HomeNalar PolitikAnies Akan Mulai Revolusi Baru?

Anies Akan Mulai Revolusi Baru?

Anies Baswedan sebut ini sudah saatnya orang-orang berkompeten masuk dalam politik. Akan tetapi, dalam kenyataannya orang yang tahu tentang politik justru semakin menjauhi politik karena menganggapnya sebagai sesuatu yang kotor. Mengapa fenomena ini bisa terjadi?


PinterPolitik.com

Politik. Kata yang satu ini mampu membawa sejumlah makna dalam pikiran orang-orang yang mendengarnya. Bagaimana tidak, hampir segala aspek dalam kehidupan kita pasti berkaitan dengan politik, mulai dari dunia sekolah, pekerjaan, bahkan soal pembagian lahan pemakaman sekalipun.

Hal inilah mungkin yang jadi salah satu motivasi pidato yang disampaikan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beberapa saat lalu ketika menghadiri sebuah acara Partai NasDem. Melalui sambutannya, Anies mengajak masyarakat dari berbagai latar belakang untuk ikut serta terjun dalam dunia politik.

Ia melihat Indonesia memerlukan banyak orang yang memiliki keahlian dalam bidangnya masing-masing untuk ikut terlibat dalam proses pengambilan kebijakan. Anies juga berpandangan, orang-orang yang memang memiliki kompetensi seharusnya perlu lebih didorong untuk masuk politik agar pengetahuannya bisa bermanfaat bagi negara dan banyak orang, bukan justru malah menjauhi politik.

Tak hanya itu, yang menariknya Anies juga sempat bercerita pendek tentang pengalamannya bertanya kepada seorang mahasiswa yang akan lulus di sebuah kampus. Setelah Anies bertanya apakah mahasiswa tersebut tertarik masuk politik setelah lulus, tanpa ragu-ragu, mahasiswa itu menjawab tidak mau. Alasannya pun cukup sederhana, yaitu ia melihat bahwa politik itu sifatnya kotor.

Jawaban mahasiswa yang ditanya Anies tadi mungkin mewakili sebagian besar pandangan masyarakat Indonesia, khususnya yang sudah mulai mengetahui sedikit demi sedikit keilmuan politik. Jangan jauh-jauh, jika kita cari di mesin pencarian internet saja, kita akan menemukan banyak artikel yang membahas tentang politik sebagai sesuatu yang kotor, buruk, dan bahkan jahat.

Selain mengafirmasi ada stigma buruk tentang politik di masyarakat, cerita Anies tentang mahasiswa tadi juga membawa fenomena tersendiri di mana orang yang terdidik tentang politik justru malah ikut-ikut menjauhinya, bukan justru melibatkan diri dan mencoba menjadikan politik sebagai sesuatu yang baik.

Lantas, mengapa fenomena ini bisa terjadi? Apakah pengetahuan yang lebih tentang politik justru semakin membuat kita sadar bahwa politik itu pantas dijauhi?

image 87

Semakin Tahu Semakin Takut?

Sebelum kita bahas lebih lanjut, mungkin hal pertama yang perlu kita jawab adalah apakah memang benar politik itu adalah sesuatu yang jahat.

Well, kalau kita mengacu pada apa yang dikatakan ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), Francis Fukuyama dalam bukunya The Origin of Political Order, kita bisa dengan tegas menjawabnya: tidak. Manusia secara alamiahnya adalah makhluk sosial, dan sebagai makhluk sosial, segala interaksi yang dilakukan oleh seorang manusia dengan manusia lain dalam jaringan yang begitu luas seperti komunitas atau negara memerlukan adanya manajemen. Tujuannya adalah agar semua interaksi tadi bisa berjalan dengan baik.

Baca juga :  Mereka yang Menunggu Panggilan Prabowo

Nah karena itu, politik dimunculkan sebagai sebuah hal yang bisa mengatur interaksi antar manusia. Sejatinya, menurut Fukuyama, politik bukan diciptakan semata-mata untuk melegitimasi kekuasaan, melainkan untuk menciptakan keteraturan di masyarakat. Dengan demikian, politik adalah sesuatu yang dibutuhkan, bukan hanya yang diinginkan.

Pandangan ini berkorelasi dengan apa yang dipahami sebagai politiká oleh filsuf ternama asal Yunani, Sokrates, yakni tujuan politik ketika pertama kali dikembangkan adalah untuk membuat sebuah masyarakat menjadi sekumpulan orang baik yang bisa menghidupi kehidupan terbaik mereka dengan berlandaskan keteraturan.

Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang menyalahkan politik atas segala keburukan yang terjadi di dalamnya, maka sesungguhnya orang itu keliru, karena seperti apa yang disyaratkan dalam sebuah adagium populer: jangan pernah salahkan senjata, tapi salahkan orang yang menggunakannya.

Politik hanyalah salah satu inovasi yang diciptakan manusia, layaknya ilmu matematika atau fisika, dan ketika inovasi-inovasi ini digunakan untuk sesuatu yang buruk, tentu kita tidak bisa menyalahkan keilmuannya, bukan?

Lalu, bagaimana dengan fenomena mahasiswa seperti yang diceritakan Anies dalam bagian awal tulisan ini? Apakah memang benar orang yang memperoleh pendidikan tinggi justru semakin membenci politik?

Mungkin secara sekilas, anggapan itu terdengar benar, karena orang yang banyak tahu tentang politik atau bagaimana cara berpikir manusia bekerja akan sadar bahwa sesuatu seperti politik pasti menuntut adanya kompetisi, yang seringkali berujung pada aksi saling menjatuhkan satu sama lain.

Akan tetapi, seorang psikolog AS bernama Daniel Kahnemann memiliki jawaban alternatif yang bisa menjelaskan fenomena ini. Dalam bertahun-tahun riset dan eksperimennya, Kahnemann menemukan kesimpulan menarik bahwa ternyata orang yang lebih terpelajar dan cerdas cenderung akan merasa sangat takut ketika didorong terlibat dalam skenario yang membutuhkan banyak proses pengambilan keputusan.

Salah satu alasannya adalah karena orang yang terpelajar akan menyadari bahwa suatu perubahan –secara rasional – membutuhkan kerja dan waktu yang lama untuk bisa terwujud, atau dengan sederhananya, orang yang terpelajar lebih rentan meragukan kapabilitas dirinya sendiri dibanding orang yang tidak tahu banyak hal tentang sesuatu.

Lebih lanjutnya, Kahnemann juga menyoroti kesalahan bernalar yang disebut anchoring bias atau bias penahan. Sederhananya, bias ini menjelaskan pola pikir manusia dalam memahami sesuatu berdasarkan hal pertama yang mereka pelajari tentang hal tersebut.

Salah satu contoh anchoring bias adalah ketika ada seseorang yang membela orang lain yang dituduh melakukan kejahatan hanya karena ia mengenalnya sebagai orang yang baik. Padahal, sifat baiknya itu belum tentu menjamin ia adalah orang yang tidak mungkin melakukan sebuah kejahatan.

Nah, hal ini menurut Kahnemann seringkali terjadi juga dalam proses edukasi. Sebagai konteks, dalam memahami politik umumnya hal yang pertama diajarkan pada kita adalah politik merupakan alat seseorang untuk mengejar atau mempertahankan kekuasaan, dengan demikian politik digunakan hanya sebagai penyalur hasrat rakus manusia.

Baca juga :  Pramono dan Candu Dinasti Politik

Padahal, pemahaman tentang sifat manusia dalam menggunakan politik hanya dijadikan sebagai dasar logika, bahwa fungsionalitas politik akan berjalan berdasarkan jalan pemikiran seorang manusia. Namun, hal itu tidak berarti politik itu sendiri murni hanya digunakan untuk kelicikan dan kebengisan manusia.

Berangkat dari penjelasan di atas, pertanyaan selanjutnya yang bisa kita tanyakan adalah, apakah ini artinya pendidikan tentang politik justru membunuh demokrasi, karena semakin banyak orang terpelajar yang takut masuk politik?

image 88

Politik Juga Perlu Pragmatis?

Sebagai sedikit selingan, ahli strategi militer ternama, Carl von Clausewitz dalam bukunya On War, menjelaskan bahwa ada perbedaan cukup kentara antara seorang ahli teori militer dengan seorang strategi perang di lapangan.

Kata Clausewitz, seseorang yang meluangkan banyak waktu membaca tentang perang mungkin akan punya teori-teori di atas kertas yang bisa memenangkan peperangan, tapi ketika orang tersebut diterjunkan menjadi komandan di lapangan, bukan tidak mungkin ia justru akan merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini karena teori yang dipelajari seringkali tidak bisa memberikan konteks lengkap hanya dengan membacanya dari sebuah buku.

Hal demikian juga sepertinya bisa berlaku bagi seseorang yang belajar tentang politik hanya di kelas kuliah saja. Politik adalah sesuatu yang segala aktivitasnya perlu dibuktikan di lapangan, karena realita politik tidak bisa kita ciptakan dalam sebuah laboratorium.

Jika ilmu politik yang kita dapatkan tidak disesuaikan dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, maka seseorang yang belajar tentang politik cenderung hanya akan mengejar apa yang disebut sebagai impossibility of perfection, atau kemustahilan kesempurnaan, dari teori yang mereka pelajari.

Dalam kata lain, orang-orang yang mempelajari politik di kelas perlu juga melihat kenyataan bahwa dalam realitanya, meskipun sistem politik yang kita jalankan, demokrasi contohnya, memiliki beberapa kelemahannya sendiri, kita perlu melihat bahwa ini adalah cara agar aspirasi seluruh elemen masyarakat bisa tersampaikan. Dari sini, ilmu politik yang didapatkan secara teoritis tidak lagi bersifat normatif dan kaku, tetapi juga menjadi sesuatu yang pragmatis dan bisa digunakan untuk merubah keadaan.

Justru, orang-orang yang mengaku sadar bahwa politik adalah sesuatu yang rentan digunakan untuk kepentingan orang jahat harusnya lebih termotivasi masuk ke dalam politik agar orang-orang jahat tidak mendapatkan panggung yang tidak pantas mereka peroleh.

Oleh karena itu, pidato Anies tentang perlunya lebih banyak orang berkompeten untuk masuk dalam politik perlu kita jadikan tonggak revolusi kesadaran. Sudah saatnya politik Indonesia diikut campuri oleh orang-orang yang mengetahui bagaimana caranya menyelesaikan suatu masalah negara, karena jika bukan mereka yang bisa dijadikan andalan bangsa, siapa lagi?

Sebagai angan-angan semata, mungkin ini juga bisa jadi motivasi besar bagi gerakan politik dalam kalangan intelektual. Barangkali sudah saatnya ada partai politik baru dari kalangan akademisi? (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Taktik Psikologis di Balik Pembekalan Prabowo 

Dengarkan artikel berikut Acara pembekalan para calon menteri yang dilakukan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto jadi sorotan publik. Kira-kira apa motif di baliknya?  PinterPolitik.com  Dalam dunia pendidikan, kegiatan...