Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjelaskan bahwa Salam Merdeka dilakukan dengan tangan terbuka, bukan mengepal seperti apa yang kerap dilakukan oleh politisi-politisi PDIP. Mengapa Anies membongkar “propaganda” PDIP?
“Everybody want to talk about who this and who that, who the realest and who wack, or who white or who black” – Kendrick Lamar, “Hood Politics” (2015)
Siapa sih yang tidak suka menjadi yang terbaik? Hampir semua orang pasti ingin menjadi yang terbaik.
Dalam dunia asmara, harapan untuk menjadi yang terbaik yang bisa memenangkan hatinya pasti muncul. Tidak jarang, dorongan untuk menjadi orang yang terdekat dengan individu yang disukai ini menjadi motivasi.
Memang, seperti lirik Kendrick Lamar dalam lagunya “Hood Politics” di awal tulisan, orang-orang kerap mencari siapa yang paling dan siapa yang ter-. Dalam dunia musik rap, misalnya, orang-orang mencari siapa yang dianggap terbaik dalam teknik dan flow.
Tidak hanya rap, saat masih duduk di bangku sekolah, selalu siswa atau siswi terbaik yang dielu-elukan. Biasanya, siswa dan siswi berprestasi itulah yang akan menjadi wajah dari sekolah tersebut.
Nah, mungkin, hal yang sama juga terjadi dalam dunia politik. Boleh jadi, inilah yang terjadi dengan PDIP.
Tidak dipungkiri, PDIP selalu menjadi partai yang disebut-sebut sebagai penerus gagasan dan ideologi Soekarno – proklamator kemerdekaan Republik Indonesia (RI) sekaligus presiden pertama RI. Kerap kali, bila bicara soal Bung Karno, PDIP-lah partai yang tampil paling depan – bak partai inilah yang paling “Soekarno”.
Keterkaitan PDIP dengan Soekarno ini bisa dibilang masuk akal. Pasalnya, hingga kini, PDIP masih dipimpin oleh Ketua Umum (Ketum) Megawati Soekarnoputri yang merupakan putri dari sang Bapak Proklamator.
Namun, menariknya, bakal calon presiden (bacapres) yang merupakan pesaing dari bacapres PDIP, Ganjar Pranowo, tampil menyajikan narasi soal Soekarno pada peringatan HUT ke-78 RI di suatu wilayah di Jakarta Selatan (Jaksel), DKI Jakarta. Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengajak warga untuk Salam Merdeka dengan tangan terbuka seperti Soekarno – bukan dengan tangan mengepal seperti yang biasa dilakukan oleh para politisi PDIP.
Sontak saja, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto langsung menanggapi Anies. “Jadi yang diambil kan spirit juangnya di mana tangan mengepal itu lima Pancasila menjadi satu,” jelas Hasto.
Reaksi cepat dari PDIP terhadap penjelasan Anies soal Salam Merdeka ini bisa jadi menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa PDIP perlu menanggapi pernyataan Anies secara serius? Lantas, mengapa Anies bisa jadi diuntungkan dengan pernyataannya?
Anies Bongkar “Propaganda” PDIP?
Bisa dibilang, hampir seluruh orang Indonesia tahu siapa Soekarno. Ketika melihat wajah Soekarno, orang pasti langsung mengaitkannya dengan kemerdekaan Indonesia.
Namun, tidak hanya soal ingatan masa lalu, sosok Soekarno juga kerap merepresentasikan gagasan soal Indonesia itu sendiri. Gagasan soal nilai-nilai luhur Indonesia seperti Pancasila, misalnya, selalu dikaitkan dengan sejarah Soekarno itu sendiri.
Alhasil, menjadi wajar apabila sosok Soekarno kerap menjadi simbol yang menjanjikan bagi siapapun yang ingin menarik simpati. Bisa dibilang, inilah yang dilakukan PDIP selama ini.
Mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?, dijelaskan bahwa terdapat semacam pengkultusan terhadap sosok Soekarno. Ini menjadi masuk akal karena Megawati kerap hadir di berbagai kegiatan peresmian patung Soekarno.
Tidak hanya patung, PDIP juga membuat berbagai kegiatan yang secara spesifik dikaitkan dengan Soekarno. Bulan Bung Karno yang ditetapkan pada bulan Juni, misalnya, dikaitkan dengan tanggal-tanggal penting dalam kehidupan Soekarno.
Bukan tidak mungkin, upaya pengaitan PDIP terhadap sosok dan gagasan Soekarno ini adalah salah satu teknik propaganda – yang mana disebut sebagai propaganda transfer atau juga disebut sebagai asosiasi (association).
Mengacu ke tulisan Magedah E. Shabo yang berjudul Techniques of Propaganda and Persuasion, propaganda transfer dilakukan untuk mengaitkan nilai atas suatu objek, orang, atau gagasan ke entitas lain. Boleh jadi, dengan teknik ini, PDIP ingin mendapatkan asosiasi penuh terhadap sosok dan gagasan Bung Karno.
Namun, penjelasan Anies bisa saja mengancam upaya propaganda transfer ala PDIP. Mengapa apa yang dilakukan Anies bisa jadi salah satu taktik politik menjanjikan?
PDIP Bisa Makin Nggak PD?
Penjelasan Anies soal fakta sejarah Salam Merdeka sebenarnnya bisa menjadi “senjata” taktis yang disasarkan pada PDIP. Apalagi, PDIP sendiri akhirnya ikut menanggapi pernyataan Anies pada peringatan HUT ke-78 Kemerdekaan RI kemarin.
Pasalnya, seperti yang dijelaskan di atas, propaganda transfer dilakukan untuk menambahkan nilai pada entitas – yang mana yang dimaksud di sini adalah PDIP dengan nilai-nilai Soekarno. Namun, penjelasan Anies seakan-akan mengurangi persamaan nilai antara PDIP dan Soekarno – khususnya soal Salam Merdeka.
Persoalannya adalah nilai-nilai inilah yang turut mempengaruhi dukungan politik dari para pemilih. Pasalnya, seperti yang dijelaskan Leonie Huddy dan Alexa Bankert di tulisan mereka yang berjudul Political Partisanship and Social Identity, dukungan politik merupakan bentuk identitas sosial.
Identitas sosial sendiri terbentuk melalui kategorisasi sosial (social categorization) atas nilai-nilai yang dipegang. Jika individu tersebut merasa memiliki nilai yang sama, individu itu akan mengkategorisasikan diri ke kelompok sosial tersebut.
Dalam hal ini, jika individu tersebut merasa memiliki kesamaan nilai dengan PDIP, individu itu akan mengkategorisasikan diri ke kelompok yang sama dengan PDIP – bisa dibilang kelompok Soekarnois.
Namun, bila perbedaan nilai eksis, bukan tidak mungkin, individu tersebut akan mengkategorisasikan diri sebagai individu yang berada di kelompok sosial yang berbeda dengan PDIP. Bila ini terjadi, boleh jadi PDIP akan kehilangan status atau pengakuan (recognition) sebagai partai politik yang berada di kelompok Soekarnois – dan mungkin akan kehilangan sebagian suara.
Justru, pernyataan Anies bisa jadi menunjukkan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu lebih memahami Soekarno. Ini bisa saja justru membuat sejumlah individu mengkategorisasikan diri ke dalam kelompok yang sama dengan Anies.
Ini juga bisa dikaitkan dengan hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Human Motivation. Dalam hierarki tersebut, disebutkan bahwa esteem (kepercayaan diri) juga dipengaruhi oleh pengakuan.
Bila PDIP tidak diakui kembali sebagai partai politik yang membawa gagasan dan sosok Soekarno, bisa jadi PDIP pun kehilangan esteem sebagai parpol yang kehilangan rekognisi itu.
Pasalnya, seperti lirik Kendrick di awal, semua orang kerap membicarakan perbedaan – siapa yang terbaik dan siapa yang bukan. Mungkin, dalam kasus ini, yang dibicarakan adalah siapa yang lebih sesuai dengan Soekarno dan siapa yang tidak. Bukan begitu? (A43)