah satunya adalah Francis Fukuyama yang memasukkan Pilgub DKI 2017 ke dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment yang terbit pada September 2018. Pilgub DKI 2017 menonjolkan dinamika politik yang kompleks, kontroversial, serta perdebatan penting, khususnya mengenai isu agama dan identitas.
Meski menyisakan sentimen panas hingga hari ini, Pilgub DKI 2017 adalah harapan bagi kelompok tertentu. Mereka adalah pendukung Anies Baswedan, dan tentunya Anies sendiri.
Di berbagai survei elektabilitas, posisi Anies konsisten di nomor tiga, berada di belakang Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Meski demikian, pendukung Anies tetap optimis karena bertolak pada Pilgub DKI 2017. Kala itu, survei elektabilitas Anies juga bukan di posisi pertama.
“Anies ketika di DKI juga nomor 3 terus, tapi pemenang, iya toh? Nah saya rasa survei kita pada punya masing-masing,” ungkap Sekjen PKS Habib Aboe Bakar Al Habsy pada 8 Mei 2023.
Komentar senada juga dikeluarkan Anies. “Soal survei, saya sering mendapat pertanyaan survei itu. Dan saya ingat Pilkada Jakarta, kami tidak pernah nomor 1. Hasilnya?,” ungkap Anies pada 7 Mei 2023.
Hati-hati False Analogy
Dalam studi logika, argumentasi Anies dan pendukungnya disebut dengan argument by analogy atau argument from analogy – akrab disebut argumentasi analogis. Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon dalam buku Introduction to Logic menyebut argumentasi analogis merupakan salah satu bentuk penalaran yang paling umum digunakan.
Meskipun menjadi praktik umum, penggunaan analogi sebagai “argumentasi” sering kali tertukar dengan penggunaannya sebagai “deskripsi” atau “eksplanasi”. Artinya, analogi tidak selalu dapat menjadi argumentasi.
Di sini, perlu dipahami perbedaan argumentasi, deskripsi, dan eksplanasi. Analogi sebagai deskripsi digunakan untuk menggambarkan suatu objek atau peristiwa agar dapat dibayangkan oleh pendengar atau pembaca.
Sementara analogi sebagai eksplanasi digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin tidak akrab di telinga awam, khususnya sesuatu yang rumit. Analogi sebagai eksplanasi digunakan Stephen Hawking ketika menyederhanakan teori-teori fisika teoritis yang rumit dalam bukunya The Grand Design.
Sedangkan analogi sebagai argumentasi digunakan untuk menarik kesimpulan tertentu dengan membandingkannya dengan kasus yang mirip di masa lalu. Ini kerap digunakan dalam pengadilan, khususnya ketika melakukan banding.
Copi, Cohen, dan McMahon memberikan catatan penting terkait argumentasi analogis karena sulitnya menentukan apakah dua fenomena yang sedang dibandingkan benar-benar memiliki kesamaan yang cukup atau tidak.
Menurut mereka, argumentasi analogis kerap terjebak ke dalam false analogy atau analogi yang keliru. Meskipun terlihat sama, analogi yang dilakukan kerap membandingkan dua peristiwa dengan tingkat variabel yang berbeda.
Sekarang pertanyaannya, apakah argumentasi Anies dan pendukungnya tidak terjebak pada false analogy?
Kuda Hitam atau Kuda Liar?
Ada dua variabel pembeda yang membuat kita patut khawatir soal false analogy. Variabel pertama, mengutip temuan Greg Fealy, Sally White, dan Burhanuddin Muhtadi yang berjudul Counter-polarisation and political expediency, terjadi tren penurunan polarisasi setelah Prabowo Subianto bergabung ke koalisi pemerintah.
Tidak terdapat massa militan yang besar di belakang Anies seperti di Pilgub DKI 2017. Tidak ada pula tokoh vital yang menjadi magnet massa setelah Habib Rizieq Shihab (HRS).
Di Pilpres 2024, narasi yang dimainkan justru adalah siapa pihak yang mendapat dukungan politik Presiden Jokowi. PDIP dan Partai Gerindra tengah saling klaim soal arah dukungan RI-1. PDIP menyebut 100% ke Ganjar Pranowo, sedangkan Gerindra menyebut ke Prabowo Subianto.
Variabel kedua, peta tiga paslon saat ini tidak menguntungkan Anies. Harus diingat, Anies baru menang di putaran kedua. Jika Pilgub DKI 2017 hanya satu putaran, pemenangnya adalah Ahok. Banyak pihak menilai bahwa di putaran kedua Anies mendapat limpahan massa dari pendukung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Sedangkan saat ini, meskipun bersaing, massa Ganjar dan Prabowo dapat dikatakan satu suara untuk kontra Anies. Katakanlah Anies lolos di putaran kedua Pilpres 2024, entah itu melawan Ganjar atau Prabowo, Anies akan melawan massa keduanya.
Jika dua variabel itu tidak berubah, dapat dikatakan bahwa argumentasi Anies dan pendukungnya terjebak pada false analogy. Namun, ada satu variabel menarik yang dapat menjadi pembeda. Variabel ini akan menjadi penentu, apakah Anies merupakan kuda hitam atau justru hanya kuda liar.
Variabel itu adalah temuan survei lembaga yang berbasis di Australia, Utting Research. Dalam survei yang dilakukan pada 12-17 Juni 2023, Utting Research menemukan bahwa hanya 18 persen responden yang ingin program pemerintahan Jokowi dilanjutkan secara penuh.
Sebanyak 81 persen lebih mendukung perubahan, 61 persen ingin keberlanjutan dengan perubahan, dan sebanyak 20 persen menginginkan perubahan penuh.
Jika survei itu cukup representatif, Anies Baswedan yang mengusung narasi “perubahan” adalah bacapres yang paling unggul dari segi sentimen akar rumput. Apabila benar masyarakat luas ingin perubahan atas situasi dan program saat ini, peluang Anies untuk menang dapat dikatakan besar.
Namun kembali, itu tergantung pada tepat tidaknya survei Utting Research. Jika tepat, Anies benar-benar merupakan kuda hitam di Pilpres 2024. Seperti pernyataan Anies dan pendukungnya, survei mungkin nomor tiga, namun mereka adalah pemenangnya.
Namun, apabila sebaliknya, Anies tampaknya merupakan kuda liar di Pilpres 2024. Anies adalah sosok menarik yang sulit ditebak. (R53)