Site icon PinterPolitik.com

Ancaman Keamanan Data Pemilu 2019

Ancaman Keamanan Data Pemilu 2019

Penggunaan analisis data pemilih sebagai alat kampanye nyatanya cukup efektif untuk mempengaruhi hasil akhir sebuah Pemilu. (Foto: istimewa)

Pasca pemberitaan tentang aktivitas Cambridge Analytica menyeruak ke permukaan, perdebatan muncul terkait pemanfaatan data pengguna media sosial dan legalitasnya. Akankah hal ini juga akan berdampak pada Pemilu 2019 nanti di Indonesia?


PinterPolitik.com

“Ancaman eksistensial terbesar yang ada di luar sana, saya pikir, adalah siber.”

– Michael Mullen, purnawirawan Laksamana Angkatan Laut Amerika Serikat –

[dropcap]D[/dropcap]alam dua pekan terakhir publik dihebohkan oleh kasus perusahaan bernama Cambridge Analytica yang disebut-sebut “memanen” data sekitar 50 juta akun Facebook di Amerika Serikat (AS) yang digunakan untuk kepentingan politik.

Laporan yang diterbitkan oleh The Guardian menyebutkan bahwa dengan bantuan “kuis kepribadian”, Cambridge Analytica mengambil data dan hasil analisisnya untuk digunakan sebagai strategi kampanye politik, salah satunya untuk memenangkan Donald Trump pada Pemilihan Presiden (Pilpres) AS tahun 2016 lalu.

Melalui analisis data pengguna tersebut, Cambridge Analytica dituduh menyebarkan kampanye atau berita bohong yang mendiskreditkan calon tertentu berbasis preferensi dan kepribadian pemilih. Saat tulisan ini dibuat, whistleblower atau saksi yang membocorkan persoalan ini, Christopher Wylie, sedang memberikan keterangan di hadapan Komite Kebudayaan Parlemen Inggris.

Semuanya berawal dari hasil investigasi Channel 4 News, sebuah program berita dari stasiun berita Inggris Channel 4, tentang kiprah Cambridge Analytica yang ikut membantu pemenangan banyak politisi di seluruh dunia. Bahkan dalam wawancara rahasia dengan petinggi Cambridge Analytica, perusahaan tersebut menyewakan jasa pemenangan Pemilu bahkan dengan cara-cara yang “kotor”. Cara-cara tersebut ditempuh misalnya dengan menciptakan skandal, atau menjebak politisi tertentu yang menjadi lawan politik klien mereka.

Aksi yang disebut ilegal tersebut – walaupun masih diperdebatkan pula hingga saat ini – memiliki dampak yang signifikan dalam mengubah hasil akhir kontestasi politik. Bukan hanya di AS, tetapi juga di banyak negara yang para politisinya menggunakan jasa perusahaan ini. Tercatat ada 10 negara yang disebut-sebut pernah menjadi wilayah kerja lembaga ini.

Menariknya, ada nama Indonesia dalam daftar negara-negara tersebut. Cambridge Analytica disebut-sebut berperan dalam Pemilu tahun 1999 di Indonesia, karena diminta bantuan oleh salah satu partai besar yang tidak disebutkan namanya.

Walaupun baru berdiri pada tahun 2013, nyatanya Cambridge Analytica lewat induknya Strategic Communication Laboratories (SCL) Group telah beroperasi sejak tahun 1990-an. Hal inilah yang menjelaskan mengapa lembaga ini bisa ikut andil dalam politik di tahun 1999. Selain itu, ada indikasi lembaga ini juga ikut andil dalam beberapa Pemilu selanjutnya di Indonesia.

Terkuaknya kasus ini memunculkan spekulasi di sana-sini yang menyebutkan bahwa penguasaan data pemilih melalui media sosial, akan ikut menentukan hasil Pemilu. Pertanyaannya, apakah hal ini juga akan terjadi lagi di Indonesia pada Pemilu 2019 nanti?

Politik Keamanan Data

Dalam dua pekan terakhir, Facebook menjadi perusahaan yang paling disorot terkait kasus keamanan data pengguna. Bahkan, perusahaan yang didirikan oleh Mark Zuckerberg terdampak begitu besar akibat penurunan harga jual saham akibat skandal Cambridge Analytica tersebut. Orang terkaya nomor 5 di dunia versi Bloomberg Billionaires Index tersebut, merugi setidaknya 10 miliar dollar AS atau sekitar 130 triliun rupiah hanya dalam satu minggu akibat kasus ini.

Facebook bahkan dituduh menjual data pengguna ke seluruh dunia, salah satunya kepada konsultan kampanye sekaligus mantan penasehat strategis Donald Trump untuk Pilpres AS 2016 lalu, Steve Bannon.

Bannon adalah orang yang disebut-sebut menjadi penghubung kepentingan Cambridge Analytica dan Trump. Namun, ia membantah dirinya dan Cambridge Analytica menggunakan cara-cara kotor untuk mempengaruhi pemilih. Ia menyebut bahwa Facebook-lah yang selama ini menjual data-data pengguna ke seluruh dunia.

Walaupun masih menjadi pro kontra, terkait pihak mana yang paling bertanggungjawab dalam kasus ini, persoalan ini mendatangkan perdebatan baru terkait pemanfaatan data pribadi untuk kepentingan politik di era kemajuan informasi dan teknologi saat ini.

Beberapa pihak menyebutkan bahwa penguasaan analisis data berbasis internet, sangat membantu politisi atau kelompok tertentu memenangkan kontestasi bernama Pemilu. Selain itu pemungutan suara untuk kebijakan tertentu, katakanlah seperti kasus Brexit di Inggris, juga sangat mungkin dipengaruhi oleh hal ini.

Hingga Maret 2018, tercatat jumlah pengguna Facebook di seluruh dunia mencapai 2,13 miliar, dengan 1,15 miliar di antaranya adalah pengguna harian yang aktif. Jumlah tersebut membuat media sosial ini menjadi yang terbanyak digunakan di seluruh dunia.

Hanya saja,  validasi data pengguna media ini belum tentu sesuai dengan aslinya. Dalam arti, akun buzzer yang menggunakan identitas palsu juga masih marak ditemukan – berbeda dengan data perbankan atau operator seluler. Facebook sendiri mengklaim ada 2-3 persen akun palsu dalam jejaring media sosial ini, dan sekitar 6-10 persen diantaranya merupakan akun duplikat.  Artinya, jika dihitung, terdapat sekitar 270 juta akun yang berpotensi palsu.

Dengan demikian, Facebook memang bisa menjadi media yang mampu mempengaruhi pertarungan politik di suatu negara. Katakanlah jika digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan berita atau infomasi yang punya tendensi politik. Dalam kasus Cambridge Analytica, sebaran informasi yang dilakukan pun telah dikondisikan tepat pada pemilih yang menjadi targetnya. Pada titik ini, politik punya korelasi yang sangat erat dengan keamanan data.

Tetapi, apakah sesederhana itu?

Ancaman di Pilpres 2019?

Tentu pertanyaan terbesarnya adalah, apakah ada relevansi antara kasus yang terjadi di AS dan Inggris ini terhadap Pilpres 2019?

Ancaman terjadinya kasus serupa memang selalu ada, termasuk dalam hal sebaran informasi di media sosial. Namun, menurut Internet Consultant Sjahrazad Alamsjah, masih terlalu jauh untuk menganalisis dampak kasus Cambridge Analytica ini terhadap Pemilu 2019.

Pria yang juga dikenal dengan nama Monchu ini, menyebutkan bahwa terminologi “penyalahgunaan data Facebook oleh Cambridge Analytica” masih menjadi daerah yang bias. Pasalnya, masalah hukum di internet masih merupakan wilayah abu-abu sampai hari ini.

Facebook juga tidak dapat disalahkan dalam kasus ini, karena dengan jelas mencantumkan Term Of Use dan Privacy Policy mereka, bahwa semua data pengguna memang akan digunakan oleh Facebook dan pihak ketiga untuk kegiatan penelitian, marketing, iklan, dan lain-lain.

Untuk diketahui, Cambridge Analytica mendapatkan data pengguna Facebook dengan bantuan professor psikologi dari Universitas Cambridge Aleksandr Kogan. Kogan membuat aplikasi “kuis kepribadian” yang menjadi jalan masuk diambilnya data-data pengguna media sosial tersebut.

Artinya, menurut Monchu, tidak ada yang dapat disalahgunakan karena data pribadi yang diisi oleh pengguna Facebook sama sekali bukan atas paksaan Facebook, melainkan atas kemauan pengguna sendiri. Apa yang dilakukan oleh Cambridge Analytica, tambah Monchu, justru merupakan model bisnis dari Facebook itu sendiri.

Hal ini dengan sendirinya membenarkan pernyataan Steve Bannon, bahwa Facebook memang “membisniskan” data pengguna mereka – hal yang menjadi bagian dari identitas bisnis perusahaan tersebut.

Selain itu, Monchu juga mengatakan bahwa model penelitian Cambridge Analytica, yakni behavioral micro targeting (penelitian berdasarkan perilaku mikro), nyatanya berbeda antara budaya di Barat dengan budaya di Asia, sehingga belum tentu memiliki efektifitas yang sama.

Asia dengan budaya yang lebih bersifat kolektif dan paternalistik, seperti di Indonesia misalnya, orang yang tidak suka dengan mobil antik bisa saja menekan tombol “like” di grup mobil antik, bila yang memposting itu teman dekatnya. Sementara di Barat, dengan budaya individunya yang tinggi, hal seperti itu cukup sulit terjadi.

Dengan demikian, secara teoritis, kasus Cambridge Analytica juga tidak relevan untuk dibandingkan dengan pengaruh internet atau media sosial menjelang Pemilu 2019. Selain itu, berbeda dengan budaya di Barat pada umumnya, di Indonesia faktor penentu yang mempengaruhi jalannya suatu proses politik adalah keberadaan “tokoh panutan” – katakanlah saat ini, Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Menurut Monchu, hal inilah sebetulnya kunci utama politik domestik Indonesia. Selanjutnya, “perkawinan” antara tokoh panutan dengan strategi kampanye baik online maupun off-line itulah yang akan berpengaruh besar.

Jika demikian, apakah yang bisa dipelajari dari kasus Cambridge Analytica ini? Yang jelas, pemanfaatan data pemilih mempunyai korelasi terhadap hasil Pemilu. Apabila dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka tokoh tertentu berpeluang memenangkan kontestasi politik dengan strategi kampanye yang tepat sasaran. Pertanyaan selanjutnya, siapakah yang lebih kuat memanfaatkannya di Pemilu 2019 nanti? (S13)

Exit mobile version