HomeHeadlineAnies-Ganjar Harus Cegah Tragedi 2019 Terulang

Anies-Ganjar Harus Cegah Tragedi 2019 Terulang

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Jelang pengumuman hasil Pilpres 2024 oleh KPU, banyak pihak mewanti-wanti soal peluang kembali terjadinya kerusuhan seperti di Pilpres 2019 lalu. Hal ini beralasan, mengingat ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu sangat mungkin memicu gesekan yang bisa berbuah kerusuhan dengan korban jiwa. Pada titik ini, posisi elite menjadi sangat penting dalam menetralisir keadaan dan mencegah eskalasi situasi agar hasrat ingin berkuasa tak merusak situasi nasional dan memecah belah bangsa.


PinterPolitik.com

Pemilu 2024 telah menjadi sorotan banyak pihak, terutama setelah pengalaman yang pahit pada Pemilu 2019. Sorotan utamanya terkait keamanan dan ketertiban pasca Pemilu. Kekerasan dan kerusuhan yang terjadi pada 2019 harus dihindari dengan memastikan penegakan hukum yang tegas dan efisien.

Sedikit melihat ke belakang, setelah pengumuman hasil Pilpres oleh KPU di 2019 lalu, terjadi kerusuhan dan unjuk rasa yang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Tepatnya pada 21 Mei 2019, KPU mengumumkan hasil Pilpres yang menunjukkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai pemenang atas Prabowo Subianto.

Tim kampanye Prabowo menolak menerima kekalahan dan menyerukan protes. Protes dimulai pada hari pengumuman resmi hasil Pemilu. Kala itu, gedung KPU dan lembaga pemilihan umum lainnya menjadi pusat protes. Kerusuhan terjadi pada malam hari tanggal 21 Mei 2019 di beberapa daerah, terutama di sekitar kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Delapan orang dilaporkan tewas oleh petugas keamanan melalui pembunuhan di luar hukum atau extra judicial killing, sementara ratusan lainnya terluka. Komnas HAM juga mencatat ada 1 korban tewas lain di Pontianak akibat aksi protes serupa.

Amnesty International mengutuk perlakuan brutal terhadap para pengunjuk rasa sebagai “pelanggaran hak asasi manusia yang serius”. Setelah beberapa hari ketegangan, Jokowi dan Prabowo akhirnya menyerukan aksi damai. Kelelahan massal dan tekanan dari berbagai pihak memainkan peran penting dalam meredakan situasi. Dialog dan penerimaan di level elite, akhirnya membuat situasi bisa kembali terkontrol.

Saking gawatnya, kala itu juga sempat terjadi pembatasan media sosial untuk mengurangi penyebaran informasi yang memicu ketegangan. Peristiwa ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga stabilitas dan menghormati hasil Pemilu. Sekaligus juga menunjukkan bahwa konflik sangat mungkin dihindari jika terjadi konsensus di level elite.

Pertanyaannya adalah apakah dengan situasi saat ini di mana tuduhan kecurangan Pemilu serta protes dan ketidakpuasan atas hasil Pilpres 2024 menggema di mana-mana, kerusuhan dan protes berlebihan akan bisa dihindari?

Baca juga :  Jokowi-Luhut Then, Now, and Forever?

Belajar dari Masa Lalu

Bukan rahasia lagi kalau masalah integritas Pemilu menjadi hal kunci dalam gelaran tiap lima tahun ini. Pelaksanaan Pemilu harus transparan dan bebas dari kecurangan. Pihak-pihak terkait, termasuk KPU dan Bawaslu, harus bekerja sama untuk memastikan integritas proses Pemilu.

Kemudian, jika ada sengketa terkait hasil Pemilu, penanganannya harus dilakukan secara adil dan cepat. Proses hukum yang transparan dan akuntabel akan membantu mencegah ketidakpuasan dan ketegangan.

Kalau direfleksikan lebih jauh, pembelahan masyarakat di Pilpres 2024 memang jauh lebih minim katakanlah jika dibandingkan dengan di Pilpres 2019. Namun, potensi konflik dan kerusuhan akibat Pemilu tetap saja sangat mungkin terjadi. Pada titik ini, peran elite, memainkan posisi kunci dalam meredakan konflik tersebut.

Dalam analisis konflik pasca-Pemilu, teori elite menjadi relevan. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis peran elite dalam mengatasi konflik adalah “teori pluralisme elite” yang dikembangkan oleh Robert A. Dahl. Teori ini menggambarkan bahwa kekuatan politik dipegang oleh sejumlah kelompok elite yang berbeda, dan konflik terjadi karena persaingan di antara mereka. Namun, dalam konteks penyelesaian konflik pasca-Pemilu, peran elite dalam meredakan ketegangan menjadi sangat penting.

Di 2019, Prabowo Subianto sebagai salah satu elite politik utama dalam konstelasi politik Indonesia, memiliki pengaruh besar terhadap pendukungnya. Ketika situasi pasca-Pemilu semakin memanas, perannya sebagai pemimpin dalam kubu oposisi menjadi sangat signifikan. Pada suatu titik, Prabowo mengambil langkah yang berani dengan meminta pendukungnya untuk membubarkan diri dan menyerukan agar protes dilakukan secara damai. Tindakan ini adalah contoh konkret dari bagaimana elite politik dapat memainkan peran kunci dalam meredakan ketegangan pasca-Pemilu.

Pentingnya peran elite dalam penyelesaian konflik pasca-Pemilu juga tergambar dari intervensi para pemimpin politik lainnya. Presiden Jokowi yang berhasil memenangkan Pemilu untuk periode kedua, juga memiliki peran penting dalam upaya meredakan ketegangan. Melalui pidato-pidato damainya dan upayanya untuk membangun dialog antara berbagai pihak, Jokowi menunjukkan peran seorang elite dalam memfasilitasi rekonsiliasi dan mempromosikan stabilitas politik.

Selain itu, partai politik dan tokoh-tokoh politik lainnya juga turut serta dalam upaya meredakan konflik. Elite-elite partai politik memiliki akses dan pengaruh yang dapat digunakan untuk menenangkan pendukung mereka serta memobilisasi mereka untuk tujuan-tujuan yang konstruktif. Misalnya, tokoh-tokoh seperti Megawati Soekarnoputri dari PDIP dan SBY dari Partai Demokrat memiliki peran dalam mengoordinasikan upaya-upaya rekonsiliasi.

Baca juga :  Saga Para Business-Statesman

Dari perspektif teori elite, peran para elite politik ini dapat dipahami sebagai manifestasi dari persaingan dan koalisi antar kelompok elite dalam sistem politik. Namun, dalam konteks penyelesaian konflik pasca-Pemilu, mereka menyatukan kekuatan mereka untuk mempromosikan stabilitas dan rekonsiliasi. Hal ini menggambarkan bagaimana elite-elite politik dapat memainkan peran penting dalam membangun kedamaian dan stabilitas politik.

Namun demikian, tidak dapat diabaikan bahwa konflik pasca-Pemilu juga membuka peluang bagi elite untuk memperkuat posisi politik mereka. Dalam persaingan politik yang intens, elite dapat menggunakan konflik untuk memperkuat basis dukungan mereka atau bahkan mengkonsolidasikan kekuasaan mereka. Oleh karena itu, peran elite dalam penyelesaian konflik pasca-Pemilu tidak selalu altruistis; mereka juga mungkin memiliki motif politik di balik tindakan mereka.

Belajar dari Prabowo, Anies-Ganjar Bisa Jadi Kunci

Dalam konteks Indonesia, pengalaman Pemilu 2019 memberikan wawasan berharga tentang dinamika politik pasca-Pemilu dan peran elite dalam mengatasi konflik. Pengalaman ini juga menggarisbawahi pentingnya komitmen para elite politik terhadap demokrasi dan stabilitas politik. Meskipun terdapat perbedaan pandangan dan persaingan politik yang sengit, elite-elite politik mampu bersatu dalam upaya untuk menjaga kedamaian dan stabilitas negara.

Konflik pasca-Pemilu adalah fenomena yang umum terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam mengatasi konflik tersebut, peran elite politik sangatlah penting. Dengan menggunakan teori pluralisme elite, kita dapat memahami bagaimana intervensi elite-elite politik, seperti Prabowo Subianto dan Joko Widodo di 2019, memiliki dampak signifikan dalam meredakan ketegangan dan mempromosikan rekonsiliasi pasca-Pemilu.

Dengan demikian, untuk Pilpres 2024, kubu-kubu yang bersaing harusnya bisa melakukan yang sama. Baik Anies Baswedan maupun Ganjar Pranowo harus bisa meyakinkan para pendukungnya bahwa jalan perjuangan untuk membuktikan kecurangan Pemilu masih bisa ditempuh secara konstitusional lewat MK. Ini bisa meminimalisir potensi konflik dan ketidakpuasan dari para pendukungnya masing-masing.

Sementara bagi Prabowo yang kini keluar sebagai pemenang, dialog dan keterbukaan politik menjadi sebuah keharusan. Bagaimanapun juga jika Prabowo mampu merangkul pihak yang kalah, situasi politik nasional bisa menjadi jauh lebih kondusif. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Return of the Wolf Warrior?

Retorika internasional Tiongkok belakangan mulai menunjukkan perubahan. Kira-kira apa esensi strategis di baliknya? 

Prabowo’s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?

Cak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai “gabut”, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG “kabur” dari investasinya di Indonesia karena masalah “lingkungan investasi”.

Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?

Menguak CPNS “Gigi Mundur” Berjemaah

Fenomena undur diri ribuan CPNS karena berbagai alasan menyingkap beberapa intepretasi yang kiranya menjadi catatan krusial bagi pemerintah serta bagi para calon ASN itu sendiri. Mengapa demikian?

It is Gibran Time?

Gibran muncul lewat sebuah video monolog – atau bahasa kekiniannya eksplainer – membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi.

Anies-Gibran Perpetual Debate?

Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten “bonus demografi” Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?

More Stories

Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG “kabur” dari investasinya di Indonesia karena masalah “lingkungan investasi”.

It is Gibran Time?

Gibran muncul lewat sebuah video monolog – atau bahasa kekiniannya eksplainer – membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi.

Aguan dan The Political Conglomerate

Konglomerat pemilik Agung Sedayu Group, Aguan alias Sugianto Kusuma, menyiapkan anggaran untuk program renovasi ribuan rumah.