Dengarkan artikel ini:
Usai gagal maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, mungkinkah Anies Baswedan masuk ke dalam kabinet pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka?
“So this is me swallowin’ my pride” – Taylor Swift, “Back To December (Taylor’s Version)” (2023)
Tahun itu adalah tahun 2010. Kala itu, banyak pelajaran telah diambil dan akhirnya tertuang dalam jalinan nada yang kemudian didengarkan oleh banyak orang. Ya, judul lagu itu adalah “Back To December”.
Pada tahun 2010, Taylor Swift merilis lagu itu sebagai single awal untuk mempromosikan album Speak Now (2010). Sama seperti lagu-lagu Taylor lainnya, “Back To December” ini berbicara soal mantan.
Kali ini, lagu ini tidak bernada negatif ke mantan Taylor, melainkan justru menjadi lagu yang paling bernada positif ke mantan. Taylor Swift justru meminta maaf kepada mantannya dalam lagu ini, yang mana disebut-sebut merupakan aktor bernama Taylor Lautner.
Dalam beberapa kesempatan wawancara, Taylor Swift mengatakan bahwa dia belajar banyak hal selama beberapa tahun setelah putus, yang mana juga membuat dirinya sadar bahwa dia telah melakukan banyak kesalahan dan merasa perlu untuk meminta maaf sebuah lagu.
Penyesalan memang kerap datang di akhir ketika berbagai keputusan dan tindakan yang diambil di masa lalu justru berjalan tidak sesuai ekspektasi. Inipun bisa berlaku dalam dunia politik.
Anies Baswedan, misalnya, dulunya merupakan Gubernur DKI Jakarta yang didukung oleh sejumlah partai, termasuk partai yang dipimpin Prabowo Subianto, Partai Gerindra. Namun, pada tahun 2024, Anies justru memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres), berlawanan dengan Prabowo.
Kini, setelah berbagai urusan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 selesai dan Prabowo dinobatkan sebagai presiden terpilih, langkah Anies kembali terhenti di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Anies tidak memiliki dukungan yang cukup dari partai politik (parpol) untuk maju di Pilkada Jakarta 2024.
Lantas, dengan berbagai “pelajaran” politik ini, ke manakah Anies akan berlabuh? Mungkinkah Prabowo sebagai “sang mantan” menerimanya kembali bila Anies sudah menyatakan “lagu maafnya” sendiri layaknya Taylor?
Untung Buat Prabowo dan Anies?
Politik adalah sebuah permainan. Maka dari itu, para pemain akan berebut atas sumber yang terbatas itu. Inipun juga berlaku dalam dinamika hubungan Anies dan Prabowo.
Permainan politik yang memperebutkan entitas-entitas lain untuk dijadikan “teman” ini juga terjadi dalam dinamika politik internasional, khususnya kala Perang Dingin terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet.
Kala itu, AS kerap menyalurkan sumber-sumbernya untuk membujuk pemimpin-pemimpin negara yang bisa diajak untuk tidak ke Blok Timur. Dukungan ini biasanya berupa bantuan ekonomi dan militer, atau bahkan aliran dana ke pemimpin-pemimpin yang disasar.
Tujuannya adalah agar pemimpin negara tersebut berbelok dan membela AS. Dengan begitu, Uni Soviet makin kehilangan kesempatan untuk bisa mendekat ke negara tersebut.
Strategi politik inilah yang disebut sebagai kooptasi oleh Marks Holdo dalam tulisannya “Cooptation and Non-cooptation: Elite Strategies in Response to Social Protest.” Kooptasi ini merupakan upaya untuk menggunakan cara-cara kerja sama dengan pihak lainnya.
Pada Pilpres 2019 kemarin, misalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengajak lawannya, Prabowo, untuk bergabung dengan pemerintahannya. Dengan cara ini, Jokowi-pun akhirnya bisa menambahkan pengaruh politik Prabowo untuk menyeimbangkan kekuatan antar-pemain di dalam pemerintahannya, misalnya dengan pengaruh Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.
Dengan menghalau Megawati, bukan tidak mungkin Jokowi lebih merasa independen dan bebas terhadap kebijakan dan manuver politiknya. Dalam kata lain, Megawati bukanlah satu-satunya kekuatan penentu terhadap pemerintahannya, mengingat PDIP merupakan parpol dengan jumlah kursi parlemen terbanyak.
Bila berkaca pada apa yang terjadi pada tahun 2019, rekonsiliasi kala itu bisa dinilai tidak hanya menguntungkan Prabowo dalam permainan politik, melainkan juga Jokowi sebagai pihak yang mengajak. Lantas, mungkinkah dinamika yang sama diaplikasikan juga pada Anies untuk saat ini?
Jalan Keluar untuk Anies?
Bisa dibilang, bila Anies benar masuk menjadi menteri di kabinet Prabowo-Gibran, Prabowo juga akan mendapatkan keuntungan. Pasalnya, pemain dalam permainana politik ini bukanlah hanya Anies dan Prabowo, melainkan juga ada sejumlah pemain lainnya seperti Jokowi dan Megawati.
Katakanlah, permainan ini bisa dijelaskan dengan teori permainan (game theory). Bila benar ini merupakan sebuah zero-sum game, yakni permainan bila jumlah poin masing-masing pemain bisa menyentuh angka nol bila dijumlahkan, maka poin tambahan bagi satu pemain sama dengan poin yang berkurang bagi pemain lainnya.
Jadi, bila Anies benar bergabung dengan Prabowo, ini bisa jadi kerugian bagi pihak pemain lain. Apalagi, Anies sendiri dinilai masih menjadi kandidat potensial di Pilpres 2029 mendatang.
Katakanlah, PDIP telah gagal untuk melakukan strategi kooptasi tersebut setelah batal mengusung Anies di Pilkada Jakarta 2024. Bukan tidak mungkin, justru ini menjadi kesempatan Prabowo untuk mendapatkan “poin tambahan” itu.
Bagi Anies, bergabung dengan pemerintahan Prabowo bukanlah pilihan mustahil. Pasalnya, bila Anies memiliki ambisi untuk menjaga momentum politiknya, bisa saja posisi politik dibutuhkan untuk menjaga awareness masyarakat pada dirinya.
Di sisi lain, Anies juga memiliki jembatan ke Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+). Parpol-parpol koalisinya pada Pilpres 2024, yakni PKB, NasDem, dan PKS, kini juga sudah berada di koalisi Prabowo.
Bila nantinya benar Anies bergabung dengan pemerintahan Prabowo, bukan tidak mungkin ini menjadi kesempatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Namun, keputusan-pun kembali ke mereka. Mungkinkah ini menjadi semacam “Back To Prabowo (Anies’ Version)”? (A43)