Bakal Calon Presiden (Capres) Anies Baswedan tiba-tiba saja dipasangkan dengan mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan alias Aher. Banyak yang melihat Aher tidak cocok dipasangkan dengan Anies. Namun, kenapa keduanya masih tetap dibicarakan?
Pencalonan presiden (pencapresan) mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan oleh Partai NasDem pada 1 Oktober silam berhasil menyita perhatian publik. NasDem secara resmi menjadi salah satu partai politik (parpol) pertama yang sudah menentukan calon presiden (capres) yang akan mereka usung untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, dan Anies pun menjadi salah satu capres yang sudah berkomitmen full akan bertarung di ajang demokrasi terbesar Indonesia tersebut.
Satu bulan telah berlalu dan kini perbincangan tentang pencapresan Anies telah berkembang menjadi upaya mencari pasangan yang paling cocok untuk jadi teman bertarungnya pada 2024 nanti. Salah satu nama yang muncul kemudian adalah mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan alias Aher. Gagasan ini menguat setelah Anies mengikuti sebuah acara forum diskusi yang digelar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 30 Oktober lalu.
Dalam acara tersebut, Anies bahkan menggoda Aher dengan mengatakan Gubernur Jabar yang pernah menjabat dua periode tersebut tidak hanya cocok menjadi seorang pendamping istri, melainkan juga jadi pendamping capres. Tidak lama setelah itu, obrolan tentang pasangan Anies-Aher mencuat di media sosial dan juga di jalanan. Bahkan, baliho yang mempromosikan pasangan para mantan gubernur itu tidak hanya muncul di Jakarta, tapi juga di Solo, Jawa Tengah (Jateng).
Meski demikian, banyak yang justru mengkritisi wacana pasangan pilpres tersebut. Pengamat politik, Ujang Komarudin misalnya, mengatakan bahwa dengan menjadikan Aher sebagai cawapresnya, Anies kemungkinan tidak akan dapat keuntungan karena Aher adalah sosok yang sama sekali tidak terpantau survei-survei elektabilitas Pilpres 2024.
Selain itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menganalisis Aher hanya sanggup berikan suara di kawasan Jabar saja karena ia tidak populer di wilayah-wilayah lain Indonesia. Dan, kalau melihat realitasnya, kepopuleran Aher di Jabar saat ini mungkin juga kalah dari Gubernur Jabar sekarang, Ridwan Kamil (RK).
Kemudian, ada yang melihat juga Aher akan mampu meraup suara pemilih Muslim. Kalaupun itu benar, maka Anies juga sepertinya tidak terlalu diuntungkan karena Anies sendiri sudah jadi tokoh yang bisa menjadi representasi sejumlah kelompok Muslim di Indonesia.
Karena pertimbangan-pertimbangan tadi, cukup bisa diinterpretasikan bahwa Aher mungkin sebenarnya bukanlah cawapres yang begitu menggiurkan bagi Anies. Akan tetapi, kenapa Aher tetap diajukan sebagai cawapres Anies oleh PKS? Bagaimana kira-kira motif politik di baliknya?
Hanya Permainan Narasi Belaka?
Ketika melihat seorang tokoh politik bergabung dalam suatu parpol kita sering terjebak melihatnya sebagai kebutuhan dari tokoh tersebut untuk ikut berkontestasi dalam demokrasi. Namun, kalau tokoh yang masuk dalam parpol adalah seseorang dengan kaliber seperti Anies, maka keuntungan yang didapatkan tentunya tidak hanya bagi Anies, melainkan juga bagi parpol-parpol yang terlibat dengannya.
Terkait Aher dan PKS, seperti kita ketahui, PKS adalah salah satu parpol yang terlibat dalam wacana Koalisi Perubahan bersama Partai Demokrat dan Partai NasDem, dan sudah sewajarnya partai yang berasal dari gerakan aktivis dakwah Islam ini pun berharap mendapatkan apa yang disebut sebagai coattail effect atau efek ekor jas, yakni ketika sosok kandidat populer mampu mendongkrak perolehan suara parpol di parlemen.
Nah, salah satunya bisa saja dengan menjadikan seseorang dengan latar belakang PKS seperti Aher sebagai cawapres Anies, dengan harapan itu bisa membantu perolehan suara mereka dalam Pemilihan Legislatif 2024 (Pileg 2024) nanti. Akan tetapi, dugaan ini masih menyisakan misteri. Kenapa koalisi ini perlu melakukan hal tersebut dengan Aher yang notabene adalah orang yang kurang menggiurkan bagi Anies?
Well, bisa jadi, ini adalah salah satu taktik politik yang disebut strategic ambiguity atau ambiguitas strategis. Kalau kita perhatikan, pencawapresan Aher telah menimbulkan dugaan di publik bahwa Koalisi Perubahan sepertinya akan bubar sebelum bertarung karena terlihat bahwa keinginan PKS untuk ajukan Aher bertabrakan dengan kepentingan Demokrat mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno bahkan mengatakan koalisi berpotensi bubar jika masing-masing partai terlalu “ngotot” menjagokan kandidat cawapresnya.
Namun, bagaimana jika itu semua ternyata memang niatan dari Koalisi Perubahan? Bagaimana jika mereka sengaja ingin terlihat tidak pasti dan lemah agar para musuh mereka – PDIP misalnya – meremehkan Koalisi Perubahan dan nantinya dimanfaatkan untuk mendapat keunggulan secara tidak terduga?
Bagaimanapun juga, kita perlu sadar bahwa taktik seperti ini sangat lumrah terjadi dalam politik dan militer karena, seperti kata Sun Tzu dalam bukunya The Art of War, rahasia dalam memenangkan pertempuran terletak pada kemampuan kita membingungkan musuh sehingga dia tidak dapat memahami niat kita yang sebenarnya.
Akan tetapi, kalau niatan ini memang benar, bukankah itu terlihat terlalu berisiko, terutama pada calon pemilih Koalisi Perubahan sendiri? Bisa saja mereka melihat ini sebagai keretakan koalisi, bukan?
Kembali lagi, bisa saja hal seperti ini juga sudah direncanakan oleh NasDem, PKS, dan Demokrat. Kalau kita melihat dari aspek filosofisnya, suatu konflik yang diolah secara baik justru dapat memperkuat kohesi suatu organisasi karena, seperti apa yang dikatakan filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, konflik dan peperangan adalah benih dari perkembangan manusia. Jika Koalisi Perubahan mampu memperlihatkan bahwa mereka bisa menyelesaikan perbedaan pandangan, maka itu bisa jadi alat kuat untuk menyatukan para pendukungnya.
Dengan demikian, besar dugaannya semua persoalan tentang cawapres Anies hanyalah sandiwara belaka. Terlebih lagi, seperti yang sudah dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com berjudul PKS Hanya Benalu Bagi Anies?, loyalitas PKS pada Anies sangatlah kuat – bahkan mulai dari masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017. Ini artinya, kalaupun Anies tidak memilih kader dari PKS untuk jadi cawapresnya, itu seharusnya tidak jadi masalah untuk partai yang dipimpin Ahmad Syaikhu tersebut.
Lantas, kalau dugaan ini benar, mungkinkah ada alasan lain kenapa Anies mau terlibat dalam sandiwara ini?
Anies Perlu Tetap Mengudara?
Secara prinsip, politik memiliki beberapa kesamaan dengan aspek militer, dua-duanya sama-sama membutuhkan strategi yang cerdik agar bisa mengungguli musuh dan, terkadang, memerlukan adanya aksi kamuflase untuk menutupi niatan aslinya.
Kalau dalam sebuah pertempuran kamuflase digunakan seorang sniper di balik semak-semak, di politik, terkhususnya soal pencawapresan Anies, kamuflase berwujud konflik yang mungkin saja direkayasa. Namun, apa kira-kira tujuan utama kamuflase ini?
Satu hal yang bisa kita pastikan dengan hebohnya berita tentang siapa cawapres Anies adalah setiap harinya kita selalu disajikan kabar tentang sang mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut karena hampir semua kantor berita membahasnya. Kalau dilihat-lihat hal ini sebenarnya mampu menciptakan sebuah fenomena sosial yang disebut sebagai top of mind awareness atau kesadaran puncak pikiran.
G. Schweiger dan M. Adami dalam bukunya The Non Verbal Image of Politicians an Political Practies mengemukakan citra seorang kandidat merupakan gambaran menyeluruh yang ada di kepala seorang pemilih ketika mereka dihadapkan pada sebuah proses pemilihan suara.
Menurut Schweiger dan Adami, proses pemilihan suara tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program-program partai maupun oleh informasi-informasi secara detail tentang seorang kandidat, tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat oleh impression (kesan) dan nonrational evaluation criteria (kriteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat/parpol).
Mengutip Schweiger dan Adami, dapat disimpulkan bahwa pemilih sering kali dipengaruhi oleh sosok orang yang pertama kali terlintas dalam pikiran mereka sebelum memutuskan siapa yang pantas dijadikan sebagai pemimpin. Meskipun terkadang sang kandidat melakukan pencitraan yang mungkin kurang rasional, tetapi pemilih akan tetap menaruh perhatian karena kandidat tersebut adalah yang paling mudah untuk dipikirkan ketika berbicara tentang politik.
Nah, terkait kandidat cawapres yang paling tepat untuk Anies, bisa jadi tujuan utama perbincangan ini sebenarnya bukan untuk melihat siapa pendamping Anies yang paling pas, tetapi adalah untuk menjaga agar popularitas Anies tetap terjaga, terlebih lagi ia kini sudah tidak menjadi gubernur.
Dengan demikian, para pengusung Anies bisa mewujudkan apa yang ditulis filsuf asal Amerika Serikat (AS), Noam Chomsky, tentang persetujuan yang direkayasa, dalam tulisannya Consent Without Consent. Dalam tulisan tersebut, Chomsky melihat bahwa alat persuasi publik yang terbaik adalah membuat mereka menuruti agenda politik kita tanpa menyadari bahwa mereka sudah terkena “umpan”.
Oleh karena itu, permasalahan cawapres ini bisa jadi merupakan salah satu program public relation tim Anies. Sementara itu, cawapres-cawapres yang dibincangkan sekarang hanya dijadikan sebagai umpan, untuk para calon pemilih parpol koalisi pengusung Anies, musuh-musuh politik Anies, dan bagi Anies sendiri agar bisa tetap “mengudara”.
Pada akhirnya, tentu ini semua hanyalah interpretasi belaka, yang jelas untuk saat ini parpol-parpol sepertinya justru sedang sibuk mempersiapkan diri menghadapi kuota presidential treshold (PT) 20 persen yang harus mereka capai. Bisa saja memang cawapres mulai dibahas, tapi hal itu mungkin tidak begitu penting sebelum posisi masing-masing parpol terjamin. (D74)