Sudah lama Jusuf Kalla (JK) disebut sebagai mentor politik Anies Baswedan. Setelah Partai NasDem mendeklarasikan Anies sebagai capres 2024, apakah sekarang Anies berada di antara tarikan Surya Paloh dan JK? Jika benar ada tarikan semacam itu, pengaruh siapa yang lebih kuat terhadap Anies?
“Politics is a game of friends.” — Jean Chretien
Anies Baswedan, sosok ini tengah menjadi primadona pemberitaan, khususnya setelah Partai NasDem mendeklarasikannya sebagai bakal calon presiden (bacapres). Berbagai topik diskursus mencuat ke permukaan. Mulai dari siapa yang akan menjadi pendamping Anies, kemungkinan penjegalan Anies, hingga kenapa NasDem begitu cepat melakukan deklarasi.
Terkait topik terakhir, ada tiga hipotesis jawaban yang dapat dibangun. Pertama, deklarasi cepat memang merupakan kebiasaan NasDem. Pada 2017, misalnya, partai biru sudah jauh-jauh hari mendeklarasikan Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres yang mereka dukung di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Menarik akar pemikirannya, manuver politik itu kemungkinan besar bertolak pada karya Sun Tzu yang terkenal, The Art of War. Dalam bab “Medan Perang”, Sun Tzu menulis, “Orang yang mau mengalahkan musuh harus mengambil peranan inisiatif dan aktif menyerang terlebih dahulu.” NasDem dengan jelas ingin datang ke medan tempur elektoral terlebih dahulu.
Masih mengutip Sun Tzu, dalam bab “Manuver Perang”, disebutkan bahwa pasukan yang tiba terlebih dahulu di medan perang memiliki keunggulan dalam hal semangat tempur yang tinggi. Konteks ini terlihat jelas pada NasDem.
NasDem telah menegaskan akan pasang badan terhadap setiap serangan politik yang akan menghantam Anies. Perihal ini juga sudah diwanti-wanti dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Anies Lakukan Blunder Besar?.
Kedua, ini adalah strategi NasDem untuk menjaga momentum politik Anies. Dengan purna tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies membutuhkan panggung politik agar tetap mengudara dan tidak meredup.
Ketiga, ini adalah strategi untuk mencatatkan poin. Mengutip penjelasan Begog D. Winarso dalam tulisannya Nggege Mongso, fenomena memberikan dukungan atau deklarasi dini merupakan langkah agar tidak ketinggalan kereta api dan ingin mencatatkan poin politik sejak awal.
NasDem ingin menciptakan persepsi bahwa mereka adalah partai pertama yang mendukung Anies. Dengan demikian, jika eks Gubernur DKI Jakarta itu menjadi RI-1, NasDem memiliki legitimasi untuk meminta imbalan politik terbesar. Singkatnya, ini adalah investasi saham politik.
Kendalikan Anies?
Hipotesis nomor tiga tersebut sangat menarik karena memiliki dampak politik yang besar terhadap Anies. Dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Apakah Surya Paloh Jadi Capres?, telah dijabarkan bahwa kemungkinan alasan tidak majunya Surya Paloh sebagai kandidat di 2024 adalah untuk menjadi string-pullers atau penarik tali.
Dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, Dennis R. Young menjelaskan string-pullers merupakan pihak yang memiliki kontrol atau pengaruh terhadap keputusan pejabat pemerintahan.
Jika targetnya adalah pengaruh, Surya Paloh tidak perlu susah-susah nyapres, melainkan cukup menjadi king maker. Sebagai politisi dan pebisnis handal, Paloh tentu selalu berhitung atas langkah-langkah politiknya.
Mungkin dalam hitungannya, untuk apa menghabiskan biaya besar untuk maju di Pilpres 2024 jika berujung pada kekalahan. Jika benar demikian, ini adalah political humility atau kerendahan hati politik.
Berbeda dengan ketua umum partai politik lainnya yang memiliki ambisi untuk maju, Paloh tampaknya lebih realistis karena menimbang peluang kemenangannya. Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam juga memiliki pandangan serupa.
“Surya Paloh akan realistis, sehingga akan tetap menjadi king maker,” ungkap Arif Nurul Imam pada 2 Juni 2022.
Jika Paloh menjadi string-pullers atau king maker Anies, maka analisis pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, tampaknya harus menjadi topik diskursus serius. Menurut Ujang, dengan menjadi partai pertama pengusung Anies, NasDem dan Paloh telah mempunyai nilai lebih.
Kembali mengutip Begog D. Winarso, ini adalah strategi Paloh untuk mencatatkan poin terbesar terhadap Anies. Sedikit berspekulasi, mungkin Paloh tengah menegaskan bahwa saham politiknya di Anies adalah yang terbesar saat ini.
Terlebih lagi, dibanding PKS dan Partai Demokrat yang disebut-sebut akan bergabung mendukung Anies, NasDem memiliki kursi yang lebih banyak. NasDem memperoleh 59 kursi, Demokrat 54 kursi, dan PKS 50 kursi. Jika benar-benar terbentuk, dengan 163 kursi, koalisi ini berpotensi menjadi yang terbesar di Pilpres 2024.
Lantas, apakah Surya Paloh akan menjadi penarik tali terkuat bagi Anies?
Surya Paloh atau JK?
Meskipun Surya Paloh dan Partai NasDem telah mencatatkan poin besar saat ini, sekiranya itu bukan jaminan untuk menjadi pengendali terkuat bagi Anies. Dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Anies, Bidak JK di 2024?, telah dijelaskan bahwa Anies memiliki hubungan politik yang begitu dekat dengan Jusuf Kalla (JK).
Hubungan dekat ini bahkan diakui sendiri secara terbuka oleh Anies. “Beliau orang tua kita dan hubungannya panjang,” ungkap Anies pada 20 April 2021. “Pak JK menempatkan saya sebagai bukan orang lain, (melainkan) sebagai keluarga,” tambahnya.
Keduanya merupakan alumni dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang memang terkenal memiliki ikatan yang kuat. Kedekatan ini semakin kentara terlihat setelah JK secara terbuka mendukung Anies di Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017.
Padahal, sebagaimana diketahui, lingkaran Istana, khususnya Presiden Jokowi telah dari jauh-jauh hari menaruh dukungan kepada Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok.
Tidak hanya itu, JK juga beberapa kali memasang badan untuk membela kebijakan Anies ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta. Itu misalnya ketika membela Anies yang mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk bangunan di Pulau D yang pada saat itu menimbulkan banyak gejolak penolakan.
Menariknya, narasi pasangan JK-Anies untuk maju di Pilpres 2019 juga sempat beredar pada 2018. Narasi ini pernah disampaikan oleh CEO Riset Saiful Mujani Research Center (SMRC) Djayadi Hanan pada 5 Juli 2018.
Mark Vernon dalam tulisannya The Politics of Friendship memberikan catatan khusus terkait konsep persahabatan yang bermain dalam politik demokrasi. Mengutip filsuf Yunani Kuno Aristoteles, Vernon menyebut perdebatan atas intervensi hubungan persahabatan dalam demokrasi telah menjadi perdebatan sejak era Yunani Kuno.
Persahabatan politik (political friendship) antara Anies dan JK yang sudah terjalin lama merupakan ikatan yang kuat. Tidak berlebihan kemudian berbagai pihak menyebut JK sebagai mentor politik dari eks Gubernur DKI Jakarta itu.
Nah, kembali pada pertanyaan sebelumnya, adanya JK merupakan rintangan terbesar Surya Paloh untuk menjadi string-pullers terkuat Anies. Jika bertolak pada deklarasi dini NasDem, kecepatan deklarasi itu sekiranya kalah jauh dari dukungan politik JK terhadap Anies yang sudah terukir sejak lama.
Terlebih lagi, bukan tidak mungkin terdapat peran JK di balik dukungan Surya Paloh kepada Anies. Sebagai seniornya di Partai Golkar, Paloh tentu menaruh hormat kepada eks-Wakil Presiden itu.
Pada akhirnya, mungkin dapat dikatakan saat ini Anies tengah berada di antara bayang-bayang Surya Paloh dan Jusuf Kalla. Namun, jika mengacu pada aspek psikologis, JK tampaknya memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap Anies.
Seperti kutipan pernyataan Jean Chretien di awal tulisan, “politics is a game of friends.” (R53)