Anies Baswedan merencanakan dana pembangunan kampung dikelola oleh ormas.
Pinterpolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]iuh pemberitaan terkait Pilpres 2019 membuat fokus banyak orang teralih. Urusan lain seperti politik lokal seolah tak lagi penting di tengah gempita pesta demokrasi tersebut. Minimnya sorotan itu bahkan terjadi di DKI Jakarta yang merupakan jantung pemberitaan nasional.
Dalam beberapa waktu terakhir, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan membuat kebijakan yang tak lazim dilakukan. Politisi berlatar akademisi itu merencanakan agar dana APBD DKI untuk pembangunan kampung dapat dikelola oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) di kampung tersebut.
Jika perkara hukum formal yang menjadi acuannya, rencana ini boleh jadi tidak bermasalah. Ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 tahun 2018 yang menjadi dasar hukumnya. Akan tetapi, yang menjadi soal adalah bagaimana dana tersebut bisa dikelola dengan baik.
Pandangan negatif tentang pengelolaan dana tersebut muncul dari beberapa pengamat tata kota. Tak hanya itu, anggota DPRD DKI Jakarta yang beroposisi dengan Anies juga mengutarakan kekhawatiran mereka terkait rencana tersebut.
Jika diperhatikan, kebijakan ini berpotensi memicu kontroversi di dalam masyarakat. Lalu, mengapa Anies sampai harus merencanakan kebijakan ini? Apakah kebijakan tersebut murni bentuk partisipasi masyarakat ataukah ada maksud lain?
Pembangunan Partisipatif?
Pembangunan dengan melibatkan ormas memang tidak lazim terjadi di Indonesia. Umumnya, pembangunan dilakukan secara langsung oleh pemerintah atau dilakukan oleh swasta yang lolos proses tender resmi di pemerintah.
Sebenarnya, istilah participatory development atau pembangunan partisipatif adalah istilah yang sering digunakan oleh lembaga-lembaga pembangunan dunia. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia misalnya, menggunakan istilah ini untuk menggambarkan pembangunan yang melibatkan populasi lokal.
Melalui pembangunan partisipatif seperti ini, rasa memiliki terhadap suatu proyek diharapkan menjadi lebih kuat baik itu dari pemerintah, maupun dari masyarakat. Menurut Bank Pembangunan Asia, rasa kepemilikan ini kerap membuat program yang dijalankan menjadi lebih efektif.
Sekilas, gagasan Anies ini terlihat sejalan dengan pandangan tersebut. Pembangunan kampung yang semula hanya melibatkan pemerintah dan swasta, kini juga akan melibatkan masyarakat dalam bentuk ormas. Dana pembangunan kampung yang sudah masuk APBD DKI 2019, kini bisa dikelola ormas untuk membangun wilayah tempat tinggal mereka.
Ormas-ormas tersebut memiliki keleluasaan untuk menentukan sendiri program apa yang diperlukan untuk membangun kampung mereka. Kebutuhan mulai dari pembangunan jalan hingga pelatihan masyarakat dapat difasilitasi melalui dana yang dikelola oleh mereka.
Sejauh ini, peraturan ini masih digodok. Meski begitu, pemprov DKI sempat terekam akan merencanakan dana sebesar 20 persen dari total kas daerah untuk program tersebut. Sebuah besaran angka yang cukup royal untuk diberikan kepada ormas.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana dana yang diproyeksikan sebesar 20 persen itu akan dialirkan dan dikelola. Akuntabilitas dari penyelenggaraan program ini menjadi bahan kritik utama dari kelompok yang menentangnya.
Salah satu yang menjadi soal adalah penunjukan ormas yang mengelola dana. Jika merujuk pada proses yang melibatkan swasta, pemberian jatah proyek lazimnya akan melalui proses tender. Persoalan tentu akan muncul saat ormas-lah yang melakukan pembangunan itu. Standardisasi dan proses seleksi ormas yang menjalankan program menjadi hal yang krusial agar program berjalan secara transparan dan tepat sasaran.
Tak hanya itu, banyak pengamat yang mengingatkan bahwa kebijakan ini rawan menjadi ruang praktik korupsi. Pembagian dana segar kepada ormas rawan dianggap sebagai bagi-bagi proyek. Perkara pengawasan penggunaan dana juga masih belum jelas, sehingga pengucuran dana yang demikian besar membuka peluang praktik penyelewengan.
Hubungan Patron-Klien
Jika hanya mendengar pernyataan Anies, sekilas terlihat bahwa rencana kebijakan itu membuka peluang partisipasi ormas dalam menentukan pembangunan kampung sesuai dengan kebutuhan mereka. Meski begitu, jika melihat peran ormas dalam masyarakat dan politik Indonesia, boleh jadi ada hal lain yang bisa dicapai melalui program ini.
Banyak ormas di negara ini menjalin hubungan patron-klien dengan petinggi pemerintahan dan politik Indonesia. Dalam kadar tertentu, ormas itu kerap kali digunakan untuk mempermudah kemenangan suatu kandidat di suatu pemilihan.
Menurut Laurens Bakker, bagi patron, ormas menjadi sumber dari suara, dukungan populer, dan kelompok pengaman informal. Ormas sendiri berperan sebagai pihak yang dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang berkuasa dan terkadang bisa menekan pemerintah lokal.
Daripada ngurusin bukatutup mending ributin ini. https://t.co/PLwG4ByF5j
— ?ia Masna (@amasna) February 15, 2019
Ormas sendiri memang tergolong ke dalam kelompok yang mendapatkan dukungan dari masyarakat. Merujuk pada Bekker, ormas perlu dukungan dari masyarakat tersebut untuk mendapatkan pengaruh pemegang kekuasaan pemimpin lokal.
Di sinilah boleh jadi mengapa para politisi kerap berupaya untuk mengamankan pengaruh mereka di dalam ormas. Memanfaatkan dan memobilisasi ormas berpotensi untuk mengamankan suara masyarakat secara lebih luas.
Secara spesifik, upaya mengambil hati ormas untuk memenangkan pemilihan ini pernah terjadi dalam konteks Jakarta. Pada Pilgub 2012, Fauzi Bowo pernah berupaya untuk mengamankan dukungan dari dua ormas Betawi utama, yaitu Forum Komunikasi Anak Betawi (FORKABI) dan Forum Betawi Rempug (FBR). Pergerakan Fauzi ini direkam oleh Lee Wilson dan Eryanto Nugroho dalam artikel For the good of the people?.
Menurut Wilson dan Nugroho, FORKABI dan FBR memiliki peran untuk memobilisasi pemilih berbasis etnis. Oleh karena itu, Fauzi perlu mengamankan dua ormas ini untuk memaksimalkan suara dari kelompok etnis Betawi.
Motif Politik Anies
Merujuk pada kondisi-kondisi tersebut, sulit untuk tidak melihat bahwa ada dimensi politik di balik langkah Anies melibatkan ormas dalam mengelola pembangunan kampung. Peran politik mereka yang secara tradisional cukup besar, jelas sulit untuk tak dilihat.
Jika diperhatikan sebenarnya bukan kali ini saja Anies mengucurkan dana cukup besar bagi kelompok masyarakat tersebut. Pada APBD 2018, Anies – dan DPRD – telah terlebih dahulu menganggarkan dana hibah untuk ormas yang ada di Jakarta.
Dalam kadar tertentu, Anies sebenarnya telah menikmati manfaat dari mobilisasi ormas untuk keuntungan politik. Memang, Anies boleh jadi bukan pihak yang berperan aktif memobilisasi ormas, tetapi kemenangannya di Pilgub DKI Jakarta yang diwarnai Aksi Bela Islam menjadi gambaran bagaimana ia menerima manfaat dari keberadaan ormas. Oleh karena itu, Anies tampak harus selalu menjaga hubungan baik dengan kelompok-kelompok tersebut.
Melalui dana pembangunan kampung ini, Anies berpotensi mengukuhkan posisinya sebagai patron penguasa bagi ormas-ormas yang menerima dana. Pada titik ini, Anies berpeluang mendapatkan suara, dukungan populer, dan kelompok pengaman informal yang digambarkan oleh Bekker.
Sekilas, motif politik yang paling bisa ditebak oleh masyarakat adalah bahwa ada upaya balas jasa. Banyak orang telah memaklumi bahwa salah satu faktor kemenangan Anies adalah akibat peran ormas-ormas yang ada di Jakarta. Berbagai kebijakan yang dibuat Anies kemudian dipahami sebagai upayanya untuk mempertahankan pengaruh di kelompok-kelompok tersebut.
Di luar itu, publik bisa saja menduga ada aspirasi politik lebih panjang dari Anies melalui rencana kebijakan tersebut. Yang terdekat, memelihara kebahagiaan ormas bisa menjaga peluangnya untuk mengamankan kursi DKI-1 untuk dua periode.
Selain itu, Anies merupakan salah satu sosok yang dianggap memiliki potensi besar untuk ikut dalam Pilpres 2024. Dalam konteks tersebut, mengamankan pengaruh di mata kelompok ormas tak hanya menguatkan peluangnya menjadi gubernur dua periode, tetapi untuk posisi yang lebih tinggi.
Anies berpotensi terjebak jika memberi dana besar untuk ormas. Share on XYang jadi perkara adalah, kelompok ormas di Indonesia amat lekat dekat budaya kekerasan. Tak hanya itu, ormas juga identik dengan budaya pungutan liar. Budaya ini kerap kali membuat geram masyarakat dan juga terutama pengusaha-pengusaha yang ada di negeri ini.
Pandangan buruk terkait ormas ini menurut Bakker membuat keberadaan mereka kerap dianggap mengganggu dan tidak diinginkan dalam demokrasi yang menjunjung rule of law. Oleh karena itu, publik berpotensi menolak keras pemberian dana pembangunan tersebut kepada ormas. Terlebih, ada indikasi bagi-bagi proyek dan potensi besar terjadinya praktik korupsi.
Membangun hubungan baik dengan ormas kerap kali dianggap melanggengkan praktik ini karena ormas merasa memiliki patron dengan penguasa. Pada titik ini, jika motif politik yang menjadi alasan Anies merencanakan pelibatan ormas, maka ada masalah yang berpotensi mengancamnya.
Masyarakat yang menganggap ormas mengganggu dan tak diinginkan seperti digambarkan Bakker berpotensi mengambil jarak dengan Anies. Masyarakat dan pengusaha yang kerap dirugikan oleh ulah ormas kemungkinan besar tak ingin kelompok itu berkuasa penuh atas pembangunan.
Idealnya pelibatan masyarakat memang diperlukan dalam pembangunan. Akan tetapi, melihat pola relasi penguasa-ormas yang kental akan nuansa politik, rencana kebijakan ini pantas untuk dikaji lebih jauh. Jangan sampai motif politik lebih kentara, sehingga masyarakat mengalami kerugian karena dana dan proyek yang hadir tak tepat guna. (H33)