Nasib pencapresan Anies Baswedan kini tengah menghadapi ujian. Selain karena koalisi pengusungnya yang belum mencapai kata sepakat soal kandidat cawapres yang diusung, tantangan terbesar Anies adalah memenangkan pertarungan melawan sosok seperti Prabowo Subianto yang mendapatkan dukungan banyak partai. Demikianpun dengan Ganjar Pranowo yang dalam berbagai survei elektabilitas ada di atas Anies. Kekuatan terbesar Anies adalah memanfaatkan dukungan politik organik yang muncul dari masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah dukungan organik ini bisa membantu Anies menghadapi peliknya politik di tingkat elite partai koalisinya sendiri?
“The ballot is stronger than the bullet”.
– Abraham Lincoln
Kisah tentang angka 3 dan kandidat pemimpin memang punya cerita menarik dalam sejarah. Di tahun 1066, ketika Raja Inggris era Anglo-Saxon, King Edward the Confessor yang tidak punya anak meninggal dunia, setidaknya ada 3 tokoh yang merasa berhak untuk menjadi penerus. Mereka adalah Harold Godwinson yang merupakan Earl of Wessex, lalu ada William yang merupakan Duke of Normandy, dan Harald Hardrada yang merupakan seorang Viking sekaligus Raja Norwegia.
Sebenarnya, Edward punya penerus yang masih ada hubungan darah dengannya, yakni sang keponakan laki-lakinya yang bernama Edgar Hatheling. Namun, kala itu Edgar masih berusia 14 tahun. Ia tidak dipersiapkan untuk menjadi penerus takhta serta dianggap terlalu muda dan tidak berpengelaman.
Para Witan – sekelompok penasehat Raja Inggris – kemudian memutuskan untuk mengangkat Harold Godwinson yang merupakan ipar dari King Edward sebagai raja. Ini membuat William dan Hadrada marah serta memutuskan untuk melakukan invasi dan merebut takhta kerajaan. Harold berhasil memenangkan pertempuran melawan Hadrada, namun ia kalah dan terbunuh dalam pertempuran dengan William. Ini sekaligus menjadi akhir dari kekuasan Anglo-Saxon di Inggris.
Kisah ketiganya bolehlah dijadikan bahan refleksi sebagai analogi Pemilihan Presiden (Pilpres) yang akan kita lakukan di tahun 2024 mendatang. Dengan tiga kandidat yang kemungkinan besar akan bertarung saat ini: Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo, Pilpres nanti kemungkinan besar akan menyuguhkan pertarungan seru.
Presiden Jokowi mungkin bisa kita ibaratkan sebagai King Edward, sedangkan Prabowo Subianto mungkin boleh kita ibaratkan sebagai Harold Godwinson. Di atas kertas, nama Prabowo memang yang paling diunggulkan untuk menjadi penerus Jokowi. Namun, bukan berarti Anies dan Ganjar bisa dianggap remeh.
Terkhusus untuk Anies, mantan Gubernur DKI Jakarta ini memang punya basis dukungan organik yang mumpuni. Sejak Pilkada DKI Jakarta 2017, massa pemilih Anies ini bertumbuh lewat komunitas-komunitas – baik di dunia maya maupun di dunia nyata – yang nyatanya berkontribusi pada elektabilitasnya yang selalu masuk 3 besar di hasil survei berbagai lembaga.
Khusus di dunia maya, Anies bisa dibilang menjadi simpul pembuktian kekuatan demokrasi digital yang memang mempengaruhi diskursus politik yang terjadi di masyarakat.
Sayangnya, kini Anies dihadapkan tantangan terkait politik di level elite. Masih belum satu suaranya Koalisi Perubahan yang terdiri atas Partai Nasdem, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait siapa yang akan diusung sebagai cawapres untuk mendampingi Anies merupakan isu yang cukup serius.
Apalagi, koalisi ini kini digoyang dengan munculnya nama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai salah satu kandidat yang ingin dipasangkan dengan Ganjar Pranowo. Jika ini terjadi, maka Koalisi Perubahan bisa saja terpecah dan perjalanan pencalonan Anies bisa terganjal.
Pertanyaannya adalah apakah Anies bisa mengatasi hal ini? Sanggupkan partisipasi publik yang menguat dalam dukungan pada Anies – utamanya lewat demokrasi digital – membantu Anies mulus melangkah untuk merebut kursi RI-1?
Kuasa Digital Democracy
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Anies memang punya basis massa yang kuat yang salah satunya berkembang di dunia maya. Dan massa pendukung ini bertumbuh secara organik – demikian seperti pernah dituturkan langsung oleh Anies sendiri.
Kekuatan partisipasi publik ini memang sesuai dengan konsepsi tentang demokrasi digital. Demokrasi digital adalah konsep yang menggabungkan prinsip-prinsip demokrasi dengan teknologi digital untuk meningkatkan partisipasi warga dalam proses politik dan pengambilan keputusan. Bisa dibilang, alasan Nasdem berani untuk mencalonkan Anies juga karena efek dari demokrasi digital ini.
Ada banyak ahli yang telah membahas dan menganalisis topik demokrasi digital dari berbagai sudut pandang. Beberapa di antaranya termasuk adalah Clay Shirky dan Zeynep Tufekci. Nama lain macam Ethan Zuckerman juga melakukan kajian mendalam soal bagaimana media digital mempengaruhi pembentukan opini dan partisipasi politik, sedangkan Henry Jenkins mengembangkan konsep “partisipasi keterlibatan” atau participatory culture terkait bagaimana partisipasi politik lewat dunia digital ini dikembangkan.
Menariknya, demokrasi digital juga telah memainkan peran yang semakin penting dalam kampanye politik modern. Penggunaan teknologi digital dan media sosial telah memberikan kandidat dan partai politik cara baru untuk berinteraksi dengan pemilih, memobilisasi dukungan, dan menyebarkan pesan mereka.
Anies sendiri telah melahirkan banyak pendukung garis keras yang bahkan rela menghabiskan dana mereka sendiri untuk kampanye politik atau sekedar mencari jalan agar bisa mendukung pemenangan Anies. Ini sebenarnya fenomena yang bisa saja berujung pada crowdfunding dana kampanye.
Dan dalam konteks pemanfaatannya, konten-konten yang viral atau kampanye sosial yang kreatif dapat dengan cepat menyebarkan pesan kampanye ke audiens yang lebih luas. Publik mungkin ingat beberapa kali foto Anies yang sedang membaca buku dengan judul tertentu sempat melahirkan gejolak dan penafsiran. Yang terbaru pada April 2023, Anies berfoto sambal membaca buku berjudul Principles for Navigating Big Debt Crisis – foto yang disebut-sebut menyindir utang negara di era Jokowi yang memang sudah membludak.
Model-model kampanye yang demikian ini tentu membuat nama Anies dibicarakan oleh publik dan bahkan dipersepsikan positif oleh banyak kelompok masyarakat. Anies membiarkan dirinya menjadi simpul keresahan publik akan isu tertentu yang secara tidak langsung melahirkan simpati atau dukungan politik pada dirinya. Ini juga yang menjadi alasan mengapa Nasdem berani membangun gerbong koalisi untuk mendukung pencapresan Anies di 2024.
Menebak Nasib Anies di 2024
Seperti sudah disinggung sebelumnya, persoalan yang dihadapi Anies saat ini adalah bagaimana mencari jalan tengah agar elite-elite politik pendukungnya bisa mendapatkan konsensus yang menguntungkan semua belah pihak. Anies harus mampu mengelola hubungan yang rumit dengan berbagai pemangku kepentingan politik di tingkat nasional.
Dukungan di level elite ini penting karena para elite ini menentukan kebijakan-kebijakan dan arah politik yang sifatnya makro. Apalagi, dalam upaya untuk mencapai ambisinya sebagai calon presiden, Anies harus memastikan bahwa ia memiliki basis dukungan yang cukup untuk menghadapi kompetisi politik yang sengit. Mengelola dinamika antara berbagai kelompok elite yang memiliki tujuan dan kepentingan politik yang berbeda-beda adalah tantangan yang memerlukan keterampilan diplomasi yang tinggi.
Selain itu, Anies perlu menjaga keseimbangan antara mendapatkan dukungan dari kelompok elite dan tetap mempertahankan komitmen terhadap visi dan nilai-nilai yang ia perjuangkan. Dalam upaya untuk memenangkan dukungan dari berbagai kelompok, ia harus berhati-hati agar tidak mengorbankan prinsip-prinsip utama yang ia sampaikan kepada pemilih.
Anies juga dihadapkan pada potensi konflik dan persaingan politik yang mungkin muncul dalam upaya mengamankan dukungan elite. Retorika yang memanas dan persaingan yang intens dalam dunia politik dapat berdampak pada citra dan stabilitas calon presiden. Oleh karena itu, kemampuan Anies untuk menjaga kondusivitas dan mengelola persaingan politik dengan etika dan integritas akan menjadi faktor penting dalam perjalanannya menuju pencalonan presiden.
Dalam menghadapi tantangan ini, Anies dapat mengambil pendekatan berbasis inklusivitas dan partisipatif. Melalui dialog terbuka dengan berbagai pihak, dia dapat membangun konsensus dan kesepakatan yang mendasar untuk perjalanan politiknya.
Dengan mengedepankan transparansi, integritas, dan komunikasi yang efektif, ia dapat menjaga kredibilitasnya di mata publik serta menciptakan momentum yang kuat untuk mendapatkan dukungan elite yang sesuai dengan visi dan programnya sebagai calon presiden.
Pada akhirnya, dalam konteks demokrasi digital, Anies punya kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Persoalannya adalah apakah ia akan menjadi Hardrada atau William dari Normandy? Kalau jadi Hardrada ia akan kalah dengan mudahnya. Sementara kalau menjadi William, ia akan jadi tonggak mengakhiri sebuah dinasti kekuasaan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)