Sebuah video yang berisikan ancaman pemenggalan kepala Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari seorang pria viral di media sosial. Pria tersebut kini telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi serta dijerat dengan pasal makar.
PinterPolitik.com
“They want us to rebel, so that it makes easier for them to kill us and put us in jails” – Joey Bada$$, penyanyi rap asal AS
Video yang berisikan ancaman untuk memenggal Jokowi tersebut direkam dalam demonstrasi di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beberapa waktu lalu. Beberapa demonstran lain juga tampak di hadapan kamera menyoraki pernyataan pria tersebut dan berbicara mengenai harapannya akan perubahan di Indonesia.
Pria berinisial HS tersebut akhirnya dilaporkan oleh Tim Jokowi Mania dan telah ditangkap serta ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi di Kabupaten Bogor. Tidak hanya HS, seorang wanita yang merekam video tersebut juga dilaporkan oleh kelompok tersebut sebagai penyebar video.
Terkait video dan penangkapan HS, Kapolres Kota Tangerang, M. Sabilul Alif, mengunggah responsnya di akun Instagramnya. Melalui unggahan tersebut, Sabilul mengkritik bahwa tindakan pria tersebut berasal dari pengaruh radikalisasi dan mengancam kesatuan Indonesia, serta nilai kebhinekaannya.
Sekarang saya semakin melihat dan percaya, bahwa Negaralah biang kerok terorisme. Agama hanyalah tertuduh yg difitnah. Terorisme dibuat oleh negara untuk kepentingan negara. Agama hanya dijadikan dalih seolah agama permisif atas terorisme padahal negara produsennya.
— #ArahBaru2019 (@Fahrihamzah) May 12, 2019
Selain Sabibul, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Ace Hasan Syadzily, turut berkomentar. Menurutnya, pihak manapun, termasuk Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, perlu menahan diri agar tidak memprovokasi pendukungnya dalam melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan.
Menanggapi pernyatan tersebut, Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, menilai Ace ingin membangun opini dan ketakutan di masyarakat. Menurutnya, hal itu diucapkan agar pihak BPN Prabowo-Sandi turut terseret ke persoalan hukum.
Dari polemik ini, beberapa pertanyaan pun kemudian timbul. Mengapa pria tersebut melontarkan pernyataan ancaman kekerasan tersebut? Lalu, apakah dampak pernyataan tersebut bagi Jokowi? Apakah benar ancaman tersebut benar-benar mengancam Jokowi?
Kekerasan Politik
Ancaman untuk melakukan pemenggalan bisa jadi hanya merupakan ekspresi kekesalan individu tersebut terkait dugaan kecurangan Pemilu dan ketidakpuasannya terhadap Jokowi. Seperti yang dijelaskan oleh Sarah Sorial dalam tulisannya yang berjudul “The Expression of Anger in the Public Sphere”, ekspresi kemarahan sering kali diungkapkan sebagai respon terhadap ketidakadilan.
Namun, pernyataan itu belum tentu diekspresikan sebagai kekesalan kolektif – mengingat Prabowo dan Sandi telah mengimbau para pendukungnya untuk tidak bertindak di luar hukum dan menjaga tutur kata.
Meskipun begitu, dengan semakin ramainya isu dugaan kecurangan Pemilu dan upaya people power di masyarakat, kemungkinan akan ancaman tersebut bisa jadi benar-benar tumbuh.
Menurut Samuel Huntington dalam bukunya yang berjudul Political Order in Changing Societies, kekerasan dalam politik mungkin saja terjadi apabila institusi-institusi politik yang ada tidak memperbolehkan atau tidak memberikan mekanisme pelibatan bagi kelompok yang termobilisasi.
Sejalan dengan penjelasan Huntington, Laia Balcells dalam tulisannya yang berjudul “Political Violence” menyebutkan bahwa institusi – seperti aturan, norma, keyakinan, dan organisasi – memiliki keterkaitan dengan kecenderungan akan terjadinya perilaku sosial, termasuk kekerasan politik. Menurut Balcells, apabila masyarakat merasa puas dan melihat kehadiran inklusivitas dalam institusi, maka potensi kekerasan tidak akan ada.
Dengan ketidakpuasan dan tidak terakomodasinya suatu kelompok masyarakat, tidak menutup kemungkinan metode-metode asimetris – seperti teror – akan digunakan dalam melemahkan pemerintah. Metode-metode tersebut digunakan dalam kondisi asymmetric warfare – di mana kekuatan yang terdistribusi antar-pihak yang berkonflik tidak setara.
Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, kondisi asimetris ini bisa dilihat dari posisi Jokowi sebagai petahana yang punya semua instrumen hukum di belakangnya, sementara hal tersebut tentu saja tidak dimiliki oleh Prabowo.
Namun, bagaimana terbatasnya pengakomodasian oleh institusi politik dapat mengarah pada kekerasan politik dan konflik asimetris?
Apabila masyarakat merasa puas dan melihat kehadiran inklusivitas dalam institusi, maka potensi kekerasan tidak akan ada. Share on XKekerasan politik dan konflik asimetris akibat tidak terakomodasinya suatu kelompok pernah terjadi dalam sejarah. Salah satu yang bersejarah adalah Revolusi Prancis 1789 – revolusi yang diakhiri dengan berbagai eksekusi tokoh politik.
Revolusi yang disebut-sebut sebagai peristiwa penting dalam sejarah dunia tersebut terjadi akibat beberapa faktor. Peter Campbell dari University of Sussex menjelaskan bahwa revolusi ini dimulai dari kesenjangan sosial antar-kelompok di masyarakat yang menguntungkan kelompok bourgeoisie (borjuis) dengan hak-hak istemewanya.
Di samping tumbuhnya gagasan-gagasan baru pada Abad Pencerahan, institusi-institusi politik yang ada juga terlalu berfokus untuk memenuhi kepentingan sosial dan fiskal kelompok elite Prancis. Tiga golongan kawula negara dalam pemerintahan Prancis – golongan pertama (bangsawan), golongan kedua (pendeta), serta golongan ketiga (rakyat biasa) – juga saling terpecah secara politik.
Golongan ketiga pun khawatir bahwa kelompoknya akan kalah dalam pemungutan suara atas reformasi hak fiskal istimewa apabila kedua golongan lainnya menolak. Akibatnya, golongan ini memutuskan kedaulatan nasionalnya sendiri, berupa pembentukan Majelis Nasional.
Kelompok proletar juga turut memperkeruh suasana dengan menginisiasi berbagai keributan dan beberapa metode kekerasan asimetris, yaitu penyerangan terhadap istana-istana bangsawan. Sang monarki, Louis XVI, pun akhirnya tidak dapat mencegah terjadinya revolusi yang pada akhirnya membuatnya dieksekusi mati.
Dengan melihat apa yang terjadi di Prancis pada masa lampau, apakah mungkin potensi kekerasan politik terkait konteks pasca-Pemilu 2019 tumbuh?
Apabila kita perhatikan kembali atas apa yang terjadi di Prancis, titik balik revolusi tersebut terjadi ketika golongan ketiga merasa tidak terwadahi kepentingannya dan membentuk majelis tersendiri.
Bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia, bisa jadi para pendukung Prabowo-Sandi juga merasa tidak terwadahi kepentingannya. Isu dugaan kecurangan Pemilu misalnya, dianggap kurang diberikan respons oleh pihak KPU dan Bawaslu.
Selain itu, berbagai ekspresi gagasan dan pandangan diduga juga terancam dengan berbagai instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari beberapa tokoh oposisi yang diduga mulai dijegal melalui berbagai kasus hukum, seperti dugaan bahwa Kivlan Zen melakukan makar.
Manuver Jokowi?
Namun, bisa saja, kecil kemungkinan kekerasan politik dapat terjadi di Indonesia. Dalam bukunya, Balcells menjelaskan bahwa kekerasan politik juga tidak mungkin terjadi apabila institusi-institusi yang ada bersifat sangat represif, sehingga menutup kemampuan organisasi dan pihak yang hendak mendorong terjadinya kekerasan politik.
Manuver ini bisa dilihat dari bagaimana Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mulai membentuk Tim Asistensi Hukum guna melakukan kajian dan memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum atas berbagai tindakan dan ucapan yang dianggap melanggar pasca-Pemilu 2019.
Beberapa tokoh oposisi juga mulai terjegal berbagai persoalan hukum, seperti Ahmad Dhani dan Bachtiar Nasir. Politisi PAN Eggi Sudjana beberapa waktu lalu juga menjadi tersangka dalam kasus kejahatan terhadap keamanan negara dan makar.
Sejalan dengan berbagai upaya-upaya represif tersebut, kubu Jokowi juga bisa jadi menggunakan isu ancaman pemenggalan dan isu people power yang disebut inkonstitusional untuk mendukung kebijakan represifnya. Kubu Jokowi-Ma’ruf bisa saja memberikan konotasi negatif terhadap kubu Prabowo-Sandi melalui ancaman yang dilihat tidak berlegitimasi tersebut.
Upaya tersebut bisa dijelaskan melalui konsep propaganda transfer atau pengasosiasian. Menurut Magedah E. Shabo dalam bukunya yang berjudul Techniques of Propaganda and Persuasion, propaganda transfer merupakan upaya pengasosiasian akan sesuatu hal terhadap hal atau pihak lainnya.
Pengasosiasian tersebut pun dapat bersifat positif maupun negatif. Terkait upaya untuk menegasikan lawan politiknya, pengasosiasian biasanya dilakukan dengan membentuk citra dan konotasi negatif pada pihak lawan.
Upaya ini pernah dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Dalam beberapa pidatonya, Trump juga menyebut Anti-Fascists (Antifa) sebagai ancaman radikal bagi negaranya. Antifa sendiri merupakan kelompok ekstrem sayap kiri yang memiliki citra negatif akibat berbagai tindakan kekerasannya.
Hampir sama dengan apa yang terjadi di Indonesia, sebuah video berisikan beberapa anggota Antifa, yang melontarkan keinginannya untuk membunuh Trump sempat diungkap oleh Tucker Carlson dalam acara televisinya di saluran FOX News.
Dengan berbagai citra buruk tersebut, Trump akhirnya mengasosiasikan kelompok tersebut dengan partai lawan, yakni Partai Demokrat AS, meskipun hal tersebut belum tentu benar. Asumsi yang ditumbuhkan oleh Trump adalah tumbuhnya gerakan radikal Antifa akan semakin menjadi-jadi apabila Partai Demokrat AS memenangkan Pemilu Sela 2018.
Jika kita melihat apa yang dilakukan Trump di AS, apakah hal serupa juga dilakukan oleh kubu Jokowi-Ma’ruf?
Pengasosiasian ancaman pemenggalan tersebut terhadap hal-hal yang berkonotasi negatif tampaknya bisa dilakukan. Hal ini terlihat dari bagaimana Ace yang menyebut ancaman tersebut sebagai provokasi yang diinisiasi oleh pihak BPN Prabowo-Sandi. Selain itu, Sabilul juga mengaitkan ancaman pria tersebut dengan pengaruh radikalisasi yang mengancam kesatuan Indonesia. Isu radikalisme memang menjadi salah satu serangan kepada kubu Prabowo-Sandi.
Sebelumnya, kubu Jokowi-Ma’ruf telah melakukan propaganda transfer terhadap gerakan people power yang digembar-gemborkan oleh kubu Prabowo-Sandi dalam mengatasi dugaan kecurangan dalam Pemilu 2019. Upaya tersebut terlihat dari bagaimana gerakan tersebut diasosiasikan dengan hal-hal yang berkonotasi negatif, seperti tindakan inkonstitusional, tindakan provokatif, dan tindakan yang mengganggu stabilitas keamanan.
Dengan pengasosiasian tersebut, lirik rapper Joey Bada$$ di awal tulisan pun menjadi relevan. Terbatasnya upaya penyelesaian isu kecurangan Pemilu mendorong masyarakat untuk menjalankan protes pada pemerintah.
Namun, di saat yang sama, pemerintah menggunakan kritik dan protes tersebut sebagai upaya kriminalisasi. Entah akan berapa lagi korban yang akan berlabel tersangka dan terdakwa. Terlepas fakta bahwa ancaman pemenggalan adalah sepenuhnya salah, namun jangan sampai hal tersebut menjadi preseden yang menutupi berbagai persoalan lain. (A43)