Site icon PinterPolitik.com

Anies Jadi Capres Konoha-Wakanda?

anies jadi capres konoha wakanda

Anies Baswedan saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta mengunjungi Perpustakaan Jakarta. (Foto: Antara)

Beberapa waktu lalu, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkit penyebutan negara ini dengan nama “Konoha” dan “Wakanda” di media sosial (medsos). Mengapa warganet banyak menggunakan istilah-istilah tersebut?


PinterPolitik.com

“Why are you worrying about YOU-KNOW-WHO, when you should be worrying about YOU-NO-POO? The constipation sensation that’s gripping the nation!” – J.K. Rowling, Harry Potter and the Half-Blood Prince (2005)

Bagi para Potterheads, nama-nama lain untuk menyebut karakter Lord Voldemort. Penyihir gelap satu ini biasa disebut dengan sebutan-sebutan seperti “You-Know-Who”, “He-Who-Must-Not-Be-Named”, atau “The-Dark-Lord”.

Bahkan, “Lord Voldemort” sendiri juga bukanlah nama asli dari karakter tersebut. Nama “Lord Voldemort” merupakan sebuah anagram untuk nama Tom Marvolo Riddle – sosok yang menjadi karakter antagonis utama dalam seri novel dan film Harry Potter

Namun, nama-nama samaran dari Tom Riddle ini dibuat bukan tanpa alasan. Karena begitu kuat dan begitu menyeramkannya kekuatan sihir yang dimilikinya, tidak ada yang berani menyebut nama Voldemort secara langsung. 

Pasalnya, Voldemort bisa kapan saja muncul secara diam-diam. Penyihir gelap ini juga punya kemampuan untuk terbang tanpa menggunakan alat apapun.

Nah, mungkin, perasaan takut seperti ini mungkin juga muncul di antara para warganet Indonesia. Beberapa waktu lalu, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ikut mengangkat isu ini.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak warganet menggunakan istilah-istilah seperti “Wakanda” dan “Konoha” untuk menyebut negaranya sendiri, Indonesia. Padahal, istilah “Wakanda” merupakan nama negara fiktif yang ada dalam film Black Panther (2018) dan Black Panther: Wakanda Forever

Sementara, nama “Konoha” adalah nama desa dalam anime serial, Naruto (2002-2007) dan Naruto: Shippuden (2007-2017). Hmm, mengapa warganet menggunakan istilah-istilah ini?

Anies pun menyebutkan bahwa penggantian nama Indonesia menjadi “Konoha” dan “Wakanda” merupakan bentuk self-censorship (pembatasan diri) yang berakar dari perasaan takut – mirip dengan apa yang terjadi dalam penyebutan nama Voldemort di film dan novel Harry Potter

Namun, adanya self-censorhip ini menunjukkan bahwa ada pertanyaan besar yang perlu dijawab. Mengapa warganet malah lebih memilih untuk menggunakan istilah-istilah tersebut? Lantas, mengapa Anies memilih untuk turut berkomentar?

Kode-kode ala Konoha-Wakanda

Apa yang terjadi di masyarakat Hogwarts dalam film dan novel Harry Potter sebenarnya bisa dibilang menjadi cara komunikasi yang menggunakan kode-kode. Bukan tidak mungkin, hal yang sama juga terjadi di masyarakat Indonesia.

Penggunaan istilah atau nama lain seperti ini bisa disebut sebagai kata-kata kode. Kode sendiri bisa dipahami sebagai sistem atas kata, huruf, dan simbol yang digunakan untuk berkomunikasi tanpa diketahui maknanya oleh orang lain yang berada di luar pihak-pihak yang berkomunikasi.

Contoh penggunaan kode sehari-hari yang mungkin sering ditemui adalah ketika sekelompok teman sedang bergosip. Tidak jarang, sekelompok teman akan menggunakan istilah-istilah rahasia yang mereka bisa pahami sendiri.

Misal, kelompok ini akan menggunakan sebutan “si A” atau “si B” untuk menyebut orang yang dibicarakan. Tujuannya sederhana, yakni agar orang lain dan orang yang dibicarakan tidak bisa memahami apa yang dibicarakan.

Inilah yang disebut oleh Donald G. Ellis dalam tulisannya Syntactic and Pragmatic Codes in Communication sebagai indeterminacy – yakni bagaimana sesuatu menjadi abu-abu dan sulit didefinisikan. Indeterminacy ini bisa didapatkan dengan konstruksi teks-teks internal di antara individu-individu terkait.

Lantas, bagaimana para penyihir di Hogwarts bisa paham bila “You-Know-Who” dan “He-Who-Must-Not-Be-Named” merujuk pada Voldemort?

Nah, Ellis juga menjelaskan bahwa, untuk memahami sepenuhnya kode-kode yang digunakan, diperlukan akumulasi pengetahuan dari pengalaman komunikasi terkait kata-kata yang digunakan dalam kode-kode tersebut. 

Berkaca dari penjelasan Ellis tersebut, menjadi mudah bagi para penyihir Hogwarts untuk memahami sebutan-sebutan itu. Alasannya adalah karena pengetahuan itu sudah tersebar di sekolah sihir tersebut – tanpa harus dikenali atau dipahami oleh Lord Voldemort-nya secara langsung.

Lantas, bagaimana dengan kode-kode seperti “Konoha” dan “Wakanda”? 

Bukan tidak mungkin, penggunaan istilah “Konoha” dan “Wakanda” bertujuan untuk menciptakan indeterminacy di dunia maya. Dengan begitu, para warganet bisa berkomunikasi tanpa diketahui secara langsung oleh pihak terkait yang dikritik.

Menjadi masuk akal apabila akhirnya Anies menyebutkan bahwa ada semacam upaya kritik terhadap kondisi Indonesia dengan menggunakan istilah-istilah “Konoha” dan “Wakanda”. Namun, mengapa Anies kini mengungkapkan hal ini? Mungkinkah ada kepentingan tertentu?

Anies Speaking the Lingo?

Istilah-istilah samaran seperti ini bisa dibilang merupakan bagian dari lingo. Lingo sendiri merupakan sebuah istilah slang yang mana – dalam Merriam-Webster Dictionary – dapat dipahami sebagai karakteristik bahasa dari individu tertentu atau kosakata-kosakata khusus dalam bidang tertentu.

Bukan tidak mungkin, ini menjadi upaya Anies untuk bisa berbicara dengan lingo yang digunakan oleh para warganet Indonesia – khususnya mereka yang masih masuk dalam kategori usia Milenial dan Generasi Z. 

Apa yang dilakukan oleh Anies ini bisa dijelaskan dengan tulisan Robert J. Ristino yang berjudul The Sociocultural Model of Public Relations/Communications Management Practice: A Critical-Cultural Perspective. Setidaknya, mengacu ke Ristono, dalam manajemen komunikasi dan hubungan masyarakat (public relations), budaya bisa dipahami sebagai simbol dan ekspresi yang dimiliki bersama untuk memahami kehidupan sehari-hari. 

Hubungan antar-simbol ini akhirnya turut membangun tata perilaku dalam masyarakat. Mungkin, penjelasan inilah yang akhirnya dipahami oleh Anies. Lingo yang digunakan merupakan salah satu cara komunikasi publik.

Sebagai contoh, ada seorang perantau yang baru tiba di sebuah wilayah baru. Ketika tiba, perantau ini tidak bisa memahami sepenuhnya budaya yang dimiliki oleh warga setempat – karena memiliki latar belakang budaya berbeda.

Namun, ketika si perantau ini mulai belajar bahasa lokal yang digunakan, perantau ini secara perlahan-lahan akan ikut memahami budaya yang dianut masyarakat. Perantau dari Surabaya, misalnya, akan bisa terlibat dalam budaya Jakarta dengan memahami bahasa-bahasa yang digunakan di ibu kota.

Anies pun sama. Dengan menggunakan lingo seperti “Konoha” dan “Wakanda”, Anies mencoba untuk bisa memahami budaya yang digunakan oleh warganet – khususnya dalam mengkritik situasi sosial-politik.

Dan, bukan tidak mungkin, dengan menggunakan lingo yang sama, Anies akhirnya berada dalam kelompok yang sama dengan mereka yang menggunakan lingo tersebut – membuat dirinya lebih familiar dengan para pemilih. Bukan begitu? (A43)


Exit mobile version