Setelah agenda “Desak Anies” tak sedikit mendapat respons cukup baik, viralnya “Anies Bubble” di media sosial Twitter dan TikTok tampak menambah sentimen positif bagi duet AMIN. Ini membuat kewaspadaan dan strategi kampanye politik media sosial yang lebih baik dari kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Ganjar Pranowo Mahfud MD mutlak untuk dilakukan di sisa masa kampanye Pilpres 2024.
Satu kemungkinan yang saat ini sedang disoroti kubu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD adalah gelombang atensi positif netizen di media sosial atas kehadiran “Anies Bubble”.
Anies Bubble sendiri seperti semacam gerakan yang disebut bergerak organik dengan berbasis individu – atau kelompok – simpatisan Anies Baswedan di Twitter atau X dengan nama akun @aniesbubble. Kehadirannya pertama kali tercatat muncul pada tanggal 29 November 2023.
Akun tersebut menjadi menarik dan mendapat sorotan karena membawa atmosfer dan atribut terkait K-Pop sejak awal kemunculannya. Praktis, terlepas dari kemungkinan skenario manuver kampanye tertentu di baliknya, penggemar budaya pop Korea Selatan berbondong-bondong tak ingin ketinggalan meramaikan Anies Bubble.
Konten Anies Bubble sendiri terdiri dari unggahan ulang atau repost konten ringan yang telah diunggah Anies, terutama yang berasal dari TikTok. Termasuk sesi siaran langsung atau live TikTok.
Perlu dicatat, penggemar K-Pop di Indonesia memiliki jumlah yang masif dan militan. Plus, mayoritas dari mereka terdiri dari milenial dan gen Z yang merupakan ceruk suara terbesar di Pemilu 2024.
Rival Anies di Pilpres 2024 sendiri sebenarnya telah hadir dan merespons dengan format konten yang serupa. Ganjar, misalnya, yang memiliki akun “alter” di Instagram bernama @jajang_genjar. Karakteristik kontennya pun ringan dan dinilai cukup menghibur.
Mahfud MD pun demikian. Dirinya turut mengikuti tren dengan melakukan live TikTok pada malam tahun baru kemarin lusa. Namun, dengan tema yang lebih serius, yakni seputar hukum yang menjadi spesialisasinya.
Sebelumnya, Prabowo telah meramaikan TikTok dan Instagram dengan narasi gemoy yang diamplifikasi para simpatisan dan relawan. Kemunculan “Prabowo gemoy” pun awalnya cukup mendapat sambutan positif dari netizen atas branding segar sosok Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra itu.
Akan tetapi, Anies Bubble seolah menjadi amunisi politik efektif dan cukup menjanjikan bagi progresivitas kampanye AMIN di media sosial. Ini sekaligus menjadi ancaman besar bagi kubu Prabowo-Gibran dan Ganjar Mahfud yang harus segera melakukan reaksi tandingan yang cepat dan tepat jika tak ingin tertinggal. Mengapa demikian?
“Hipnotis” Perubahan Anies?
Efektivitas penyajian konten segar dan baru yang disukai secara instan dalam kampanye politik di media sosial, termasuk Anies Bubble dapat dipahami melalui aspek psikologis. Khususnya yang terkait dengan swing dan undecided voters yang memiliki populasi cukup signifikan di media sosial. Salah tiga konsep relevan yang menjelaskan fenomena ini adalah novelty bias, curiosity gap, dan mere exposure effect.
Novelty bias atau bias kebaruan mengacu pada kecenderungan manusia untuk lebih memperhatikan rangsangan baru. Dalam konteks kampanye politik, swing dan undecided voters seringkali “dibombardir” dengan informasi dari berbagai kandidat dengan bermacam narasi.
Menyajikan sesuatu yang segar atau baru akan menarik perhatian para pemilih, karena memicu respons psikologis yang mendorong mereka untuk mengeksplorasi dan terlibat dengan konten tersebut. Terlebih, terhadap konten-konten yang berhubungan atau relate dengan interest mereka.
Sementara itu, curiosity gap atau kesenjangan keingintahuan berasal dari teori kesenjangan informasi, yang menyatakan bahwa orang lebih cenderung ingin tahu dan terlibat dengan informasi ketika ada kesenjangan antara apa yang mereka ketahui dan apa yang ingin mereka ketahui.
Ketika konten politik memperkenalkan sesuatu yang baru atau mengadopsi sesuatu di luar politik, seperti budaya pop, hal ini menciptakan kesenjangan informasi, sehingga mendorong para pemilih yang ragu-ragu untuk mencari lebih banyak informasi dan, pada gilirannya, menjadi lebih terlibat dalam kampanye.
Pemilih yang masih belum menentukan pilihan atau belum memutuskan sering kali mengalami disonansi kognitif ketika dihadapkan pada informasi atau pilihan yang saling bertentangan, sebuah kondisi lumrah di media sosial.
Karenanya, penyajian bentuk konten yang segar dan inovatif dapat mengatasi disonansi kognitif dengan memberikan perspektif atau solusi baru. Hal ini membantu menyelaraskan keyakinan atau preferensi pemilih dengan konten yang disajikan, sehingga membuat mereka lebih mungkin terpengaruh.
Lalu, terdapat pula apa yang disebut sebagai mere exposure effect. Ihwal yang menunjukkan bahwa orang cenderung mengembangkan preferensi terhadap sesuatu hanya karena mereka mengenalnya.
Mempertunjukkan sesuatu yang baru namun relate dalam kampanye politik dapat menciptakan efek keterpaparan yang positif, karena para pemilih yang belum menentukan pilihan (swing voter) dan mereka yang masih ragu-ragu menjadi lebih familiar dengan gagasan dan perspektif kandidat.
Sementara itu, secara reaktansi psikologis, pemilih yang belum menentukan pilihan (swing voters) dan yang belum memutuskan (undecided voters) kemungkinan mengalami reaksi psikologis ketika mereka merasa kebebasan memilih mereka terbatas.
Dengan menghadirkan sesuatu yang baru, segar, dan relate, kampanye politik dapat menghindari timbulnya reaksi balik dan menciptakan lingkungan yang terbuka dan akomodatif terhadap beragam perspektif, sehingga lebih menarik bagi pemilih yang belum menentukan pilihan.
Sejumlah variabel di atas kiranya dapat menjelaskan mengapa tanggapan positif menghampiri Anies atas eksistensi Anies Bubble.
Kini, tantangan besar dihadapi kubu Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud. Reaksi kilat untuk merespons Anies Bubble berupa strategi kampanye digital yang jitu mutlak dibutuhkan jika tak ingin mimpi buruk hasil Pilpres 2024 terjadi.
Invasi Twitter di Menit Akhir?
Resonansi Anies Bubble yang ramai di platform Twitter atau X agaknya merupakan eksploitasi celah yang tak dimiliki kubu Prabowo-Gibran maupun Ganjar-Mahfud.
Kendati Gibran, Ganjar, maupun Mahfud cukup aktif di media sosial kepunyaan Elon Musk itu, namun narasi mereka kiranya tak se-menggugah dan se-inovatif gebrakan Anies Bubble, termasuk reaksi Anies sendiri di platform yang sama.
Kelemahan itu sendiri telah disadari, salah satunya oleh Wakil Komandan Bravo Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Cheryl Tanzil.
Di acara Relawan Prabowo-Gibran Digital Team (PRIDE) pada 20 Oktober 2023 lalu, Cheryl menyiratkan Twitter atau X merupakan medan terjal bagi para relawan untuk mengampanyekan kandidat mereka.
Twitter atau X sendiri merupakan alat yang cukup ampuh bagi kampanye politik karena memungkinkan mereka menjangkau konstituennya secara langsung.
Platform ini memungkinkan para aktor politik dan simpatisan mereka membangun basis, terlibat dalam dialog dengan pemilih, dan meningkatkan visibilitas mereka secara real-time.
Selain itu, Twitter atau X berperan sebagai wadah bagi orang-orang dari semua lapisan masyarakat untuk menyuarakan pendapat mengenai perdebatan dan isu-isu terkini, serta menciptakan percakapan yang lebih bermakna antara individu-individu dengan pemikiran sama yang mungkin belum pernah terhubung.
Twitter atau X sendiri telah menjadi ruang gema diskursus politik di Indonesia sejak Pemilu 2012, khususnya di DKI Jakarta. Periode itu adalah saat di mana platform lain seperti Instagram maupun TikTok belum begitu populer.
Selain bertujuan menyebarkan awareness terhadap kandidat dan program kerjanya dalam kampanye, praktik ofensif juga diaktualisasikan dan terus terjadi hingga saat ini.
Kembali, Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud kiranya wajib mengimplementasikan kontra strategi bentuk konten di media sosial, khususnya di Twitter atau X yang jauh lebih baik, relate, dan disukai.
Belum terlambat bagi kedua pasangan calon (paslon) untuk memperbarui strategi media sosial yang lebih jitu sebelum masa tenang dan pencoblosan pada 14 Februari nanti, sebagaimana frasa October Surprise yang tenar di Amerika Serikat (AS).
October Surprise merupakan teori informal mengenai manuver politik strategis dalam skala kecil namun signifikan dampaknya yang dikeluarkan sebagai senjata pamungkas. Aktualisasinya dilakukan berdekatan atau tepat sebelum pemilihan dimulai atau satu bulan sebelum pemilihan di AS pada bulan November.
Tujuannya adalah untuk menciptakan perubahan opini publik pada menit-menit terakhir, yang lebih memihak pada satu kandidat dibandingkan kandidat lainnya. Hal ini lebih menekankan mengenai waktu penyampaian informasi dibandingkan isi spesifiknya.
Selain berbicara mengenai platform dan bentuk narasi maupun konten, October Surprise mencerminkan pendekatan strategis yang memanfaatkan momentum, elemen kejutan, dan urgensi untuk mencapai keuntungan signifikan dalam kampanye politik.
Walaupun konotasinya kerap bermakna taktik negatif atau kontroversial, praktik yang lebih etis dan benar-benar menggugah simpati politik positif bukan tidak mungkin untuk dilakukan, baik oleh Prabowo-Gibran maupun Ganjar-Mahfud. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)