Pembahasan bursa kabinet Jokowi-Ma’ruf 2019-2024 masih terus terjadi. Kini giliran kursi Menteri Pertahanan (Menhan) yang mendapat sorotan dengan pertanyaan utama, apakah posisi tersebut harus diberikan kepada kalangan sipil atau eks-militer?
PinterPolitik.com
Pertanyaan atau perdebatan ini selalu muncul ketika ada pembahasan mengenai pembentukan ataupun perombakan kabinet pemerintah. Bukan tanpa alasan, kursi Menhan bisa dikatakan lebih strategis dibanding kebanyakan kursi menteri lainnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004, Kementerian Pertahanan (Kemhan) “mengatur” Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam hal anggaran, administrasi, serta kebijakan dan strategi pertahanan.
Kemudian Menhan, bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri, juga menjadi sosok yang memegang kekuasaan negara dan pemerintahan, jika sewaktu-waktu presiden dan wakil presiden secara bersamaan tidak dapat melaksanakan tugasnya.
Beberapa nama dari kalangan sipil seperti mantan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto pun mencuat dalam perdebatan tersebut, selain juga beberapa tokoh lain dari kalangan eks-militer. Pertanyaannya adalah seberapa besar peluang Andi?
Pertempuran Dua Kepentingan
Di satu sisi, Menhan dianggap harus berasal dari kalangan sipil karena Menhan merupakan simbol supremasi sipil terhadap militer yang merupakan agenda reformasi 1998 dan menjadi kondisi yang harus terjadi di negara demokrasi.
Menurut Jusuf Wanandi – salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) – Kemhan yang didominasi oleh sipil adalah salah satu cara menjamin adanya supremasi sipil terhadap angkatan bersenjata di suatu negara.
Adanya kebutuhan akan supremasi sipil inilah yang membuat banyak pihak mengkritik penunjukan eks-militer sebagai Menhan, termasuk ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk Ryamizard Ryacudu pada tahun 2014.
Kritik datang dari Imparsial yang melihat pengangkatan Ryamizard sebagai kemuduran bagi reformasi supremasi sipil di Kemhan. Imparsial juga menambahkan bahwa demokrasi yang ada di tangan sipil ditunjukkan dengan Menhan yang juga berasal dari kalangan sipil.
Banyak pemberitaan dan diskusi mengenai siapa saja menteri yang akan diganti atau dipertahankan, termasuk di antaranya nama Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu. #menhan #ryamizard https://t.co/VLDRc10dKo pic.twitter.com/bgBeQv7Q43
Kritik juga datang dari Edward Aspinall, profesor daril Australia National University. Menurutnya, pemilihan kalangan sipil sebagai Menhan adalah simbol supremasi sipil di Indonesia yang kemudian diruntuhkan oleh Jokowi dengan memilih eks-militer.
Isu supremasi sipil ini menjadi sangat penting mengingat militer merupakan entitas dengan kekuatan fisik paling besar dalam suatu negara.
Oleh sebab itu, berdasarkan pandangan Kenneth W. Kemp dan Charles Hudlin, militer harus dibatasi dan diawasi aktivitasnya oleh entitas di luarnya, yaitu sipil.
Selain adanya kebutuhan untuk menjamin supremasi sipil, pemilihan Menhan dari kalangan sipil juga dapat mengurangi adanya rivalitas atau ego sektoral antar-angkatan di tubuh TNI.
Hal ini terkait dengan adanya kebiasaan “jatah” atau “giliran” antara tiga angkatan, baik itu darat, laut maupun udara, untuk menempati posisi Menhan ataupun Panglima TNI.
Namun, di sisi lain kebutuhan akan supremasi sipil melalui kursi Menhan dapat bertabrakan dengan kebutuhan politik presiden.
Kebutuhan politik yang dimaksud adalah adanya kebutuhan Jokowi, atau presiden-presiden Indonesia lainnya, untuk dekat dengan TNI, salah satunya dengan cara menempatkan purnawirawan-purnawirawan TNI di jabatan-jabatan strategis.
Kebutuhan untuk merangkul barisan purnawirawan ini dibutuhkan guna memperkuat posisi politik sang presiden.
Hambatan lainnya adalah adanya stigma di Indonesia bahwa mereka yang berada di luar militer tidak mengerti urusan pertahanan.
Menurut Harold A. Trikunas dari Naval Postgraduate School, stigma ini memang benar terjadi ketika Indonesia baru benar-benar menuju negara demokratis pasca runtuhnya rezim Orde Baru.
Namun, Trikunas juga menambahkan bahwa terbatasnya pengetahuan kalangan sipil terhadap urusan pertahanan juga terjadi karena studi-studi keamanan oleh kalangan sipil dibatasi oleh TNI.
Menurutnya, pembatasan ini terjadi karena TNI ingin menjaga ekslusivitas keahlian pertahanan yang pada waktu itu, hanya dimiliki perwira-perwira TNI.
Namun, kondisi ini sudah tidak berlaku lagi sekarang.
Saat ini sudah banyak nama-nama kalangan sipil yang terkenal dengan pengetahuannya di bidang pertahanan ataupun militer. Pun sejak reformasi, sudah ada Menhan yang berasal dari sipil.
Beberapa nama seperti Connie Rahakundini Bakrie, Evan A. Laksmana, Andi Widjajanto, dan Jaleswari Pramodhawardan adalah pengamat ataupun akademisi pertahanan-militer yang cukup dikenal oleh publik, baik di level nasional maupun internasional.
Di Kemhan sendiri juga ada sosok sipil yang menjabat posisi strategis Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, yaitu Bondan Tiara Sofyan.
Hambatan kalangan sipil untuk menduduki kursi Menhan juga bisa datang dari kebutuhan TNI.
Hal ini berkaitan dengan TNI yang saat ini mengalami surplus prajurit dan nampaknya membutuhkan sebanyak mungkin pos-pos sipil yang bisa ditempati oleh prajuritnya, termasuk posisi Menhan.
Andi Widjajanto Calon Menhan?
Sejak runtuhnya Orde Baru, Indonesia sudah memiliki enam Menhan. Dari enam orang ini, empat di antaranya berasal dari kalangan sipil.
Hal ini menunjukkan adanya sudut pandang lain bahwa dalam mencari sosok pemimpin Kemhan, kemampuan atau pengetahuan seputar pertahanan bukan satu-satunya kriteria yang dibutuhkan.
Kembali ke UU TNI, disebutkan bahwa anggaran dan administrasi menjadi tugas utama Kemhan di luar kebijakan dan strategi pertahanan.
Dengan demikian, cukup masuk akal jika Menhan berasal dari sosok sipil yang misalnya memiliki latar belakang kuat di bidang manajemen anggaran.
Kebutuhan Menhan dengan kemampuan budgeting yang baik memang diperlukan mengingat anggaran pertahanan yang terus meningkat. Bahkan untuk tahun 2020, Kemhan menjadi kementerian dengan anggaran terbesar, yaitu Rp 127,4 triliun.
Pun beberapa pihak juga sering menyoroti transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran Kemhan.
Sementara untuk kemampuan di bidang kebijakan dan strategi pertahanan, Menhan bisa dibantu oleh pejabat Kemhan lainnya seperti Wakil Menhan, Dirjen, ataupun staf ahli menteri yang latar belakangnya lebih banyak di bidang pertahanan-militer.
Sejauh ini ada beberapa nama yang diisukan akan menduduki kursi Menhan.
Nama-nama ini seperti mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Hendropriyono, mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agum Gumelar, serta tentu saja Andi Widjajanto
Dalam konteks kursi Menhan yang berasal dari sipil, sosok Andi menarik untuk dibedah.
Sejak tahun 2014, Andi sudah disebut-sebut sebagai salah satu sosok yang cocok menjadi Menhan. Kemudian ketika Jokowi melakukan reshuffle pertama kabinetnya pada pertengahan 2015, nama Andi juga diusulkan untuk menggantikan Menhan Ryamizard Ryacudu.
Kemudian ketika dirinya dicopot dari jabatan Seskab, istana dikabarkan menawarinya jabatan Wakil Menhan.
Munculnya nama Andi baik di bursa kabinet 2014 maupun 2019 memang bukan tanpa alasan.
Andi adalah sosok “sipil murni” yang dikenal sebagai akademisi bidang pertahanan dari Universitas Indonesia. Selain itu, modal politik Andi juga cukup memadai.
Andi dikenal memiliki kedekatan dengan Jokowi, PDIP, dan barisan purnawirawan TNI.
Selain karena mantan Seskab, kedekatan ini juga berasal dari sang ayah, Theo Syafei, yang merupakan mantan Panglima Kodam Udayana, Komandan Seskoad, dan politikus senior PDIP.
Koneksi Andi terhadap barisan purnawirawan TNI juga semakin terlihat pada Pilpres 2019, di mana ia juga menjadi Ketua Tim Cakra 19 yang merupakan tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin yang berisikan purnawirawan-purnawirawan TNI.
Dengan pengetahuan, modal politik, dan sosoknya yang sipil murni, Andi dapat menjadi win-win solution bagi kebutuhan akan supremasi sipil dan kepentingan politik Jokowi terhadap Kemhan dan TNI.
Sejauh ini belum ada pejabat pemerintah ataupun politisi yang secara serius membahas kursi Menhan lima tahun ke depan. Menarik untuk ditunggu, apakah Jokowi mampu memperkuat supremasi sipil di periode kekuasannya yang kedua. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.