Janji Jenderal TNI Andika Perkasa untuk menyelesaikan konflik di Papua menggunakan pendekatan non-militer ditanggapi dengan kritikan oleh berbagai pihak. Banyak yang menilai harus terdapat kolaborasi sipil dan militer dalam menyelesaikan konflik di Papua. Lantas, kolaborasi seperti apa yang relevan untuk menyelesaikan konflik di Papua?
Baru-baru ini, Jenderal TNI Andika Perkasa mengikuti pelaksanaan fit and proper test di DPR RI, dalam kesempatan itu, ia berkomitmen akan menyelesaikan konflik di Papua dengan mengedepankan pendekatan non-militer. Tentunya, pendekatan ini dipahami sebagai pendekatan yang lebih lunak dan humanis.
Berbagai tangggapan pun muncul, sebagai respons pernyataan Andika. Misalnya, Made Supriatma, peneliti dari Institute of Southeast Asian Study (ISEAS), mengatakan janji Andika soal Papua hanyalah lip service, dilihat dari kenyataan di lapangan, TNI sejauh ini sulit untuk melakukan pendekatan humanis.
Lanjut Made, selama intens melakukan penelitian di Papua, ia melihat orang-orang di Papua mempunyai perspektif berdialog. Jika sepakat untuk berdialog, maka harus ada genjatan senjata, sedangkan kenyataan di lapangan, eskalasi konflik selalu muncul dan tidak mereda.
Bagi Made, langkah taktis yang harus dilakukan oleh TNI, jika menggunakan pendekatan humanis, hanya dapat dilakukan dengan menarik pasukan organik dari Papua, kemudian melakukan moratorium militerisasi. Berikutnya, mengadili para pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa memandang pangkat dan jabatan.
Baca Juga: Pasifik, Resolusi Papua ala Retno?
Pernyataan serupa ditegaskan oleh Hussein Ahmad, peneliti dari Imparsial, mengatakan konflik di Papua hanya bisa dipadamkan melalui dialog. Namun tugas ini bukan tanggung jawab Panglima TNI semata, melainkan tugas Presiden. Pendekatan yang bisa menjawab adalah pemimpin sipil, karena tentara memang dibentuk untuk perang
Lantas, karena menyangkut politik, maka wajar sebagian orang ragu akan janji Andika. Dan juga, masa jabatan Andika yang hanya satu tahun jika tidak diperpanjang. Pertanyaan yang muncul, bagaimana cara seorang militer seperti Andika dapat menyelesaikan konflik dengan berdialog? Bukankah itu tugas pemimpin sipil, yaitu Presiden?
Dua Wajah Janus
Pendekatan militer dan pendekatan dialog seharusnya berkolaborasi, militer tetap sebagaimana fungsinya sebagai alat pertahanan negara, dalam kasus konflik di Papua, militer bertugas menjaga kedaulatan negara. Sedangkan pemimpin sipil, dengan cara yang lebih luwes mengambil peran lain untuk membuka ruang dialog dalam penyelesaian konflik di Papua.
Strategi kolaborasi seperti ini, digambarkan oleh seorang ilmuan sosiologi politik, Maurice Duverger dalam bukunya The Study of Politics mengatakan politik ibarat dewa Janus, dewa perang dalam mitologi Romawi Kuno yang memiliki dua wajah. Konon digambarkan, satu wajahnya tersenyum, dan wajah lainya memperlihatkan ekspresi kemarahan.
Banyak tafsiran tentang simbolisasi Janus face ini, salah satu tafsiranya, melihat bahwa dalam menyelesaikan sebuah konflik politik, sebuah kelompok jika ingin unggul maka harus mempunyai dua karakrter sekaligus dalam dirinya. Karakter ini dapat kita ibaratkan dengan istilah dovish dan hawkish.
Dovish berasal dari kata dove yang artinya burung merpati, sedangkan hawkish berasal dari kata hawk alias burung elang.
Dua binatang tersebut merepresentasi dua hal berlawanan. Dovish adalah simbol binatang jinak, penurut, dan identik terbang sampai ke titik tertinggi. Sebaliknya hawkish adalah simbol menyerang dan terbang menukik ke bawah untuk meraih mangsanya.
Bisa kita simpulkan bahwa pendekatan dialog sebagai dovish, dan pendekatan militer sebagai hawkish. Kedua hal ini harus saling melengkapi dan berkolaborasi dalam menyelesaiakan sebuah permasalahan, hal ini yang disebut dengan pendekatan kolaboratif.
Baca Juga: Jokowi Perlu ‘Politik Rekognisi’ Papua?
Penanganan konflik di Papua memerlukan pendekatan kolaboratif dan tentunya holistik, agar persoalan yang terjadi dapat segera diselesaikan. Masih terjadinya kasus kekerasan menjadi bukti bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk menangani konflik tersebut dinilai belum tepat. Pendekatan kolaboratif dalam penyelesaian konflik di Papua harus mensyaratkan kerja sama, interaksi dan kesepakatan bersama.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan hal senada bahwa masalah Papua harus dilihat secara lintas sektoral, tidak hanya dari paradigma militer. Terdapat masalah politik, seperti ketidakadilan sosial, ketidakadilan lingkungan, kekerasan dan pelanggaran HAM, serta marginalisasi dan diskriminasi yang selama ini terjadi di bumi Cendrawasih.
Well, dapat disimpulkan, pemimpin militer tetap harus dengan peran militernya, sedangkan peran non-militer diserahkan kepada pemimpin sipil. Lalu, seperti apa pendekatan kolaborasi militer sipil dalam penyelesaian konflik Papua?
Dialog dan Mediator
Pembenahan skala besar sangat dibutuhkan sebagai upaya mengurai permasalahan konflik di Papua. Meski belum sepenuhnya selesai, hingga saat ini, penyelesaian konflik di Aceh antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat menjadi contoh pembanding penyelesaian konflik di Papua.
Dipo Alam, dalam tulisannya Perdamaian Aceh dan Pencalonan SBY-JK, mengatakan dalam penanganan konflik Aceh terjadi kebuntuan yang tak dapat dihindari. Pihak pemerintah tak bisa memenangkan konflik Aceh dengan perang, sehingga diperlukan pendekatan baru yang bersifat multidimensional untuk menanganinya.
Dipo menilai, terjadinya kolaborasi antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Jusuf Kalla (JK) pada 2004 adalah anugerah politik untuk proses perdamaian Aceh. Sebab, baik SBY maupun JK, ketika masih menjabat sebagai Menko Polkam dan Menko Kesra, keduanya sama-sama punya perhatian besar dalam menyelesaikan berbagai konflik melalui pendekatan perdamaian.
Dipo ingin memperlihatkan bahwa terjadi kolaborasi antara pemimpin dengan latar belakang yang berbeda. Latar belakang militer diwakili SBY, dan latar belakang sipil diwakili JK. Dalam kolaborasi ini, muncul ide-ide yang mengarah pada solusi perdamaian, yaitu dialog.
Yang menarik, selain kolaborasi, pada konsep dialog di Aceh, peran mediator juga menjadi penting. Seperti yang diuraikan Eka Auliana Pratiwi dalam tulisannya Campur Tangan Asing di Indonesia: Crisis Management Initiative dalam Penyelesaian Konflik Aceh, mengatakan pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan militer untuk menyelesaikan konflik di Aceh namun menemui jalan buntu. Pemerintah kemudian menggunakan pendekatan baru dengan menggunakan pendekatan dialog dan menghadirkan pihak ketiga sebagai mediator.
Pihak yang bertikai mempercayakan NGO asal Finlandia yaitu, Crisis Management Initatiative (CMI) sebagai mediator dalam penyelesaian konflik Aceh. CMI yang memainkan peran resolusi pertikaian, mengidentifikasi isu-isu yang dipersengketakan, mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif dan upaya untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Dalam hal ini CMI tidak mempunyai peran menentukan isi materi persengketaan atau hasil dari resolusi persengketaan tersebut, tetapi CMI dapat memberi saran atau menentukan sebuah proses mediasi untuk mengupayakan sebuah resolusi atau penyelesaian.
Baca Juga: Infrastruktur, Pembangunan Persepsi Papua?
Desriza Ratman dalam tulisan Mediasi Non-Litigasi dengan Konsep Win Win Solution, dengan mengelaborasi pemikiran Christper W. Moore, mengatakan mediasi adalah suatu masalah yang dapat dibantu. Penyelesaian masalahnya melalui pihak ketiga yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, adil dan tidak memihak, serta tidak mempunyai wewenang untuk membuat keputusan, tetapi mempercepat para pihak yang bersengketa agar dapat mencapai suatu keputusan bersama dari masalah yang disengketakan.
Dalam proses penyelesaian konflik di Aceh, kita menemukan beberapa poin penting, seperti kolaborasi aktor sipil dan militer, membuka ruang dialog dan juga menghadirkan mediator sebagai jalan penyelesaian konflik. Lantas, apakah upaya yang pernah dicapai pada penyelesaian konflik di Aceh akan diterapkan pada konflik di Papua?
Jika konsisten dengan pernyataannya, Andika Perkasa tidak hanya harus mengedepankan dialog, melainkan juga perlu menghadirkan mediator di Papua. Dan yang terpenting, Andika harus sadar pelibatan sipil tidak boleh absen dalam dialog tersebut. (I76)