Belakangan ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diterpa berita menghebohkan. Dua aksi deklarasi dukungan kepada Anies sebagai calon presiden (capres) 2024 diklaim dan diduga dilakukan dua kelompok berbasis Islam yang kontroversial, yakni Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Apa yang sebenarnya terjadi di balik isu-isu ini?
“In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way.” – Franklin D. Roosevelt, Presiden ke-32 AS
Pemberitaan tentang politisasi identitas agama seperti tidak ada habisnya. Terbaru, berita heboh muncul dari kabar tentang acara deklarasi dukungan pada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres) 2024, yang dilakukan kelompok relawan bernama Majelis Sang Presiden.
Dalam acara tersebut, sebuah bendera bertuliskan kalimat Tauhid dikibarkan di samping bendera Indonesia. Seperti yang diketahui, penggunaan bendera ini sangat dibatasi karena pernah dijadikan sebagai bendera gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi Islam yang dibubarkan dan telah dilarang oleh pemerintah Indonesia.
Tidak hanya pengibaran bendera Tauhid, acara deklarasi dukungan itu juga disebut diselenggarakan oleh orang-orang yang mengklaim merupakan eks-HTI dan eks-Front Pembela Islam (FPI), bahkan disebut juga ada yang pernah menjadi eks-napi terorisme.
Menariknya, perwakilan dari masing-masing ormas Islam yang disebut tadi mengaku tidak terlibat dalam deklarasi dukungan pada Anies tersebut. Aziz Yanuar, Tim Advokasi FPI, mengatakan tidak ada pembicaraan terkait dukungan capres di dalam FPI. Hal yang sama juga diungkapkan eks jubir HTI Ismail Yusanto, yang mengaku bahkan sama sekali tidak tahu ada acara deklarasi dukungan Anies.
Well, polemik yang terjadi di acara deklarasi tersebut bukan pertama yang terjadi dalam waktu-waktu dekat ini. Beberapa hari yang lalu, muncul juga berita tentang FPI Reborn yang juga memberikan dukungan kepada Anies. Dan sama seperti acara deklarasi dukungan Anies, FPI menyebut mereka tidak terlibat sama sekali, dan mengatakan “FPI Reborn” itu bukanlah bagian dari FPI.
Karena itu, isu-isu ini sesungguhnya memunculkan pertanyaan penting. Mengapa belakangan marak isu politik identitas pada Anies?
Ada Permainan Terselubung?
Sebelum membahas lebih lanjut, ada satu keanehan dari semua isu tadi yang perlu jadi perhatian kita, yakni mengapa orang-orang yang mengaku eks-anggota kelompok yang telah dikecam negara bisa dengan vokal mengaku-ngaku di depan publik?
Pertanyaan sederhana ini membuat kita berpikir, kalau kelompok yang mengaku-ngaku ini benar-benar memiliki agenda politik, maka mereka melakukannya dengan sangat tidak baik. Terlebih lagi, aksi FPI Reborn dan pengibaran bendera Tauhid langsung mendapatkan perhatian dari polisi.
Terkait ini, Presiden ke-32 Amerika Serikat (AS) Franklin D. Roosevelt pernah berkata: “in politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way.”
Semua peristiwa dalam politik pasti direncanakan. Karena itu, bukan tidak mungkin peristiwa-peristiwa ini merupakan sebuah bagian dari agenda politik besar. Pertanyaannya, agenda seperti apa?
Alexander Arifianto dalam tulisannya From Ideological to Political Sectarianism: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, and the State in Indonesia, pernah menjelaskan bahwa mayoritas permasalahan yang berkaitan dengan identitas agama di Indonesia bukanlah disebabkan perbedaan fundamental tentang ajaran agama dari masing-masing kelompok, melainkan akibat masalah sektarianisme atau persaingan antar ormas.
Hal itu karena suara politik masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi pendapat dari tokoh-tokoh agama. Ini persis seperti yang disampaikan Gregory Paul dalam riset kontroversialnya The Chronic Dependence of Popular Religiosity upon Dysfunctional Psychosociological Conditions, yang menjelaskan bahwa masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia akan selalu berkutat di permasalahan politik yang dikaitkan dengan keagamaan.
Paul menjelaskan hal tersebut bisa terjadi karena kelompok agama di negara berkembang selalu dinilai lebih mampu memberikan ketenangan di masyarakat, ketimbang pemerintah yang memiliki keterbatasan ekonomi.
Jika benar demikian, maka bisa diinterpretasikan permainan politik identitas yang belakangan terjadi ini merupakan bentuk persaingan ormas Islam di Indonesia. Berangkat dari anggapan itu, tujuan utamanya sesungguhnya bukanlah untuk menciptakan rasa kebencian pada simbol-simbol Islam, melainkan untuk membungkam ormas tertentu, bahkan sebelum mereka bertindak apapun dalam menyambut Pemilu 2024.
Selain itu, melihat panasnya obrolan mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, dan mengingat Anies adalah salah satu capres yang paling diperbincangkan, maka bisa saja aksi terselubung ini diarahkan pada Anies itu sendiri.
Seperti yang diketahui, Anies merupakan politisi yang cukup kental dengan identitas keagamaan. Ketika memenangkan Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 (Pilkada DKI 2017), pasangan Anies-Sandiaga menang akibat dukungan kelompok Islam. Kemudian, beberapa saat lalu Anies juga terlihat mulai mendekati kelompok Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur.
Jika hal ini benar dilakukan, maka serangan pada citra politik identitas keagamaan Anies diharapkan akan sangat menyakitinya. Ia akan dilihat sebagai pemimpin yang dicurigai mendukung ormas yang telah dikecam negara. Selain itu, serangan ini juga berpotensi merusak hubungannya dengan NU, yang notabene kerap mengkritik HTI dan FPI.
Jika benar demikian terdapat agenda semacam itu, maka aksi-aksi itu dapat disebut sebagai black operation atau operasi intelijen hitam.
Paul Myron Anthony Linebarger, ahli perang psikologis dari AS, yang dikutip dalam buku From Loss to Renewal, mengatakan black operation adalah aksi propaganda intelijen yang dalam tindakannya memiliki tujuan untuk membuat seolah-olah operasi yang dilakukannya adalah tindakan suatu kelompok.
Sederhananya, operasi intelijen jenis ini merupakan sebuah tipuan agar kelompok tertentu dapat ditempelkan sentimen negatif atas kekacauan yang terjadi, padahal tidak melakukannya.
Namun, masih ada satu hal penting lain yang perlu kita pertanyakan. Mungkinkah aksi-aksi ini hanya untuk meredam Anies, atau ada tujuan tersembunyi lain yang tidak kalah pentingnya?
Meniup Lilin Sebelum Dihembus Angin?
Ketua Umum (Ketum) DPP FPI, Muhammad Alattas menilai narasi yang diarahkan pada pihaknya, seperti FPI Reborn, bersifat layaknya upaya pengkambing-hitaman, karena berita yang muncul berpotensi memunculkan Islamofobia di masyarakat, serta mendiskreditkan ormas Islam terkait.
Jika kita mencoba menerawang potensi dampaknya, memang apa yang diberitakan memiliki kemungkinan besar akan berdampak pada gerakan politik yang bersinggungan dengan identitas agama, khususnya dalam menyambut Pemilu 2024.
Siapapun nantinya yang berniat menggerakkan kelompok agama, harus berpikir dua kali karena aparat dan pemerintah sudah bersiap siaga dari sekarang akan munculnya kelompok kontroversial seperti FPI Reborn.
Kembali ke konsep yang umumnya digunakan dalam dunia operasi intelijen, tindakan seperti ini sebenarnya tidak asing. Istilah “cipta kondisi” kerap digunakan oleh pegiat intelijen untuk menjelaskan upaya yang tujuannya adalah merekayasa kondisi yang terjadi di masyarakat.
Dengan memunculkan narasi seperti FPI Reborn dan pengibaran bendera Tauhid, pihak yang bergerak di belakang layar seakan melempar pesan bahwa jika ada yang berani memainkan gerakan politik identitas agama, maka seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah sudah terlebih dahulu waspada.
Well, sederhananya, narasi ini berperan seperti gertakan, sekaligus ancaman.
Dalam konteks politik, kita bisa menyebut tindakan ini sebagai political anathema, yakni upaya untuk melaknat suatu kelompok ataupun ide politik, bahkan sebelum mereka digerakkan. Anathema sendiri adalah istilah yang memiliki makna layaknya kutukan, yang populernya digunakan Paus di Vatikan untuk mencela hal apapun yang berseberangan dengan ajaran yang dianut.
Jika ada yang berani melakukan hal yang sudah ditetapkan dalam anathema, maka orang atau kelompok yang melakukannya akan dikucilkan dan dianggap telah mencoreng kondusivitas yang berlaku di masyarakat. Tindakannya tentu beragam, tapi yang jelas akan bersifat keras dan “membungkam”.
Sebagai intisarinya, kita harus lebih waspada terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan. Menyambut Pemilu 2024, sangat lumrah bila ada kelompok tertentu yang berusaha menaikkan atau justru menjatuhkan pemain politik yang potensial dalam acara demokrasi terbesar Indonesia nanti. (D74)