Site icon PinterPolitik.com

Andika Perkasa dan Konsolidasi Militer Jokowi

Andika Perkasa dan Konsolidasi Militer Jokowi

Foto : Viva News

Ada apa di balik pilihan Jokowi menunjuk Andika Perkasa sebagai KSAD?


PinterPolitik.com

[dropcap]H[/dropcap]ubungan sipil militer dalam kancah politik Indonesia kembali menjadi sorotan setelah keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang kini diemban oleh Andika Perkasa.

Pada hari Kamis kemarin, Andika mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Jokowi, Panglima Marsekal Hadi Tjahjanto, Menko Polhukam Wiranto, dan pejabat lainnya. Pada kesempatan itu, Andika juga resmi naik pangkat menjadi jenderal bintang empat. Hal itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 98/TNI Tahun 2018 tentang Kenaikan Pangkat dalam Golongan Tinggi Perwira TNI.

Keputusan tersebut mendapat banyak perhatian oleh banyak pemerhati seperti Direktur Imparsial Al Araf yang mempertanyakan alasan Presiden Joko Widodo memilih sosok Andika. Ia menyebut bahwa jika diukur dari konteks regenerasi, maka Jokowi seharusnya lebih mempertimbangkan angkatan yang lebih senior untuk dipilih menggantikan Mulyono.

Jika melihat dekatnya penunjukan KSAD tersebut dengan tahun politik 2019, sulit untuk tidak melihat langkah Jokowi tersebut tidak memiliki muatan kepentingan politik. Lantas bagaimana menelisik keputusan pengangkatan KSAD oleh Jokowi ini dalam kacamata politik?

Menari Di Antara Para Jendral

Hubungan pemerintahan sipil dengan organisasi militer tidak pernah mudah, bahkan di negara-negara yang dikategorikan maju, juga di Indonesia. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh Presiden Jokowi dalam lima tahun masa jabatannya adalah bagaimana mengurus militer.

Pasca reformasi, Jokowi adalah presiden sipil keempat setelah tiga presiden sipil pendahulunya tidak ada yang berkuasa penuh selama lima tahun. Realitas tersebut menunjukkan bahwa pengaruh legitimasi kekuasaan militer masih menjadi poin penting dalam upaya konsolidasi kekuasaan bagi presiden sipil di Indonesia.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian Leonard C. Sebastian, Emirza Adi Syailendra, Keoni Indrabayu Marzuki dalam jurnal yang berjudul Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period.

Dalam konteks pemerintahan Jokowi, Sebastian dan kawan-kawan menyebut bahwa akomodasi terhadap kekuatan para jenderal yang dilakukan Jokowi tak lain dan tak bukan adalah karena ia adalah pemimpin yang tidak memiliki latar belakang militer

Kondisi tersebut yang pada akhirnya mengganggu legitimasinya karena tidak ada basis kekuatan de facto dalam bentuk dukungan tanpa syarat dari partai politik, dan menghadapi parlemen yang dipimpin oposisi yang bermusuhan.

Ia berada di antara dominasi aktor-aktor kuat dengan berbagai kepentingan politik. Menjadi pemain baru dalam politik nasional, membuatnya akhirnya sulit berada dalam posisi independen karena harus mengakomodasi kepentingan-kepentingan kekuatan yang mendukungnya.

Sehingga, untuk memperkuat basis kekuatannya yang lemah terhadap oposisi, Jokowi akhirnya menggunakan sumber kekuatan tradisional di Indonesia yakni militer. Dia menempatkan beberapa pensiunan jenderal di pos-pos sipil penting contohnyakepala staf kepresidenan, menteri pertahanan..

Penunjukan tersebut melengkapi manuver politik Jokowi sebelumnya yang terlihat menunjuk beberapa orang yang loyal kepadanya dan berkuasa di kabinet. Ia juga kerap mengganti menteri-menteri kabinet yang tidak sepenuhnya sejalan dengannya melalui reshuffle.

Strategi Jokowi selaras dengan pendapat Steve Corbet dan Michael J. Davidson dalam sebuah tulisannya yang menyebutkan bahwa pensiunan militer punya posisi politik yang masih kuat, termasuk mendukung keterpilihan tokoh tertentu dalam Pemilu. Hal ini bisa dilihat dalam banyak kasus di Amerika Serikat.

Pada Januari 2018 misalnya, Jokowi menunjuk mantan panglima TNI, Jenderal Moeldoko sebagai kepala stafnya. Penunjukan ini tentunya bertujuan strategis.

Sebagai kepala salah satu asosiasi petani terbesar di Indonesia, Moeldoko adalah aset penting dalam membantu Jokowi untuk berebut dominasi dengan Prabowo Subianto, yang juga memiliki pengaruh kuat di komunitas pertanian.

Lebih penting lagi, Moeldoko juga bertugas dalam meng-counter perkembangan ideologi Islamis garis keras dan gerakan keagamaan yang menguat pasca gelaran Pilkada DKI di 2017.

Kemampuan berpikir strategis Moeldoko, dikombinasikan dengan hubungan pribadinya dengan Jokowi dan pengalaman sebagai Panglima TNI, dipandang penting untuk menetralkan manuver lawan-lawan politik dan untuk melindungi presiden.

Selain menunjuk Moeldoko Jokowi juga menunjuk Agum Gumelar sebagai anggota Dewan Penasehat Kepresidenan. Diduga peran para jendral ini juga memainkan peran dalam kemenangan elektoral Jokowi pada tahun 2014 dan juga berperan dalam upaya politik kontra-manuver melawan Prabowo Subianto.

Lalu mungkinkah penunjukan Andika Perkasa sebagai KSAD sebagai tanda bahwa Jokowi telah menggenggam sepenuhnya kekuatan militer untuk memuluskan langkahnya menuju Istana untuk dua periode di 2019?

2019, Puncak Konsolidasi Elit Militer?

Bagi sebagian pengamat, sulit untuk tidak melihat bahwa ada motif khusus di balik penunjukan Andika. Selain ia dianggap masih terlalu junior, penunjukan Andika Perkasa terkesan menjadi dipermasalahkan menyoal prestasi dalam karir militernya yang bisa dibilang minim.

Dalam konteks tersebut, James M. McPherson dalam tulisannya berjudul Generals in Politics menggambarkan seorang perwira umum atau pemimpin militer lainnya tanpa pengalaman militer yang signifikan yang diberi posisi tinggi di komando karena alasan politik sebagai jenderal politik.

Biasanya, kekuasaan sang jenderal memperoleh posisi penting melalui koneksi politik, atau untuk memenuhi tuntutan blok politik dan faksi tertentu. Di Amerika Serikat, konsep ini paling menonjol selama masa Perang Saudara.

Selain itu, konsolidasi elite militer sepertinya masih menjadi salah satu kunci dalam memenangkan Pilpres di 2019 nanti. Jika disebut bahwa penunjukan KSAD akhirnya semakin memperkuat konsolidasi elite tersebut, bisa saja hal itu memang benar faktanya.

Belajar dari pengalaman Pemilu 2014 yang telah dijelaskan sebelumnya, pada akhirnya Jokowi menyadari tentang pentingnya nilai konsolidasi kekuatan melalui jaringan patronase pribadi jenderal militer.

Pergantian Panglima TNI dari era jendral Gatot Nurmayanto menuju pengangkatan Marsekal Hadi Tjhajanto juga membuat konsolidasi elit tersebut semakin nyata. Seperti di kutip dari DW Indonesia, Hadi Tjahjanto diketahui telah menjadi mitra dekat Jokowi sejak tahun 2010-2011, saat Hadi menjabat sebagai Komandan Lanud Adi Soemarmo dan Jokowi sebagai Wali Kota Solo.

Kedekatan ini berlanjut, ketika Jokowi duduk di Istana. Karier Hadi meroket menyalip seniornya, bahkan dalam waktu tiga tahun, Hadi tercatat dua kali dipromosikan hingga akhirnya menduduki posisi KSAU. Dua tahun setelahnya, Hadi didapuk sebagai Sesmil Presiden.

Menjelang 2019, Jokowi terlihat berupaya mengkonsolidasikan seluruh kekuatan elit militer. Pengangkatan KSAD bisa saja adalah puncak konsolidasinya. Share on X

Sementara dalam konteks pengangkatan KSAD, Andika Perkasa merupakan anak menantu dari mantan kepala BIN, Hendropriyono , yang juga merupakan mantan jenderal dan politisi yang kini mendukung kubu Jokowi. Tentu kait kelindan tersebut juga menjadi keuntungan tersendiri bagi Jokowi.

Soal relasinya dengan Jokowi, kurang lebih kisahnya hampir mirip dengan kedekatan Marsekal Hadi Tjahjanto dan Jokowi.Ia juga dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Jokowi dengan sempat menjadi komandan Pasukan Pengamanan Presiden. Karir militernya pun juga disebut banyak pihak cepat meroket.

Sehingga bukan tanpa alasan Jokowi menunjuk Andika Perkasa sebagai KSAD. Telebih, KSAD merupakan institusi kunci dalam militer dan politik.

Secara politis, jika merujuk pada riset Leonard C. Sebastian, dalam konsolidasi kekuasaan, aliansi antara presiden dan militer sangat penting dalam membantu mencapai target ambisius pemerintahan Jokowi.

Pengangkatan Andika kini bisa jadi sebagai penegasan bahwa Angkatan Darat dapat di taklukan oleh Presiden RI ke tujuh ini. Karena sebelumnya, sempat terjadi ketegangan yang terjadi antara Angkatan Darat dan Jokowi.

Hal ini di ungkap Majalah Tempo edisi Januari 2018, ketika Moeldoko  mengakui bahwa salah satu alasan utama mengapa dirinya ditarik ke dalam kabinet adalah hubungan antara Jokowi dengan TNI AD yang dikatakan tak harmonis.

Selain itu, salah satu ketegangan lain yang cukup tampak di permukaan adalah kampanye penolakan terhadap isu komunisme yang sangat keras dihembuskan oleh TNI AD di pertengahan tahun 2016 lalu. Hal itu  cukup mengganggu Jokowi karena dianggap sangat merugikan sang petahana

Dengan menunjuk seseorang yang dekat dengannya sebagai petinggi TNI, pada kadar tertentu Jokowi bisa memastikan bahwa dia bisa mengamankan secara nasional dukungan dari komando wilayah militer di seluruh Indonesia yang dapat membantu dalam proyek-proyek nasional.

Hal tersebut tidak terlepas karena militer berperan besar dalam melaksanakan kebijakan, terutama di daerah terpencil di suatu wilayah.

Menuju pertempuran di 2019, jika memang dukungan elite militer sepenuhnya telah di konsolidasi dengan baik, bukan tidak mungkin kemenangan Jokowi sudah dalam genggaman.

Jika memang demikian, Jokowi akan menjadi presiden dari kalangan sipil pertama yang mampu menundukkan militer dalam kekuasaan politiknya. Sungguh sejarah baru dalam hubungan sipil-militer di Indonesia. (M39)

Exit mobile version