Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dinilai menyindir seorang tokoh yang gemar lari-lari untuk posting foto saja – yang mana disinyalir merupakan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo. Mengapa Anies mulai menyindir Ganjar?
“This ain’t a diss to the game. This a gas to the flame” – Logic, “Homicide” (2019)
Pada 21 Juli 2015, sebuah “peperangan” baru dimulai. Kala itu, seorang penyanyi rap (rapper) bernama Meek Mill mengunggah sebuah cuitan yang menyebutkan nama rapper lainnya, yakni Drake.
Meek meminta agar para penggemar musik hip-hop tidak membandingkan dirinya dengan Drake karena rapper asal Kanada tersebut dianggap tidak menulis lirik-lirik rap-nya sendiri.
Sontak saja, Drake pun langsung membalas pernyataan Meek. Bahkan, Drake juga merilis lagu single yang ditujukan untuk menjawab tudingan Meek.
Tidak tinggal diam, Meek pun kembali membalas Drake dengang sebuah lagu lagi. Mereka pun saling berbalas lagu dan sindiran hingga akhirnya memutuskan berdamai pada tahun 2018 silam.
Apa yang terjadi antara Drake dan Meek bisa jadi mirip dengan apa yang terjadi di dunia nyata – khususnya antara mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo yang kini menjadi bakal calon presiden (bacapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Bagaimana tidak? Anies pada Minggu, 21 Mei 2023, lalu melancarkan sebuah sindiran yang dinilai ditujukan kepada Ganjar. “Saya mendengar keluh kesah dan cerita mereka, bukan lari-lari untuk posting foto saja,” ujar Anies kepada para relawannya di Tennis Indoor Senayan, Jakarta.
Pernyataan Anies inipun ditanggapi oleh Ganjar. Ketika ditanyai wartawan soal pernyataan Anies, Gubernur Jateng itu pun dengan simple menjawab, “Lha ya foto upload aja kalau punya IG (Instagram).”
Tidak hanya Ganjar, pernyataan Anies turut ditanggapi oleh PDIP. Melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto, PDIP pun menyindir kultur kepemimpinan yang berakar pada politik identitas.
Mungkin, layaknya battle antar-rapper, Anies mulai melemparkan diss – istilah yang digunakan untuk menyebutkan sindiran dalam rap – kepada Ganjar. Siapa tahu juga diss ini bisa saja berlanjut ke battle di antara para bacapres ini?
Namun, bila benar sindiran ini nantinya berujung pada upaya saling sindir lebih lanjut – layaknya feud (permusuhan) dalam rap, mengapa konsekuensi lanjutan lainnya juga bisa saja muncul? Mengapa pihak tertentu bisa saja diuntungkan dari “feud” ini?
Anies Butuh Rival?
Kompetisi yang berbentuk rivalitas sebenarnya merupakan hal yang umum terjadi. Bahkan, sejak kecil ketika masih duduk di bangku sekolah hingga dunia kerja, rivalitas di antara individu-individu kompetitif juga sudah terbiasa.
Inipun juga terjadi di antara Drake dan Meek yang saling bersaing di dunia rap. Dengan kompetensi mereka masing-masing, dua rapper ini pun saling bersaing dengan unjuk kebolehan melalui lagu-lagu diss mereka.
Nah, mengapa Drake dan Meek memutuskan untuk menjadi rival? Apa untungnya bersaing di antara satu sama lain – hingga titik ekstrem seperti saling menyindir?
Seperti pada kompetisi pada umumnya, rivalitas biasanya merupakan kompetisi untuk memperebutkan posisi, status, atau sumber lainnya. Perbedaannya terletak pada – mengacu pada tulisan Brandon Valeriano yang berjudul The Steps to Rivalry: Power Politics and Rivalry Formation – adalah tingkat permusuhan yang ketat sehingga berujung pada persaingan di antara dua pihak.
Bila kita aplikasikan pada kompetisi Drake dan Meek, jelas mereka menjadi rival untuk memperebutkan penggemar hip-hop dan status sebagai rapper yang memiliki kemampuan menulis yang hebat. Selain itu, feud – mengacu ke tulisan Eli Sweet yang berjudul Bullet on Charts: Beef, the Media Industry, and Rap Music in Africa – juga memberikan keuntungan bagi para rappers karena perhatian media.
Bukan tidak mungkin, pola yang sama juga terjadi dalam “feud” yang dibangun antara Anies dan Ganjar. Secara tidak langsung, memiliki musuh dalam permainan yang sama juga menguntungkan para bacapres ini.
Dengan menyindir lawan politik, misalnya, Anies bisa saja mendapatkan perhatian media. Tidak hanya dari media, dengan menyindir lawan-lawannya, mereka pun ikut memberi tanggapan dan jawaban – yang mana secara tidak langsung turut menambah perhatian media terhadap sosok Anies.
Mirip dengan rivalitas Drake dan Meek di dunia rap, rivalitas yang terbangun antara Anies dan Ganjar juga menjadi isu seksi di dunia politik yang akan ramai dibahas beberapa bulan ke depan – setidaknya hingga 14 Februari 2024 ketika Pilpres 2024 dilaksanakan.
Namun, bukankah Anies dan Ganjar juga harus menghadapi bacapres lainnya – yakni Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto? Lantas, mengapa Anies tampak lebih memilih Ganjar untuk dijadikan rivalnya menuju Pilpres 2024?
Ganjar, Rival yang Menjanjikan?
Satu hal yang menarik dari feud yang terbangun antara Drake dan Meek pada tahun 2015-2018. Jika diperhatikan, banyak pengguna internet turut berkomentar perihal siapa yang dianggap lebih jago dalam menulis lirik-lirik rap – bahkan terkait baris-baris yang mereka tulis di lagu-lagu diss mereka.
Dari komentar-komentar itu, para penggemar musik rap dan hip-hop seakan-akan harus memilih soal siapa yang terbaik di antara dua rapper tersebut. Mungkin, ada beberapa yang memilih untuk menjadi tim Meek. Namun, tidak sedikit juga memilih tim Drake.
Nah, pola ini sebenarnya umum terjadi dalam rivalitas – apalagi permusuhan yang melibatkan publik layaknya feud antar-rapper ini. Dalam politik pun, pola yang sama juga sering terjadi.
Bahkan, mengacu pada tulisan Patrick R. Miller yang berjudul Partisan Voters Treat Politics and Elections Like a Competitive Sports Rivalry, rivalitas politik juga memiliki pola layaknya rivalitas antara tim olahraga di antara para pemilih. Layaknya penggemar sepak bola, para pendukung ini memiliki rasa memiliki (sense of belonging) yang kuat sehingga bisa dimobilisasi untuk kepentingan politik.
Penjelasan Miller ini juga sejalan dengan Teori Identitas Sosial. Mengacu pada tulisan Leonie Huddy dan Alexa Bankert yang berjudul Political Partisanship as a Social Identity, individu juga mengategorisasikan diri ke kelompok-kelompok pendukung politik.
Caranya pun sama dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, yakni dengan membandingkan karakteristik satu sama lain. Bila banyak kesamaan, individu tersebut akan mengategorisasikan diri ke kelompok sosial dengan karakteristik-karakteristik yang mirip.
Lantas, mengapa Anies memilih Ganjar untuk menjadi rivalnya? Mengapa bukan Prabowo yang juga menjadi bacapres menuju Pilpres 2024?
Seperti yang dijelaskan dalam Teori Identitas Sosial, semakin berbeda karaktertistik kelompok sosial, semakin berbeda pula kategori sosialnya. Ini bukan tidak mungkin berujung para kesetiaan yang lebih kuat di antara kelompok-kelompok pendukung politik ini – layaknya dua kutub yang berbeda.
Bila dibandingkan dengan Prabowo, kelompok pendukung Anies masih memiliki sejumlah kemiripan. Baik Anies maupun Prabowo setidaknya pernah disebut-sebut sebagai antitesis Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Di sisi lain, masih banyak pendukung Jokowi memiliki kecenderungan untuk berlabuh ke Ganjar. Beberapa kemiripan terlihat jelas antara Jokowi dan Ganjar – misal soal identitas Jawa hingga kebiasaan berkampanye ala blusukan.
Pada akhirnya, upaya diss dari Anies bisa dipahami sebagai cara untuk membangun rivalitasnya dengan Ganjar – yang mana juga menjadi strategi untuk memperkuat basis pendukung menyongsong Pilpres 2024. Layaknya potongan lirik lagu “Homicide” (2019) dari Logic, ini bisa jadi cara untuk menambahkan gas terhadap api politik di tahun-tahun politik ini. (A43)