Pencalonan Andika Perkasa manjadi Panglima TNI penuh dengan kritik. Banyak pihak menilai pengambilan keputusan harus mempertimbangkan rotasi antar matra. Logika politik apa yang digunakan Presiden dalam menentukan Panglima TNI?
Markas Besar TNI menanti Panglima baru. Tentunya jabatan Panglima TNI sangat prestise. Seorang Panglima TNI memegang tongkat komando atas tiga matra dalam tubuh TNI sekaligus. Berurutan sesuai abjad, ketiga matra terdiri dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara(AU).
Jika dalam institusi Polri, pangkat empat bintang yang melekat di pundak, yaitu Jenderal Polisi hanya dimiliki oleh Kapolri, maka di institusi TNI berbeda. Pangkat empat bintang dimiliki oleh empat pimpinan, yaitu Panglima TNI, Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Kepala Staf Angkatan laut (KASAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU). Meski melekat empat bintang yang sama, Panglima TNI adalah the supreme leader secara hierarkis di atas KASAD, KASAL dan KASAU.
Muncul kuriositas, bagaimana cara Panglima TNI dipilih dalam lintas sejarah Indonesia? Dwi Erianto dalam tulisannya Pemilihan Panglima TNI dari Era Soekarno hingga Jokowi, menjabarkan, dalam sejarahnya mekanisme pemilihan Panglima TNI mengalami beberapa perubahan, mulai dari pihak yang memilih hingga rotasi asal angkatan tiap Panglima.
Pada masa Orde Lama, pengangkatan Panglima TNI dijalankan oleh tentara sendiri. Pada masa tersebut, sosok setara Panglima TNI juga sempat dipilih oleh Presiden. Masa Orde Baru berbeda, Panglima TNI dipilih merujuk pada UUD 1945 Pasal 10 yang menyebutkan Presiden memegang kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Oleh sebab itu, pemilihan Panglima TNI dilakukan oleh Presiden berdasarkan hak prerogatif presiden.
Baca Juga: Andika Lawan Mitos Keperawanan?
Perubahan pun terjadi di era Reformasi, proses pemilihan Panglima TNI melibatkan persetujuan DPR dan ini menjadi atensi publik. Setidaknya terdapat dua alasan di balik ketertarikann publik terhadap proses penentuan Panglima TNI. Pertama, posisi Panglima TNI berpotensi menjadi batu loncatan karier pejabat di kabinet. Kedua, dalam proses seleksi melibatkan DPR, hal ini memperlihatkan dibukanya ruang saling tebar pengaruh politik dalam proses seleksi.
Kulminasi dari pentingnya posisi Panglima TNI di atas, mewajarkan munculnya atensi publik saat Presiden Jokowi mengusulkan Jenderal TNI Andika Perkasa menjadi Panglima TNI. Berbagai kritik terlihat. Mulai dari tidak dilakukan rotasi angkatan dalam memilih Panglima, hingga isu kedekatan menjadi pertimbangan Jokowi memilih Andika.
Mengapa kritik-kritik tersebut terjadi?
Drama dan Kritik Pencalonan
Cerita dimulai saat Ketua DPR Puan Maharani mengumumkan lembaganya telah menerima Surat Presiden (Surpres) berisi pengajuan calon Panglima TNI dari Presiden Jokowi. Puan menjelaskan bahwa Jokowi hanya mengusulkan satu nama sebagai Panglima TNI, yakni Andika Perkasa.
Karena hanya mengajukan satu nama, Jokowi didesak untuk menjelaskan alasan pemilihan Andika. Ini misalnya terlihat dari Ismail Hasani, Direktur Eksekutif Setara Institute yang mendesak Presiden Jokowi menjelaskan alasan memilih Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI.
Sebab jika mengacu rotasi antar matra, semestinya bukan Andika yang dipilih sebagai pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto. Ismail mengatakan isu rotasi antar matra merupakan salah satu isu sentral dalam pemilihan Panglima TNI. Ia menyebut hal ini juga menjadi bagian dari reformasi institusi pertahanan tersebut.
Tambahnya, rotasi antar matra bukan hanya tren, tetapi kebijakan yang dasarnya diakomodasi dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang TNI. Pasal itu menyebutkan, jabatan Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan.
Baca Juga: Andika Tidak Harus Jadi Panglima?
Ismail melanjutkan, publik berhak mengetahui apa dan bagaimana alasan Presiden Jokowi dalam mengusulkan Andika. Sehingga, pengusulan nama Andika dalam Surpres sebagai calon tunggal Panglima TNI perlu disertai dengan keterangan-keterangan Presiden mengenai landasan pengusulan tersebut.
Jika melihat dari kritik-kritik yang ada, khususnya faktor kedekatan, besar dugaan itu berangkat dari sebuah prinsip yang disebut dengan meritokrasi. Tutik Rachmawati dalam tulisannya Jalan Panjang Mewujudkan Meritokrasi di Indonesia mengatakan konsep meritokrasi pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Aristoteles dan Plato yang percaya bahwa sebuah negara seharusnya dipimpin oleh orang-orang yang paling pandai, paling baik, dan paling berprestasi. Secara sederhana, meritokrasi adalah sistem yang menawarkan ukuran prestasi untuk memilih seseorang.
Pertanyaannya, apakah meritokrasi merupakan satu-satunya pertimbangan dalam menunjuk calon Panglima TNI?
Meraba Logika Politik
Jika direnungkan, serta mempertimbangkan pengangkatan Panglima TNI sebelumnya, logika politik penunjukan Panglima sebenarnya sederhana. Orang yang ditunjuk sebagai Panglima TNI adalah president’s man. Panglima merupakan posisi vital yang memberi jaminan keamanan dan pertahanan. Mengacu pada sejarah politik Indonesia, memiliki hubungan baik dengan militer adalah fakta yang tak terelakkan untuk menjaga dukungan dan konsolidasi.
Konteks ini misalnya ditegaskan Niccolò Machiavelli dalam bukunya Il Principe sejak tahun 1513. Menurut Machiavelli, kekuasaan dan pengaruh memang lebih mudah dipertahankan apabila pihak terdekat atau yang paling dipercaya yang ditunjuk sebagai penerus atau pembantu.
Machiavelli menjelaskan bahwa penguasa yang berasal dari penguasa-penguasa baru, akan lebih sulit mempertahankan kekuasaannya daripada penguasa yang berasal dari satu keluarga.
Contohnya, pada kasus Duke Ferrara di Italia yang mampu bertahan dari serangan-serangan Venesia pada tahun 1484 dan serangan Paus Julius pada tahun 1510. Menurut Machiavelli, keberhasilan tersebut tidak terlepas dari keluarga Ferrara yang memang memegang kekuasaan dari dahulu kala. Oleh karenanya, ini membuat friksi kepentingan yang berakibat pada runtuhnya soliditas tidak banyak terjadi.
Machiavelli juga memberikan saran bagaimana cara penguasa baru dapat mempertahankan daerah-daerah jajahan barunya, yakni sang penguasa baru harus memusnahkan semua darah keturunan sang penguasa lama. Alasannya sederhana, untuk menekan potensi perlawanan dari keturunan penguasa lama yang menaruh dendam dan merencanakan perebutan kekuasaan.
Saat ini, saran-saran ala Machiavelli nyatanya tetap eksis dan lumrah kita lihat dan langgengkan. Demi kepentingan memperkuat pengaruh politik, penguasa selalu menempatkan orang-orang kepercayaannya agar dapat melakukan kontrol dan konsolidasi.
Kendati terdengar seperti melanggengkan praktik nepotisme, praktik ini nyatanya memang harus dilakukan karena perumusan kebijakan yang efektif lebih mudah dilakukan apabila bekerja sama dengan pihak-pihak yang telah dipercayai sebelumnya.
Baca Juga: Mengapa PDIP Amankan Andika?
Seperti penegasan Bo Rothstein dalam bukunya Social Traps and the Problem of Trust, di tengah situasi sosial yang membuat rasa saling curiga mudah tumbuh, kepercayaan adalah sesuatu yang sulit untuk didapatkan.
Singkatnya, ini membuat sangat penting bagi Presiden untuk menjamin posisi Panglima TNI adalah orang yang benar-benar setia kepadanya. Komunikasi antara Presiden dan Panglima TNI juga harus bersifat langsung dan tanpa “perantara”.
Ini juga pernah disinggung oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. Menurutnya, Panglima bukan hanya soal kecerdasan, melainkan juga soal loyalitas.
Well, terlepas dari semua perdebatan yang ada, pada akhirnya, kita harus memahami bahwa Panglima TNI adalah president’s man. Dalam bahasa lain, secara normatif disebut hak prerogatif presiden. Presiden Jokowi yang mengetahui kebutuhannya terkait siapa yang menjadi Panglima. (I76)