Dengarkan artikel ini:
Bagaimana jika Indonesia seperti Majapahit, tanpa batas tegas? Apakah itu membawa kejayaan atau justru kehancuran di era global ini?
โLamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Taรฑjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapaโ โ Gadjah Mada, โSumpah Palapaโ dalam Pararaton (1334/1336)
Suatu pagi, Kenny sedang menggulir layar ponselnya di meja makan. Matanya terpaku pada sebuah infografis berwarna cerah yang muncul di berandanya.
โIndonesia lebih mirip Mataram daripada Majapahit,โ demikian judul besar yang menarik perhatiannya. Infografis itu menjelaskan bahwa Majapahit menganut konsep negara Mandala, sebuah sistem yang mengatur hubungan pusat dan daerah secara longgar.
Kenny mengernyitkan dahi. Ia teringat pelajaran sejarah di sekolah, tapi baru kali ini ia mendengar bahwa konsep Mandala mirip dengan sistem federasi yang pernah diusulkan Mohammad Hatta.
โKalau begitu, kenapa kita tidak mencoba jadi negara federasi?โ pikirnya iseng. Ia membayangkan sebuah Indonesia di mana tiap daerah memiliki kebebasan lebih besar untuk mengatur dirinya sendiri.
Imajinasi Kenny melayang jauh. Dalam benaknya, Indonesia yang berbentuk federasi terlihat seperti Majapahit di masa jayanya, di mana berbagai daerah tetap setia meskipun memiliki otonomi luas.
โApa mungkin kita bisa sebesar dan sekuat Majapahit kalau pakai sistem itu?โ gumamnya pelan. Ia membayangkan kemakmuran mengalir dari Sabang sampai Merauke, diikat oleh semangat persatuan yang lebih fleksibel.
Namun, pikirannya kembali membumi. Ia ingat betapa rumitnya politik di Indonesia saat ini, apalagi jika harus mengubah sistem kenegaraan.
Kenny tersenyum kecil sambil menyeruput kopinya yang mulai dingin. Meski hanya sebuah unggahan di media sosial, infografis itu berhasil membawanya ke pertanyaan-pertanyaan besar tentang masa depan negerinya.
Mandala vs Westphalia
Sambil menikmati kopinya, Kenny memutuskan untuk duduk di beranda rumahnya agar bisa menikmati semilir angin dan hangatnya matahari pagi. Di pangkuannya tergeletak buku Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia karya Benedict Anderson yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan.
Ia membuka salah satu halaman yang membahas konsep Mandala dalam politik Asia Tenggara dan Jawa. Menurut Anderson, kekuasaan dalam sistem Mandala tidak berbasis pada batas teritorial yang tegas, melainkan pada hubungan patronase yang fleksibel.
Kenny menggaruk kepalanya, mencoba memahami lebih dalam. โJadi, kerajaan seperti Majapahit itu bukan negara dalam arti modern?โ gumamnya.
Ia membandingkan dengan konsep negara-bangsa ala Westphalia, yang lebih mengutamakan batas wilayah yang jelas dan sistem pemerintahan yang terpusat. Sementara itu, dalam Mandala, pengaruh sebuah kerajaan bisa merentang jauh, tetapi kedaulatan setiap daerah tetap bervariasi.
Mendadak ia teringat perdebatan tentang otonomi daerah di Indonesia. โApakah kita secara tak sadar masih menganut sistem Mandala?โ pikirnya. Ia terbayang bagaimana beberapa daerah memiliki perbedaan besar dalam aturan dan kebijakan dibandingkan pusat.
Namun, Kenny juga menyadari bahwa terlalu longgarnya kontrol pusat bisa memicu ketidakstabilan. โMungkin ada alasan kenapa kita akhirnya lebih memilih sistem negara-bangsa modern,โ katanya pelan.
Ia menutup bukunya sambil menghela napas panjang. Politik memang selalu menarik, tetapi memikirkannya terlalu lama hanya akan membuat kepalanya pening. โLebih baik cari camilan dulu,โ ujarnya sambil bangkit dari kursi.
Sumpah Pemuda Lebih Kuat daripada Sumpah Palapa?
Kenny berjalan menuju dapur, membuka lemari, dan mengambil sekotak biskuit. Sambil mengunyah, pikirannya masih melayang pada konsep Mandala yang tadi ia baca.
Ia memandang layar ponselnya, kali ini mencari artikel tentang globalisasi dan dampaknya pada sistem politik dunia. Jelas bahwa dalam dunia yang semakin terhubung ini, sistem Mandala tidak lagi relevan.
Negara-bangsa modern mengandalkan batas wilayah yang jelas dan sistem pemerintahan yang terpusat untuk menjaga stabilitas. Jika konsep Mandala diterapkan di era globalisasi, negara bisa kehilangan kendali atas wilayahnya sendiri.
Kenny lalu teringat sebuah istilah dalam bahasa Jerman: zeitgeist, yang berarti โroh zaman.โ Setiap era memiliki sistem politik yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zamannya.
Ia kemudian teringat tulisan John J. Mearsheimer dalam โBound to Fail: The Rise and Fall of the Liberal International Orderโ, yang menjelaskan bahwa sistem internasional saat ini tetap bergantung pada negara-bangsa sebagai aktor utama. Upaya untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih longgar tanpa batas teritorial yang jelas justru berujung pada ketidakstabilan global.
Dinamika politik internasional saat ini hampir tidak memungkinkan munculnya konsep negara lain selain negara-bangsa. Hubungan diplomasi, hukum internasional, dan ekonomi global semua berlandaskan sistem ini.
Ia menghela napas dan kembali duduk, menyadari bahwa apapun bentuk Indonesia saat ini, bukan berarti sistemnya buruk. Sebaliknya, sistem yang digunakan adalah hasil adaptasi terhadap zeitgeist yang berlaku.
Para pendiri bangsa memilih negara kesatuan bukan tanpa alasan. Dengan sistem ini, Indonesia dapat menghindari pengaruh besar dari kekuatan luar pada masa awal kemerdekaan.
Kenny menutup kotak biskuitnya dan tersenyum kecil. โMungkin sistem ini bukan yang sempurna, tapi jelas yang paling sesuai dengan zamannya,โ gumamnya sebelum kembali ke bukunya. (A43)