Site icon PinterPolitik.com

Anies Harus Jadi “Politisi Tengah”?

Anies Harus Jadi “Politisi Tengah"?

Foto: Suara Nasional

Bakal calon presiden (bacapres) dari Partai NasDem Anies Baswedan, tampaknya ingin menghilangkan stigma politik identitas yang selama ini telah disematkan pada dirinya. Namun, di sisi lain Partai Ummat yang menjadi pendukung Anies justru secara terang-terangan mengusung politik identitas. Lantas, apakah Anies perlu menegaskan posisinya sebagai politisi poros tengah?


PinterPolitik.com

Bakal calon presiden (bacapres) dari Partai NasDem, Anies Baswedan menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Ummat di Jakarta pada Selasa, 14 Februari 2023. Di dalam acara tersebut Partai Ummat juga menegaskan bahwa secara resmi akan mendukung Anies sebagai capres.

Di dalam Rakernas itu Anies diminta menjadi pembicara oleh Partai Ummat. Anies sempat menyinggung soal politik identitas ketika mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama (BTP/Ahok) pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Anies tampaknya mewanti-wanti kepada Partai Ummat untuk tidak menggunakan narasi politik identitas seperti peristiwa yang terjadi pada Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019 lalu.

Seperti yang terlihat, pernyataan tegas Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi soal partainya mengusung politik identitas menuai beragam reaksi keras. Politikus PSI Guntur Romli, misalnya, sampai menyebut Partai Ummat sangat berbahaya. Romli menyebut Partai Ummat memiliki pemahaman yang ngawur karena menilai masjid sebagai basis perjuangan politik Partai Ummat.

Atas serangan sentimen negatif itu, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai Anies sedang berupaya untuk keluar dari stigma politik identitas. Anies merasa dirinya trauma akibat narasi-narasi kebencian yang menyebabkan perpecahan kelompok masyarakat. Terlebih, Anies ingin dipandang sebagai sosok yang nasionalis dan moderat.

Menurut Direktur Eksekutif IndostrategicAhmad Khoirul Anam, konteks itu yang membuat Partai Ummat bagaikan pedang bermata dua kepada Anies Baswedan. Jika Anies tidak bisa “menjinakkan” politik identitas, maka kemungkinan akan menjadi beban kepada Anies sendiri. Begitupun sebaliknya, jika berhasil “menjinakkan”, itu akan menjadi dukungan yang sangat potensial bagi Anies.

Lantas, apakah Anies bisa “menjinakkan” para pendukung-pendukungnya untuk tidak menggunakan politik identitas sebagai narasi kebencian di Pilpres 2024?

Tantangan Berat

Politik identitas lahir dari proses sosial yang alamiah. Mengutip buku Francis Fukuyama yang berjudul The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, secara alamiah manusia mestilah berpolitik. Peradaban manusia melahirkan “politik” untuk mengatur perbedaan-perbedaan di antara diri mereka.

Dapat dikatakan “politik” merupakan respons terhadap kesadaran perbedaan identitas. Apa yang disebut identitas memiliki makna yang sangat luas, mulai dari identitas agama, suku, ras, kelompok kerja, ideologi, dan seterusnya.

Lili Romli dalam tulisannya Political Identity and Challenges for Democracy Consolidation in Indonesia, menegaskan politik identitas susah dihindari, apalagi Indonesia adalah negara multikultural.

Sebagaimana dijabarkan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Partai Ummat Sedang Bunuh Diri?, masalahnya bukan terletak pada politik identitas, melainkan politik kebencian (politics of resentment). Politik kebencian adalah fenomena politik ketika narasi identitas dibumbui narasi kebencian.

Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment menjelaskan bahwa  tantangan utama demokrasi saat ini adalah tumbuh suburnya politik kebencian akibat penetrasi internet dan media sosial.

Pesatnya perkembangan teknologi membuat seseorang bisa mengirimkan informasi sebebas-bebasnya terutama ujaran kebencian (hate speech) untuk menjatuhkan identitas kelompok lain.

Mencegah politik kebencian adalah tantangan terberat bagi Anies. Terlebih, munculnya politik kebencian juga membatasi ruang gerak Anies untuk meraih dukungan kelompok moderat dan nasionalis seperti yang diharapkan. Tentu hal ini berdampak pada elektabilitas dan citra Anies di mata publik.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh Anies untuk “menjinakkan” politik identitas di Pilpres 2024?

Jadi Poros Tengah?

Di titik ini, sudah saatnya Anies harus bertindak secepatnya untuk mencegah meluasnya politik kebencian dan stigma politik identitas yang melekat pada dirinya. Eleanor Penny dalam All Politic is Identity Politics and Pretending otherwise only benefits the Far Right menyampaikan bahwa kita harus berani mengambil sikap, karena faktanya semua politik itu erat dengan politik identitas.

Maka dari itu, sudah saatnya Anies harus menentukan sikapnya dengan tegas sebagai sosok yang moderat dan nasionalis di tengah-tengah keragaman identitas.

Michael Rush dan Philip Althoff dalam buku Political Sociology Introduction menyampaikan tentang pentingnya sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah proses memperkenalkan sistem politik kepada individu atau masyarakat, sehingga dapat berpengaruh terhadap reaksi-reaksi masyarakat untuk mengembangkan sikap, nilai, keyakinan, pendapat, dan perilaku yang kondusif untuk menjadi warga negara yang baik.

Selain itu, sosialisasi politik juga memiliki fungsi untuk mencerdaskan bangsa, dan memelihara sistem politik suatu negara. Filsuf Jean-Jacques Rousseau juga menyampaikan bahwa penting memberikan edukasi untuk memperhitungkan nilai-nilai politik dengan metode sosialisasi.

Sebelumnya, Anies Baswedan sudah pernah melakukan sosialisasi politik pada masa awal deklarasinya sebagai bakal calon presiden oleh Partai NasDem. Melalui sosialisasi politik itu, Anies bersama partai pengusungnya berupaya untuk memperkenalkan sosok Anies kepada khalayak publik. Sosialisasi ini juga dimanfaatkan untuk mengklarifikasi sejumlah hal terutama bagi pihak yang masih menilai Anies sebagai sosok yang intoleran.

Mengutip pernyataan Robert Le Vine dalam Political Sociology Introduction karya Michael Rush dan Philip Althoff, tantangan sosialisasi politik di negara berkembang justru memiliki relasi dekat dengan nilai-nilai tradisional dibanding nasional.

Hal ini disebabkan karena ketika masa penjajahan, nilai-nilai tradisional menjadi tersingkir dan lebih difokuskan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Namun, setelah kemerdekaan suatu bangsa tercapai, maka nilai-nilai tradisional muncul kembali dan menunjukkan kepentingannya melalui partai-partai politik.

Ini menjawab kenapa Anies dan NasDem gencar melakukan safari politik dan mengeluarkan pernyataan ke hadapan publik. Selain untuk menjaga keterkenalan, juga sebagai sosialisasi dan pendidikan politik. Ini penting dilakukan untuk membangun kesadaran, pemahaman pendapat, serta perilaku individu.

Syamsudin Haris, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyampaikan betapa pentingnya pendidikan politik dari para calon pemimpin bangsa.

“Bangsa ini butuh pendidikan politik oleh calon-calon presiden dan elite politiknya, supaya apa? Supaya bangsa ini ke depan menjadi lebih dewasa lagi. Demokrasi kita lebih maju dan pemerintah lebih bertanggung jawab,” ungkap Syamsuddin (23/11/2018).

Sebagai penutup, kita dapat menyimpulkan dua hal. Pertama, politik kebencian tentu menjadi tantangan terberat bagi Anies dalam mempersiapkan Pilpres 2024. Politik kebencian yang merupakan tahap lanjutan politik identitas sulit dihindari di tengah diversitas budaya dan identitas yang masif.

Kedua, Anies harus bisa bertindak secara tegas untuk menentukan sikapnya sebagai tokoh nasionalis moderat. Selain itu, sekiranya Anies bisa “menjinakkan” politik identitas dengan metode sosialisasi politik. Mengutip Ahmad Khoirul Umam, jika ingin menang Anies perlu lebih aktif menegaskan posisinya sebagai politisi poros tengah. (R86)

Exit mobile version