Jelang Pilpres 2024, banyak pihak yang mulai berlomba-lomba mendorong tokoh-tokoh yang dianggap populer dan mampu menarik hati masyarakat. Sayangnya, Indonesia masih terjebak pada kondisi ketika popularitas dipakai sebagai acuan utama. Padahal, kepemimpinan di level teratas sangat membutuhkan kemampuan perumusan kebijakan dan penyelesaian masalah yang dibentuk dari perjalanan waktu serta pengalaman. Lalu, dengan perjalanan karier yang terus menanjak, apakah sosok seperti Anies Baswedan memenuhi kriteria kepemimpinan yang dipersiapkan untuk posisi teratas?
“I am not afraid of an army of lions led by a sheep; I am afraid of an army of sheep led by a lion”.
::Alexander the Great::
Posisi RI-1 alias Presiden Indonesia bisa dibilang menjadi pucuk kekuasaan tertinggi yang ada di negara ini. Tidak heran, kursi kepemimpinan ini menjadi posisi yang diperebutkan sekaligus menuntut mereka-mereka yang bersaing menuju ke sana untuk mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ini bukan hanya dalam artian seseorang punya popularitas dan dikenal oleh publik saja, tetapi juga soal kapasitas pribadi yang bersangkutan untuk menjadi pemimpin yang baik.
Persoalannya, dalam beberapa kesempatan terakhir, konteks kapasitas itu seolah tak lagi menjadi hal yang utama dan tergeserkan oleh popularitas. Masyarakat kemudian memilih pemimpin atas preferensi “suka atau tidak suka” semata, bukan lagi “bisa atau tidak bisa” dalam konteks program-program kepemimpinan yang diusung sang pemimpin yang bersangkutan.
Tidak heran, alat ukur elektabilitas makin beririsan dengan popularitas seseorang. Ketika yang bersangkutan semakin sering tampil di media sosial macam TikTok misalnya dan kemudian disukai oleh masyarakat yang aktif main TikTok, ada kecenderungan yang bersangkutan dianggap layak untuk maju dan mampu menjadi pemimpin karena dianggap representatif bagi generasi TikTok.
Padahal, seperti yang ditulis oleh Karima Hana-Meksem dari Valdosta State University, kepemimpinan – termasuk kepemimpinan politik – bukanlah sebuah kontes popularitas. Oleh karena itu, sudah selayaknya popularitas tidak dicampurbaurkan dengan narasi kepemimpinan, apalagi dalam konteks status pembuat kebijakan yang menyangkut orang banyak.
Ini tentu menjadi jebakan yang sangat besar. Popularitas tak bisa menjadi alat ukur apakah seseorang kandidat mampu atau tidak mampu memimpin ketika berhasil memenangkan kontestasi elektoral. Kandidat pemimpin seharusnya dipilih dari mereka-mereka yang telah punya jenjang pendidikan dan pelatihan yang menunjang karier kepemimpinannya nanti.
Ini penting karena seperti ditulis Matthew Thomas dan Luke Buckmaster dalam ulasan mereka untuk Parlemen Australia, pembuat kebijakan harus punya kapabilitas kepemimpinan karena mereka membuat kebijakan pada isu-isu yang kompleks dan menyangkut orang banyak.
Tak heran, banyak yang kemudian berargumentasi bahwa pemimpin itu bukan sosok yang punya kualitas bawaan lahir, melainkan ditempa atau diciptakan dalam perjalanan waktu untuk menjadi besar. Pemimpin bukan sekedar paham cara memenangkan hati masyarakat, tetapi juga cara mewujudkan visi dan misi greater good atau kebaikan bersama.
Dari semua kandidat yang ditengarai bertarung di Pilpres 2024, narasi ini menarik untuk dilihat pada pribadi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Nama yang satu ini bisa dibilang punya perjalanan panjang untuk sampai di titik sekarang ini.
Lalu, apa saja poin penting kepemimpinan yang diciptakan atau dipersiapkan itu dan seperti apa status itu bisa dilihat dalam diri Anies Baswedan?
Leaders are Made
Seperti sudah disinggung sebelumnya, argumentasi utama soal kepemimpinan yang diciptakan mungkin bisa dilihat dari kutipan terkenal Vince Lombardi, seorang pelatih olahraga American football, yang berbunyi: “Leaders are made, they are not born”. Ini adalah poin pertama mengapa argumentasi kepemimpinan yang diciptakan menjadi hal yang penting.
Lombardi dikenal sebagai ikon nasional Amerika Serikat (AS) dan menjadi simbol apa yang disebut sebagai “single-minded determination to win”. Gagasannya ini menjadi semacam simbol kekukuhan tekad bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin ketika ia bertekad atau mengondisikan dirinya “diciptakan” untuk menjadi pemimpin.
Kata “diciptakan” pada konteks ini sifatnya bukan alamiah atau bawaan genetik, melainkan sebuah proses penciptaan yang lahir akibat kontruksi, pembelajaran, atau pengalaman. Kata-kata Lombardi tersebut menjadi antitesis dari teori The Great Man yang umumnya menganggap bahwa leaders are born. Bagi penganut teori The Great Man, para pemimpin memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin karena setiap manusia berbeda antara satu dengan yang lain.
Sayangnya, gagasan ini melupakan intisari dari perkembangan psikologi manusia. Para pemikir konstruktivisme misalnya, menyebut realitas, pengetahuan dan kepemimpinan adalah sesuatu yang dikonstruksi dalam perjalanan waktu kehidupan manusia.
Jean Piaget – seorang Psikolog asal Swiss – menyebutkan bahwa manusia mengolah informasi dari pengalaman atau sesuatu yang ia alami ke dalam pre-existing knowledge. Ini yang membuat manusia dari waktu ke waktu akan terus mengalami perkembangan, baik itu pengetahuan maupun kepribadian.
Oleh karena itu, pemimpin yang baik adalah yang memang telah dikonstruksi oleh pengetahuan dan pengalaman untuk menjadi pemimpin – dalam hal ini sebagai presiden Indonesia. Bukan asal seseorang yang karena sering selfie dan bikin konten TikTok, lalu tiba-tiba menjadi populer dan dianggap cocok untuk memimpin.
Not Choosing the Idiots
Konteks pemimpin yang diciptakan ini penting karena dengan demikian, demokrasi benar-benar menghasilkan sosok yang layak dan punya kapabilitas untuk menjadi seorang pemimpin.
Pasalnya, mengutip kata-kata Dean Burnett dalam salah satu ulasannya di The Guardian, politik saat ini lebih banyak diisi oleh para “idiot”. Ya, Burnett secara sarkastik menyebut kebanyakan politisi hari ini sebagai orang-orang yang secara kapasitas kurang mampu untuk menjadi pemimpin.
Dalam tulisan yang berjudul Democracy vs Psychology, Burnett menyinggung tokoh macam Ted Cruz, Boris Johnson, Sarah Palin, dan lain-lain, yang disebutnya sebagai orang-orang idiot yang sayangnya tetap dipilih oleh masyarakat. Para politisi ini disebut Burnett sebagai benar-benar idiot atau pura-pura menjadi idiot. Boris Johnson misalnya, disebut Burnett sebagai orang yang cerdas, namun berpura-pura bodoh untuk mendapatkan kesuksesan politik.
Lalu, kenapa masyarakat memilih sosok-sosok “idiot” ini? Well, Burnett menunjuk efek Dunning-Kruger di mana “less-intelligent people are usually incredibly confident”. Orang-orang yang secara kecerdasan kurang, cenderung menjadi lebih percaya diri. Tidak heran mereka-mereka inilah yang akhirnya tampil dan menjadi politisi, lalu kemudian ikut dalam kontestasi elektoral dan akhirnya dipilih masyarakat.
Sementara dari sisi pemilih, ada hukum Triviality Parkinson, di mana secara psikologis, orang suka menghabiskan waktu pada hal yang mereka pahami, ketimbang sesuatu yang rumit dan tidak mereka pahami. Dengan kondisi mayoritas pemilih di Indonesia misalnya, yang masih berkategori tradisional dengan latar pendidikan yang menengah ke bawah, maka para “idiot” akhirnya yang mendapatkan panggung utama.
Ini bertambah buruk karena mayoritas pemimpin yang ketika dipilih, kemudian lebih banyak sibuk untuk persiapan bagaimana memenangkan kontestasi selanjutnya. Penulis asal AS, James Freeman Clarke, pernah bilang: “A politician thinks of the next election; a statement of the next generation”. Mungkin karena status politisi itulah yang membuat kebanyakan politisi tak benar-benar berpikir untuk membangun, tetapi lebih fokus pada kepentingan elektoral selanjutnya.
Anies Bisa Jadi Kunci?
Faktor lain adalah bahwa pemimpin yang diciptakan, diharapkan bisa mengatasi konflik politik yang terjadi di masyarakat dan fokus pada goals atau cita-cita yang ingin dicapai oleh negara menuju kesejahteraan.
Sosok macam Lee Kuan Yew di Singapura misalnya, dianggap mampu mengondisikan negara yang multirasial menjadi satu kesatuan entitas yang kuat. Status Le Kuan Yew juga adalah seorang pemimpin yang memang ditempa untuk menjadi pemegang kekuasaan tertinggi berbekal pengalamannya sempat menjadi anggota parlemen Malaysia saat Singapura masih menjadi bagian dari Federasi Malaysia.
Nah, semua variabel-variabel yang sudah dijelaskan, bisa saja terdapat pada Anies Baswedan. Anies adalah pemimpin yang track record-nya sudah menanjak dari level terbawah. Dimulai dari jabatan sebagai Rektor Universitas Paramadina, kemudian sempat menjadi sosok moderator dalam debat Pilpres di tahun 2009. Anies juga jadi pencetus program Indonesia Mengajar yang mengirim relawan-relawan pengajar ke pelosok Indonesia.
Anies juga pernah berkiprah di Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK ketika ia menjadi anggota “Tim 8” yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia kemudian ikut dalam Konvensi Capres dari Partai Demokrat di 2014. Sempat jadi Juru Bicara untuk pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla di Pilpres 2014, Anies akhirnya menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sebelum akhirnya meraih kursi Gubernur DKI Jakarta di tahun 2017 lalu.
Dari kiprahnya tersebut, Anies adalah contoh pemimpin yang yang punya garis kepemimpinan linear. Ibarat Napoleon Bonaparte yang bisa jadi besar bukan karena dilahirkan sebagai pemimpin, tetapi karena memang dikondisikan secara pendidikan dan pengalaman untuk menjadi pemimpin, mungkin seperti itulah yang terjadi pada Anies.
Selain itu, Anies juga berpotensi menjadi penengah dari berbagai konflik yang terjadi pada Indonesia. Ia dikenal sebagai pemimpin yang ahli berretorika – hal yang akan sangat membantu karier kepemimpinannya kelak.
Persoalannya, akankah Anies mampu mengkapitalisasi keunggulan-keunggulan yang dimilikinya jika benar-benar maju di Pilpres 2024 mendatang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)