Site icon PinterPolitik.com

Anies Akan Menang dengan Habib Rizieq dan Politik Identitas, Ini Alasannya

Anies dan Cak Imin saat hadiri pernikahan putri HRS (Foto: Detik)

Kehadiran Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai saksi dalam pernikahan putri Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan mengisyaratkan posisi politik yang bisa saja menjadi dukungan di 2024. Sejarah kedekatan Anies dan HRS juga telah menjadi poin penting yang memenangkan Pilkada DKI Jakarta 2017. Pertanyaannya adalah apakah ini menjadi tanda bahwa Anies akan menang dalam Pilpres 2024 mendatang?


PinterPolitik.com

“The more identity politics plays a role, the less we focus on the things that unite us.”

– Condoleezza Rice, Diplomat dan Ahli Politik AS

Dugaan dukungan HRS pada pasangan Anies-Cak Imin memang menguat. Spekulasi ini muncul setelah Anies dan Cak Imin menjadi saksi dalam akad nikah putri Habib Rizieq di Petamburan. Putri Rizieq, Syarifah Fairuz Shihab memang menikah dengan Sayyid Muhammad Alattas pada 27 September 2023 lalu.

Kunjungan ini merupakan momen spesial bagi Anies dan Cak Imin dalam rangka merayakan Maulid Nabi SAW 1445 Hijriah. Meskipun kedekatan ini menunjukkan bahwa pasangan ini masih membutuhkan suara Habib Rizieq yang memiliki massa yang besar, kunjungan mereka tidak membahas dukungan politik.

Anies sendiri mengunggah lima foto kebersamaannya dengan Rizieq di akun Instagram pribadinya. Unggahannya ini juga penting karena akan dibaca sebagai pesan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu masih menjaga hubungannya dengan HRS. Ini penting karena HRS adalah sosok paling vokal di seputaran Pilkada 2017, utamanya terkait kasus penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama yang jadi lawan politik Anies kala itu.

Makin menarik lagi karena posisi Cak Imin sendiri bisa dibilang membawa embel-embel Nahdlatul Ulama (NU) di belakangnya. Bukan rahasia lagi jika NU dalam beberapa waktu terakhir sempat terlibat benturan dan perbedaan pemikiran dengan Front Pembela Islam (FPI) – organisasi yang digawangi oleh HRS.

Di tahun 2019 misalnya, FPI mengkritik NU yang mengusulkan penghapusan penyebutan “kafir” bagi masyarakat non-Muslim. Sedangkan di tahun 2017, pimpinan NU mengkritik FPI karena cara-cara yang digunakan dalam menegakkan hukum Islam kerap tidak santun.

Apapun itu, yang jelas, di tengah keterpecahan NU sendiri karena tidak semuanya sepaham mendukung Cak Imin, jika benar FPI ikut mendukung Anies, maka ini akan jadi pemandangan politik yang menarik. Apalagi, banyak sumber yang menyebut bahwa Anies sendiri ternyata tidak ingin predikat “Bapak Politik Identitas” dihapuskan darinya. Ini karena predikat-predikat yang demikian ini justru “menguntungkan” karena membuat namanya selalu dipergunjingkan oleh masyarakat.

Pertanyaannya adalah apakah Anies bisa menang dengan cara serupa?

Anies dan Politik Identitas

Jika kita tarik ke akarnya, politik identitas merupakan suatu pendekatan politik yang menekankan pada peran identitas kelompok, seperti suku, agama, gender, orientasi seksual, atau atribut lainnya, dalam membentuk pandangan politik dan partisipasi politik seseorang.

Meskipun banyak perdebatan tentang efek positif dan negatif politik identitas, pemanfaatannya dalam kampanye politik sering kali efektif. Well, Machiavelli pernah bilang: “The end justifies the means”. Tak penting caranya, yang penting hasilnya bisa digapai.

Ahli budaya dan media Stuart Hall pernah menyebutkan bahwa identitas bisa dipahami dan dimanipulasi dalam konteks politik. Sementara dalam karyanya yang berjudul The Clash of Civilizations, Samuel Huntington menyajikan pandangan tentang bagaimana politik identitas seperti agama dapat menjadi sumber konflik sekaligus menjadi pendorong dinamika politik.

Dalam konteks Anies-Cak Imin, cara ini bisa sangat efektif. Pasalnya politik identitas mencerminkan keterkaitan erat antara identitas pribadi dan pilihan politik. Manusia cenderung membentuk opini dan preferensi politik mereka berdasarkan pengalaman dan identitas pribadi mereka. Kondisi ini membuat politik identitas menjadi salah satu faktor yang kuat dalam membentuk pilihan politik.

Selain itu, bagi kelompok-kelompok yang sebelumnya mungkin merasa diabaikan atau kurang diwakili dalam kebijakan publik, politik identitas dapat menjadi alat untuk mengejar representasi dan pemberdayaan. Penggunaan politik identitas dapat menjadi cara untuk menekankan perlunya mendengarkan dan memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu.

Kemudian, politik identitas dapat digunakan oleh aktor politik untuk menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Dengan menonjolkan perbedaan-perbedaan identitas, para pemimpin politik dapat memperkuat dukungan dari kelompok mereka sendiri sambil menciptakan perpecahan dengan kelompok lain. Ini dapat menciptakan ketegangan dan meningkatkan kesetiaan partai atau kelompok.

Politik identitas juga sering kali menjadi bagian integral dari kampanye Pemilu dan strategi politik. Para kandidat sering kali berusaha untuk membangun konektivitas dengan pemilih melalui identitas bersama, seperti agama, etnisitas, atau nilai-nilai budaya. Hal ini dapat memobilisasi basis pendukung dan membantu mendapatkan dukungan politik.

Strateginya makin positif karena isu-isu yang berkaitan dengan politik identitas sering kali muncul sebagai tanggapan terhadap perubahan sosial, ekonomi, atau budaya. Ketika masyarakat mengalami transformasi, identitas menjadi faktor penting dalam membentuk sikap dan pandangan politik.

Politik identitas juga bisa menjadi cara untuk memperjuangkan kesetaraan dan hak asasi manusia bagi kelompok-kelompok yang mungkin mengalami diskriminasi atau ketidaksetaraan. Identitas menjadi dasar untuk memperjuangkan hak-hak spesifik yang terkait dengan kelompok tertentu. Dalam konteks Anies-Cak Imin dan sikap politik yang berseberangan dengan pemerintahan Presiden Jokowi, hal ini bisa menjadi pemicu bagi dukungan politik yang masif.

Lalu apa yang bisa dijadikan poin pembeda identitas di Pilpres 2024?

Jalan Kemenangan Anies?  

Pertanyaan soal pembeda identitas ini penting karena berbeda dengan Pilkada 2017, lawan politik Anies-Cak Imin kali ini semuanya beragama Islam. Di 2017, lawan politik Anies adalah Ahok yang adalah seorang non-Muslim. Status itu membuat pemecahan identitas politik yang dilakukan menjadi lebih mudah. Narasi us vs them menjadi lebih gampang dimainkan.

Namun, sekarang, baik Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo sama-sama beragama Islam. Ini penting karena di Pilpres 2019 lalu, HRS dan FPI ada di barisan Prabowo dan serangan politik identitas diarahkan dengan kencang pada Jokowi. Nyatanya serangan-serangan politik itu tak mempan. Apalagi, Jokowi memilih tokoh NU dalam diri Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya kala itu.

Walaupun demikian, jika ingin diargumentasikan, maka hal yang paling bisa dijadikan serangan politik adalah soal level moral dan keagamaan itu sendiri. Prabowo dari sisi agama memang cukup lemah. Ia bukan dari keluarga yang kuat agama Islam-nya. Ibu Prabowo pun seorang non-Muslim.

Sementara Ganjar bisa saja dituding dari sisi kualitas moral, misalnya soal pengakuan tentang kesukaannya menonton pornografi, dan lain sebagainya. Poin-poin yang demikian akan sangat efektif jika dikemas sebagai bahasa kampanye identitas yang menarik.

Pada akhirnya, apakah Anies-Cak Imin benar-benar akan memakai strategi ini lagi? Well, jika melihat peluang mereka untuk menang saat ini, segala cara tentu harus ditempuh, sekalipun harus menggunakan strategi lama.

Bagaimanapun juga, politik adalah soal hasil akhir. Meski Condoleezza Rice menyebut politik identitas akan memecah belah, namun boleh jadi itu akan jadi jalan politik yang efektif bagi sebagian politisi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version