Site icon PinterPolitik.com

Anggaran Pertahanan Prabowo, Haruskah Ditutupi?

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Foto: CNBC Indonesia)

Anggaran belanja Kementerian Pertahanan (Kemhan) meningkat setiap tahunnya. Publik kemudian sempat dihebohkan dengan kabar Menhan Prabowo Subianto yang tengah merumuskan rencana anggaran sebesar Rp 1,7 kuadriliun. Di sisi lain, informasi mengenai alokasi anggaran Kemhan sangat minim. Tepatkah upaya penutupan informasi tersebut?


PinterPolitik.com

Beberapa waktu lalu, publik sempat dihebohkan oleh kabar tentang rencana anggaran Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk pembelian alat utama sistem senjata (alutsista) yang mencapai angka sekitar Rp 1.700 triliun.

Anggaran ini dikatakan tertera dalam pasal 7 Rancangan Peraturan Presiden Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024 (Raperpres Alpalhankam). Rencana ini merupakan proyek strategis jangka waktu 25 tahun.

Meskipun Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto sendiri belum membenarkan kepastian anggaran tersebut, dengan alasan masih dirundingkan dengan kementerian lainnya, banyak pihak yang sudah memberikan respons. Ada yang mengkritik dengan tegas, namun tidak sedikit juga yang justru mendukung.

Baca Juga: Transparansi Anggaran Pertahanan: Prabowo Vs DPR

Salah satu yang suportif adalah pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi. Ia mengatakan belanja alutsista Indonesia memang membutuhkan sudut pandang revolusioner, karena dalam belanja alutsista, penggunaannya sangat didasarkan pada fungsi jangka panjang. Selain itu, dengan dana yang besar, Fahmi menilai itu dapat menjawab permasalahan besar belanja alutsista Indonesia, yaitu inkonsistensi.

Di sisi lain, ekonom The Institute for Development of Economics and Finance, Didik J. Rachbini menilai rencana anggaran tersebut sudah di luar kepantasan. Ia juga mengatakan, jika anggaran ini disetujui Komisi I DPR, maka wakil rakyat pun tidak tahu diri dan kurang mengukur kepantasan dengan kondisi prihatin pada saat ini.

Sementara itu, kenyataannya, modernisasi alutsista Indonesia sampai saat ini dinilai masih belum menghasilkan progres yang besar. Tidak heran, target Minimum Essential Force (MEF) atau Kekuatan Pokok Minimum tidak pernah mencapai target. Padahal, Kemhan adalah kementerian dengan alokasi anggaran terbesar kedua setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR).

Lantas, mengapa besarnya anggaran Kemhan tampak kontradiktif dengan ekspektasi pemutakhiran kapabilitas pertahanan Indonesia?

Alokasi Anggaran Bukan untuk Alutsista?

Sebagai selayang pandang, MEF merupakan program pemenuhan untuk modernisasi alutsista Indonesia. Sejak dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2007 lalu, MEF dibagi menjadi tiga rencana strategis hingga tahun 2024. Dalam MEF ini juga terdapat tiga komponen postur yang jadi penentu nilai pencapaiannya, yakni kekuatan, persebaran penempatan, dan kemampuan.

Berdasarkan Buku Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara dan Lembaga (RKA K/L) Tahun 2021, MEF tahap satu (2010-2014) memiliki target 57,24 persen, sementara realisasinya 54,97 persen. Di tahap kedua (2014-2019), target MEF 75,54 persen dan realisasinya hanya 63,19 persen. Sementara itu, untuk tahap ketiga (2019-2024), MEF ditargetkan sudah mencapai 100 persen. Melihat keadaan alutsista sekarang, banyak pihak yang pesimis.

Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Nasdem, Muhammad Farhan menyebut saat ini TNI bahkan belum memprioritaskan anggaran untuk modernisasi alutsista. Ini disebabkan beberapa hal, di antaranya peningkatan fasilitas komunikasi elektronik, operasi pasukan penjaga perdamaian, dan peningkatan kapasitas fasilitas Komando Gabungan Wilayah Pertahanan.

Pada tahun 2020, kata Farhan, anggaran alutsista TNI mencapai Rp13 triliun. Namun, TNI tak belanja alutsista sama sekali dengan alasan anggaran itu direalokasi untuk penanganan pandemi Covid-19. Ia pun ragu target MEF Tahap ketiga yang berakhir pada 2024 akan tercapai. Menurutnya, belanja alutsista dua tahun terakhir saja di bawah 20 persen, yang merupakan batasan standar dari anggaran per tahun. Dengan pola seperti ini, Farhan menilai akan sangat sulit mencapai target MEF.

Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi menilai anggaran fantastis Kemhan tak tercermin dalam belanja alutsista. Ia justru melihat saat ini anggaran Kemhan lebih banyak terserap untuk belanja pegawai, bukan untuk belanja alutsista.

Sementara, semenjak hari pertama Menhan Prabowo dilantik publik sudah menanti-nanti adanya modernisasi alutsista. Hadi menilai justru sampai saat ini hampir tidak kelihatan kebijakan-kebijakan strategis yang diambil untuk pertahanan negara.

Baca Juga: Gemuk Anggaran, Sulit Peremajaan Alutsista?

Memang, Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan), Muhammad Herindra sendiri mengungkapkan dalam tulisannya yang berjudul Diskursus ”Guns” Vs ”Butter” di laman Kompas, bahwa sebesar Rp 75 triliun atau sekitar 55 persen dari total anggaran Kemhan dialokasikan ke berbagai program dukungan manajemen, termasuk belanja pegawai. Sementara itu, anggaran untuk modernisasi alutsista hanya 29 persen dari total.

Seperti apa saja dukungan manajemen yang dimaksud? Well, di samping data yang sudah disebutkan di atas, keterangan detail mengenai penggunaan anggaran Kemhan sangat sulit didapatkan. Bahkan, pihak Kemhan dan Prabowo sendiri, jika dilihat dari pemberitaan yang ada, sangat protektif dalam menjawab untuk digunakan apa saja dana yang telah dipercayakan kepada mereka.

Contohnya, seperti ketika Prabowo mengikuti rapat yang digelar Komisi I DPR pada 2019 lalu. Ketika itu, Prabowo dengan tegas menolak ketika diminta membeberkan anggaran pertahanan oleh anggota Komisi I fraksi PDIP, Effendy Simbolon. Ini kemudian sempat mendapat sorotan publik.

Mungkin, dari sudut pandang awam, orang akan berargumen bahwa penggunaan anggaran pertahanan adalah informasi yang sifatnya rahasia, karena menyangkut kepentingan strategis negara.

Namun, apakah anggapan seperti itu dapat dibenarkan?

Keamanan adalah Barang Publik

Ketua Centra Initative dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Al Araf mengatakan bahwa secara prinsip sektor keamanan itu merupakan sebuah barang publik di mana dia menjadi bagian yang juga masyarakat miliki karena tujuan dari keamanan adalah memastikan rasa aman masyarakat.

Al Araf juga menyampaikan, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, hanya hal yang terkait strategi, taktik, dan operasi intelijen, termasuk soal kedaulatan yang menjadi bagian kerahasiaan, sementara anggaran proses pembahasan dan lainnya seharusnya menjadi bagian yang terbuka.

Melengkapi maksud Al Araf, pandangan dari mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo bisa menjadi perspektif yang sesuai. Dalam tulisannya yang berjudul Keterbukaan Anggaran di Sektor Militer atau Pertahanan (Bayangan antar Korupsi dan Rahasia Negara), Agus mengatakan, yang perlu dirahasiakan dari Kemhan adalah penyebaran dan penggelaran dan instalasi alutsista, sementara untuk anggaran harus diupayakan agar transparan.

Agus juga menilai, mengingat sebagian besar alutsista yang diperlukan Kemhan dan TNI masih impor dan dibeli dari luar negeri, upaya merahasiakan anggaran belanja berarti adalah agar masyarakat Indonesia tidak tahu. Padahal, penjualnya di luar negeri sudah mengetahui dengan akurat apa yang dibeli TNI, bahkan sebagian bisa diakses melalui situs online.

Baca Juga: Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo?

Tsvetelina Yordanova dalam tulisannya The Transparency – Security Dilemma in National and International Context menyebutkan transparansi dalam lembaga pertahanan di era yang modern menjadi sebuah keniscayaan. Lembaga yang kurang transparan justru akan menghadapi semakin banyak kesulitan untuk menjaga status quo kerahasiaan informasi di dunia yang semakin transparan.

Yordanova menilai negara-negara saat ini bahkan cenderung didorong untuk semakin terbuka karena kepentingan heterogen dari komunitas internasional hampir tidak dapat dikonsolidasikan tanpa adanya komunikasi dan keterbukaan informasi.

Inilah kemudian apa yang dikatakan sebagai ‘ilusi kerahasiaan’ oleh Pieter D. Wezeman dan Siemon T. Wezeman dalam artikel mereka Balancing Transparency and National Security. Berdasarkan pengalaman mereka di Stockholm International Peace Research (SIPRI), yang seringkali bekerja dalam mengumpulkan informasi tentang anggaran militer dan perdagangan senjata internasional, ternyata sangat mudah sekali mendapatkan pengetahuan tentang transaksi senjata.

Jika lembaga seperti SIPRI, dengan sumber daya minim dan hanya bekerja dengan aplikasi open-source, dapat menghitung pengeluaran militer dan memetakan perdagangan senjata global dengan tingkat kelengkapan dan akurasi yang tinggi, maka badan intelijen nasional di negara-negara yang berpotensi sebagai musuh dari negara tertentu, jelas dapat mendapatkan informasi lebih banyak lagi.

Oleh karena itu, pemerintah sesungguhnya hanya dapat menutupi sebagian kecil kerahasiaan. Ini kemudian yang sebenarnya dapat menjadi permasalahan yang baru, karena masyarakat yang tidak tahu tentang penggunaan anggaran pertahanan, akan terus bertanya-tanya tentang pertahanan nasional, alokasi anggaran dan akuntabilitas penggunaannya untuk alutsista yang sesuai demi menjaga keamanan nasional.

Daripada menjadikan permasalahan kerahasiaan sebagai potensi perdebatan yang kontroversial, pemerintah seharusnya mempertimbangkan pendekatan yang lebih terbuka. Dengan demikian, pemerintah bisa membangun kepercayaan, dan di sisi lain juga akan membantu mencegah adanya salah pengertian, dan salah perhitungan anggaran yang malah dapat menyebabkan pemborosan anggaran, korupsi, dan menimbulkan ketegangan antarnegara. (D74)

Exit mobile version