Telah lama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dicitrakan sebagai oposisi dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Ini misalnya terlihat dari para pendukung dan relawan Jokowi yang kerap mengkritik Anies. Namun, mungkinkah Anies sebenarnya adalah bidak lain Jokowi di Pilpres 2024?
Jika membahas top of mind publik, salah satu politisi yang paling banyak dibahas adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Menariknya, ini bukan hanya karena posisinya sebagai Gubernur di pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia, melainkan karena Anies kerap dicitrakan sebagai oposisi Istana.
Entah sejak kapan, tetapi citra itu seolah telah menjadi penafsiran umum. Terlebih lagi, berbagai pihak yang keras mendukung dan membela Presiden Joko Widodo (Jokowi), seperti Denny Siregar, Eko Kuntadhi, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), juga kerap memberikan kritik kepada Anies.
Tidak heran kemudian, mengacu pada tendensi psikologis hitam-putih, banyak pihak kemudian menilai Anies merupakan oposisi pemerintahan Jokowi. Situasinya semakin menarik karena sang DKI-1 juga santer dirumorkan akan maju di Pilpres 2024.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Anies Diserang Operasi Intelijen?, telah dibahas bahwa sejak penyelenggaraan Formula E terdapat dua peristiwa politik yang tendensinya negatif terhadap Anies. Terdapat aksi massa FPI Reborn dan pengibaran bendera tauhid – identik dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – yang mendeklarasikan dukungan kepada Anies untuk 2024.
Secara kasat mata, dua peristiwa itu kemudian jamak ditafsirkan sebagai upaya menurunkan, hingga menghancurkan citra Anies. seperti yang diketahui, FPI dan HTI adalah dua ormas yang telah dibubarkan dan mendapat berbagai sentimen negatif.
Entah atribusi itu tepat atau tidak bahwa Anies dekat dengan FPI maupun HTI, ini adalah political labeling atau pelabelan politik. Manish Dubey dalam tulisannya Political Labelling: An Important Dimension We Miss, menjelaskan pelabelan politik merupakan akar dari polarisasi masyarakat, hingga perseteruan sosial.
Dengan demikian, bukan tidak mungkin pelabelan politik itu bertujuan untuk mempertebal citra Anies sebagai oposisi pemerintahan Jokowi yang telah membubarkan FPI dan HTI. Dampak lainnya? Besar kemungkinan untuk menciptakan efek domino agar pendukung pemerintahan Jokowi tidak mendukung Anies di 2024.
Di titik ini, mungkin ada satu pertanyaan sederhana, tetapi begitu substansial. Jika benar terdapat upaya pelabelan politik terhadap Anies, serta pencitraan dirinya merupakan oposisi pemerintahan Jokowi, mengapa itu sampai dilakukan?
Anies vs Istana?
Pertanyaan itu menjadi penting karena jika direnungkan secara jernih, untuk apa Istana sampai memposisikan dirinya diametral dengan Anies selaku Gubernur DKI Jakarta?
Pasalnya, bagaimana pun juga, posisi Anies sebagai DKI-1 sangat penting secara politik dan administratif. Jakarta adalah ibu kota negara yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Jika terjadi ketegangan antara pusat dengan DKI, bukankah itu justru berdampak buruk pada jalannya berbagai kebijakan?
Selain itu, seperti yang disebutkan Heike Mayer dan David Kaufmann dalam tulisan The Political Economy of Capital Cities, ibu kota memainkan peran penting dalam membentuk identitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya suatu negara. Artinya, dengan peran sebagai simbol, jika pembangunan di ibu kota terhambat akibat intrik dengan pusat, bukankah itu akan merusak citra Indonesia di mata dunia internasional?
Dengan kalkulasi itu, lantas, mengapa berbagai pihak, khususnya pendukung pemerintahan Jokowi terus mencitrakan Anies berposisi diametral dengan Istana? Ini adalah pertanyaan serius.
Untuk menjawabnya, tulisan Leopoldo Fergusson dan kawan-kawan yang berjudul The Need for Enemies sepertinya dapat memberikan pencerahan, atau setidaknya menambah variabel perenungan kita atas pertanyaan itu.
Menurut Fergusson dan kawan-kawan, politisi yang berkuasa akan selalu membutuhkan sosok musuh untuk mempertahankan keunggulan politiknya, khususnya untuk mempertahankan dukungan politik.
Karena itu, bisa diartikan juga bahwa suatu musuh dalam politik sesungguhnya berperan sebagai justifikasi agar kekuatan yang dominan tetap memiliki alasan untuk melancarkan kepentingan-kepentingannya.
Di sisi lain, musuh politik juga dapat digunakan untuk membuat politisi yang berkuasa dijauhkan dari citra diktator tirani. Dengan adanya musuh bersama yang juga dapat dibenci rakyat (baca: pendukungnya), politisi yang berkuasa akan dipandang sebagai pahlawan, bukan sebagai raja atau ratu yang perlu ditaklukkan.
Jika kesimpulan Fergusson dan kawan-kawan berlaku universal, maka dapat disimpulkan bahwa alasan di balik para pendukung pemerintahan Jokowi mencitrakan Anies sebagai oposisi Istana adalah untuk menciptakan musuh politik bersama. Tujuannya? Untuk menciptakan solidaritas pendukung.
Avi Savar dalam tulisannya Nothing Brings A Team Together Like A Common Enemy, menjelaskan bahwa musuh bersama (common enemy) memiliki efek kuat dalam membentuk solidaritas dan memberikan motivasi.
Yang menarik adalah, tidak jarang musuh bersama itu sengaja dibuat untuk meningkatkan solidaritas dan motivasi komunitas masyarakat. Penerapannya juga sangat luas, mulai dari level peer group, perusahaan, hingga negara.
Di titik ini, kita sepertinya dapat menarik kesimpulan bahwa Anies yang dijadikan musuh bersama bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan solidaritas dan motivasi pendukung pemerintahan Jokowi. Menariknya, strategi ini tampaknya bekerja, di mana ini terlihat dari besarnya persepsi positif terhadap Presiden Jokowi.
Nah, bertolak dari kesimpulan itu, ada sebuah pertanyaan menarik yang sangat penting untuk ditanyakan. Jika pencitraan Anies sebagai oposisi pemerintahan Jokowi hanyalah strategi menciptakan musuh bersama, bukankah itu artinya ketegangan sang DKI-1 dan pusat hanyalah rekayasa atau artifisial?
Kecurigaan ini juga diperkuat oleh pernyataan keceplosan mantan politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean ketika diwawancarai PinterPolitik pada September 2020. Waktu itu Ferdinand sempat menyebut semacam ada “permainan” untuk membuat Anies seolah berposisi diametral dengan Istana.
Bidak Jokowi?
Setelah mengulas kecurigaan bahwa Anies sengaja dicitrakan sebagai oposisi Istana, sekarang kita akan lanjut ke kecurigaan yang jauh lebih menarik dan radikal. Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Giring dan PSI Hanya Bidak Politik?, telah dijelaskan bahwa Presiden Jokowi termasuk ke dalam kategori politisi pemain catur.
Politisi jenis ini memiliki keterampilan dalam mengelola berbagai kekuatan politik, melakukan politik perimbangan, dan membuat strategi agar tujuan politiknya tercapai. Di level internasional, seperti yang dijelaskan Kishore Mahbubani dalam tulisannya The Genius of Jokowi, RI-1 mampu melakukan politik perimbangan agar tidak terlalu ditarik oleh Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Sementara di level domestik, ini terlihat dari kemampuan Presiden Jokowi dalam menghimpun berbagai kekuatan politik di sekitarnya. Tidak heran kemudian dukungan politik RI-1 begitu dicari oleh kandidat yang ingin maju di Pilpres 2024.
Selain itu, kemampuan ini juga terlihat dari terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo, dan Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan. Bagi mereka yang mengikuti perjalanan politik keduanya, khususnya Gibran, tentu melihat itu adalah karier politik yang cepat. Dari awalnya tidak mendapat dukungan partai, hingga berbagai partai berlomba untuk mendukung.
Pada konteks pembuatan strategi, sama halnya seperti bermain catur, politisi pemain catur juga selalu memainkan lebih dari satu bidak. Jika satu bidak dimakan lawan, masih ada bidak lainnya yang dimainkan dan dipersiapkan.
Jika berbicara mengenai Presiden Jokowi, dapat dikatakan salah satu tujuan politiknya saat ini adalah mendapatkan perlindungan politik setelah tidak lagi menjabat sebagai RI-1. Tujuan ini dapat dideduksi melalui habituasi politik di Indonesia yang seperti kerajaan.
Entah kenapa, pemimpin baru – tepatnya orang-orangnya – kerap ingin menutup jejak pemimpin lama dengan cara menyerangnya, baik secara retorika maupun perbuatan.
Dengan kata lain, Presiden Jokowi perlu menyiapkan penerusnya sebagai presiden. Sejauh ini, melihat dari berbagai gestur, seperti ketegangannya dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Presiden Jokowi tampaknya menaruh dukungan kepada Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.
Nah, kembali pada karakter politisi pemain catur, bukan tidak mungkin Presiden Jokowi juga menyiapkan bidak lain sebagai jalan keluar jika Ganjar kalah atau gagal maju di Pilpres 2024. Yang menarik adalah, kemungkinan bidak lain itu adalah Anies Baswedan.
Apa yang kerap luput dari perhatian publik adalah, Presiden Jokowi dan Anies sebenarnya kerap menunjukkan keakraban secara terbuka. Pada 25 April 2022, misalnya, di tengah berbagai kritik terhadap Formula E, Presiden Jokowi justru meninjau langsung kesiapan Formula E bersama Anies.
Berbagai pengamat politik, misalnya Robi Nurhadi dari Universitas Nasional (Unas), kemudian menyebut gestur itu sebagai sinyal Presiden Jokowi mendukung Anies di Pilpres 2024.
Jika menarik ke belakang, hubungan Jokowi-Anies sebenarnya dekat. Pada Pilpres 2014, misalnya, Anies merupakan juru bicara tim pemenangan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Anies kemudian ditunjuk Jokowi sebagai salah satu deputi Kantor Transisi yang bertugas menyiapkan proses peralihan pemerintahan.
Tidak berhenti di sana, pada 27 Oktober 2014, Anies dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Bahkan sehari sebelum dilantik, Presiden Jokowi memberikan pujian terbuka kepada Anies. “Saya kira nggak usah saya promosikan, semua juga sudah tahu, dia perintis Indonesia Mengajar,” ungkapnya.
Selain fakta sejarah itu, berdasarkan informasi yang dihimpun oleh tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik, hubungan Presiden Jokowi dan Anies diketahui baik-baik saja selama ini. Bahkan, jika berbicara soal kenyamanan, ada tiga nama yang kemungkinan dipilih Presiden Jokowi sebagai penerusnya, yakni Prabowo Subianto, Erick Thohir, dan Anies.
Tentu pertanyaannya, kenapa bukan Prabowo atau Erick? Karena elektabilitas dan peluang Anies untuk menang tampaknya cukup besar. Kendati Prabowo memiliki partai, kekalahannya di tiga ajang pilpres sepertinya menjadi pertaruhan yang besar.
Sebagai penutup, mungkin dapat disimpulkan, jika benar Presiden Jokowi merupakan politisi pemain catur, RI-1 pastilah menyiapkan bidak lain selain Ganjar – jika benar didukung – untuk bertarung di Pilpres 2024. Dan yang menarik dari Anies, karena selama ini sosoknya dicitrakan sebagai oposisi pemerintahan Jokowi, Anies sebagai bidak lain Presiden Jokowi di Pilpres 2024 menjadi tersamarkan. (R53)