HomeNalar PolitikAnies-Gatot Segera Direkrut Oposisi?

Anies-Gatot Segera Direkrut Oposisi?

Meski bukan yang teratas, keuntungan tampaknya direngkuh Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan saat kembali masuk nominasi survei capres 2024 terbaru mengingat sosok keduanya yang tak terafiliasi dengan partai politik (parpol). Lalu, mungkinkah akumulasi tren dari berbagai survei sejak dini tersebut membuat Anies-Gatot dipinang oleh parpol nantinya untuk menatap Pilpres 2024?


PinterPolitik.com

Hasil survei terbaru mengenai daftar calon presiden di Pilpres 2024 kembali dirilis, yang jika dielaborasikan dengan berbagai jajak pendapat sebelumnya, tak ubahnya seperti klasemen pembalap MotoGP musim ini yang terus menampilkan dinamika pergeseran posisi rider di tiap serinya.

Survei teranyar dari Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan pada akhir pekan lalu juga menunjukkan tren serupa. Kali ini, nama Ganjar Pranowo berada di posisi teratas mengungguli Prabowo Subianto hingga Anies Baswedan serta sederet nama lainnya.

Dalam delapan besar nominasi capres itu sendiri, terdapat tiga nama yang mana sosoknya dinilai cukup menggugah untuk disoroti sebab tak terafiliasi oleh partai politik (parpol) manapun, yaitu Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Gatot Nurmantyo.

Dua nama terakhir menjadi menarik karena bersamaan dengan survei tersebut dirilis pada Oktober ini, pemberitaan dan relevansinya pada Pilpres 2024 kembali mengemuka.

Dikatakan menarik lantaran narasinya dikemas dengan postulat dari Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Refly Harun yang menyebut bahwa jika kedua tokoh disandingkan akan sangat dahsyat impresi yang ditimbulkannya pada kontestasi politik 2024 sebagai “simbol perlawanan terhadap rezim”.

Kendati demikian, jika terlebih dahulu berbicara konteks survei itu sendiri, mengapa kiranya begitu jamak jajak pendapat dini yang dilakukan terkait kandidat capres 2024? Serta apakah serangkaian survei semacam ini akan menimbulkan benefit konkret secara politik, khususnya bagi Anies dan Gatot?

Agenda Pihak Tertentu?

Terdapat beberapa kemungkinan untuk menjelaskan mengapa survei kandidat capres bahkan sudah bertebaran dengan berbagai versi dan metode, meskipun Pilpres baru akan berlangsung empat tahun lagi.

Paling tidak sejak Januari hingga Oktober 2020, terdapat delapan belas survei terbuka capres 2024 yang dilakukan berbagai lembaga, di mana nama-nama yang ada dalam “klasemen” tampaknya memang itu-itu saja dan hanya silih berganti memuncaki posisi terfavorit.

Memang, survei tersebut tak keliru untuk dilakukan kapanpun, akan tetapi dua analis politik tanah air tetap mewanti-wanti agar publik cermat untuk meresponsnya karena bisa saja survei tersebut bernuansa politis.

Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menyebut bahwa survei dini capres 2024 sah saja selama transparan dan akuntabel terkait apa maksud dan tujuannya.

Fokus Siti ialah mengenai keterbukaan lembaga survei terhadap temuan mereka apakah merupakan pesanan pihak tertentu atau tidak. Ia menyebut tak masalah apabila survei tertentu merupakan pesanan, selama publikasinya hanya diungkap kepada pihak pemesan. Dirinya menekankan bahwa jangan sampai survei pesanan menjadi konsumsi publik dan membuat publik kemudian digiring dengan opini.

Baca juga :  PKS Di Sana Bingung, Di Sini Bingung

Sementara Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies, Jerry Massie menganggap hasil survei terkait Pilpres 2024 yang dirilis masih sangat prematur dan menduga ada unsur politis di balik hasil-hasil survei tersebut.

Belum lagi konteks agenda Pilpres sebuah negara itu sendiri yang dinilai tidak sesederhana persoalan domestik semata. Negara seperti Amerika Serikat (AS) bahkan sempat ditengarai disusupi invisible hand dari pihak luar, yakni Rusia pada dinamika Pilpres AS 2016 lalu. Hal ini kemudian juga menjadi variabel yang tampaknya tidak bisa dikesampingkan begitu saja pada kasus survey dini capres 2024.

Karenanya, jika mengacu pada dua argumen analis di atas, selain sebagai upaya legal normatif dari lembaga survei untuk menilai persepsi publik, agaknya terdapat kemungkinan pula bahwa terdapat tendensi politis tertentu di balik jamaknya berbagai survei “prematur” capres 2024 sampai sejauh ini.

Selain adanya dugaan penggiringan opini, survei yang dirilis juga dinilai sebagai semacam sinyal kepada dunia internasional bahwa nama-nama tersebut yang potensial menjabat sebagai RI-1.

Senada, Danielle Kurtzleben dalam What You Need to Know About Early Polls and How to Read Them, dengan mengutip seorang profesor bidang kebijakan publik Rutgers University, Clifford Zukin, menyebutkan bahwa esensi dari survei dini ialah sebagai name recognition atau pengakuan dan dikenalnya nama sang kandidat.

Variabel nama yang diakui tampaknya memang menjadi awal yang penting bagi kandidat manapun di dunia yang bertarung dalam kontestasi elektoral. Philip Bump dalam tulisannya di The Washington Post, dengan menggunakan studi kasus Pilpres AS 2016 lalu juga menyimpulkan bahwa dukungan suara sangat berkorelasi dengan name recognition.

Esensi tersebut selain dapat menjadi alasan kuat bagi tendensi politis dari survei dini capres 2024 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada sisi berbeda dan secara umum, agaknya juga dapat menjadi keuntungan tersendiri bagi pihak lain yang namanya konsisten berada dalam daftar persaingan. Tak terkecuali bagi sosok Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo.

Walaupun peringkatnya fluktuatif dan tak selalu berada pada posisi teratas, bersama dengan Ridwan Kamil, dua nama tersebut menjadi sosok istimewa karena tak terafiliasi dengan parpol manapun namun cukup jamak disebut dan diperhitungkan.

Menjadi semakin menarik sebab keduanya sempat disinggung oleh pakar HTN, Refly Harun sebagai duet yang sangat dahsyat apabila disandingkan pada Pilpres 2024 mendatang sebagai “simbol perlawanan terhadap rezim”.

Lantas, dengan relevansi survei capres yang juga memperhitungkan Anies dan Gatot, akankah tajuk “simbol perlawanan terhadap rezim” ini menjadi komoditas utama di Pilpres 2024 mendatang dan akan berarti banyak bagi keduanya?

Baca juga :  PKS Keok…

Anies-Gatot Akan Direkrut Oposisi?

Agaknya menjadi kurang lengkap jika dalam membaca proses dan dinamika Pilpres 2024 hanya berkaca pada survei dan nama sosok potensial, tanpa berbicara mengenai konteks isu prominen yang kiranya akan mengiringi kontestasi tersebut.

Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Ole Borre dalam Issue Voting: An Introduction yang menyebut bahwa motivasi pemilih dalam sebuah pemilu ditentukan oleh tiga hal, yakni identifikasi parpol, kandidat, serta orientasi isu.

Margaret Scammell dalam Political Marketing: Lessons for Political Science menyatakan bahwa isu yang relevan dapat menjadi sebuah political marketing yang cukup “menjual” bagi para pemilih. Dalam hal ini para aktor politik akan berlomba merespons apa yang penting bagi publik dalam sebuah pemilu.

Artinya, jika kalkulasi saat ini dengan berbagai isu di masyarakat yang cenderung menaruh kekecewaan kepada pemerintah, tajuk “simbol perlawanan terhadap rezim” tampaknya memang akan menjadi nilai jual yang cukup tepat bagi kandidat yang akan bersaing di Pilpres 2024.

Dan sampai saat ini, orientasi isu tersebut tampak memang hanya relevan dengan sedikit nama yang muncul dalam survei capres 2024, yang secara otomatis dinilai akan mengarah pada sosok Anies dan Gatot yang notabene bebas dari afiliasi parpol seperti yang dinarasikan oleh Refly.

Pertanyaannya, apakah Anies dan Gatot mampu masuk ke dalam persaingan Pilpres 2024 yang sesungguhnya?

Secara konstitusional, tak terafiliasi dengan parpol manapun memang menjadi problem tersendiri bagi Anies dan Gatot untuk menatap Pilpres karena tanpa masuk atau dipinang parpol akan membuat keduanya mustahil untuk mencalonkan diri.

Sementara orientasi isu yang relevan dengan keduanya pun masih belum membuat parpol oposisi seperti PKS atau Demokrat menunjukkan gelagat atau tanda ketertarikan.

Akan tetapi jika berkaca pada Pilpres 2014, di mana Joko Widodo (Jokowi) kala itu berhasil dicalonkan dan menyingkirkan nama prominen lain di PDIP karena tingkat elektabilitas yang tinggi. Kala itu, kombinasi orientasi isu yang terkait dengan citra Jokowi menjadi kekuatan besar yang bahkan mengantarkannya ke Istana.

Bukan tidak mungkin hal serupa namun sedikit berbeda akan terjadi pada kasus Anies dan Gatot jika isu dan tajuk untuk berseberangan dengan pemerintah menjadi semakin relevan, serta membuat parpol tertarik merekrut atau bahkan benar-benar memasangkan keduanya. Apalagi elektabilitas keduanya dinilai masih sangat berpeluang untuk terus meningkat.

Bagaimanapun, proses menuju Pilpres 2024 masih cukup panjang dan segala kemungkinan masih dapat terjadi. Survei, berbagai isu hingga narasi terkait kontestasi tersebut agaknya akan terus mewarnai risalah politik nasional ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?