Setelah menjadi “anak bola” dengan menjadi Ketum PSSI, Erick Thohir kini menjadi “anak rohis” setelah dipercaya menjadi Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Berkat berbagai lobi dan manuvernya, Erick tampak terus meningkatkan daya tawar politiknya meski gagal maju di Pilpres 2024.
Setelah secara resmi masuk ke struktur kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU), Erick Thohir tampaknya memiliki prospek karier politik yang cerah ke depan. Terutama dengan “saldo” tabungan dan investasi sosiopolitiknya.
Pekan lalu, Erick diberikan kepercayaan sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dirinya menggantikan posisi KH Ulil Abshar Abdalla.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya mengatakan Lakpesdam dicanangkan menjadi “Bappenas-nya” organisasi massa Islam itu di bawah kepemimpinan Erick.
Gus Yahya menyebut frasa “teknokrasi” dalam pernyataannya terkait posisi Erick di kepengurusan PBNU dan mengatakan sang Menteri BUMN memiliki pengalaman dan track record kinerja positif yang relevan.
Dengan resmi menjadi “anak rohis”, predikat Erick tampaknya kian lengkap. Sebelumnya, Erick menjadi “anak bola” setelah menjadi Ketum PSSI, “anak event” saat mengkoordinir pagelaran Asian Games 2018, hingga “anak basket” saat menjadi sosok di balik kesuksesan klub Satria Muda.
Selain predikat “anak politik” berkat kepiawaiannya saat sukses menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019, dirinya juga merupakan “anak bisnis” sejati bersama Mahaka Group.
Kembali ke predikat barunya sebagai “anak rohis”, satu pertanyaan mengganjal kiranya mengemuka, yakni mengapa PBNU mempercayakan posisi itu kepada Erick yang notabene memiliki irisan politik praktis, termasuk di Pemilu dan Pilpres 2024? Bukankah PBNU telah menegaskan ketidakberpihakan politik mereka?
Simbiosis Baru, Erick-NU?
Erick merupakan aktor yang pangkalnya adalah produk politik Reformasi. Saat Orde Baru (Orba), sistem patronase menempatkan konglomerat sebagai klien atau subordinat dan tak leluasa masuk ke dalam politik.
Atas nama kebebasan politik dan demokrasi, Reformasi kemudian membuka jalan bagi para pemilik kapital besar untuk masuk ke gelanggang politik.
Dan saat berbicara politik, terdapat irisan di antara entitas maupun aktor politik dengan entitas pemilik basis massa seperti organisasi kemasyarakatan (ormas).
Spesifik pada case NU, mereka selalu menjadi magnet bagi para entitas maupun aktor politik tadi untuk me-relate-kan diri dengan ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut. Baik secara langsung, maupun klaim tertentu.
Saat ceruk suara menjadi kepentingan para entitas maupun aktor politik, aspek suntikan yang bersifat materiil terkadang menjadi bentuk simbiosis yang diterima oleh NU maupun perpanjangan tangan mereka seperti pesantren-pesantren.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Tiket Pilpres Erick Ada di NU?, disebutkan bahwa untuk mendapatkan suara NU, praktik yang kerap dilakukan adalah mendekati pondok-pondok NU di daerah. Bukan hanya sekadar menampilkan gestur sebagai bagian dari NU.
Afirmasi atas postulat tersebut terlihat dari strategi yang sempat dilakukan oleh Ketum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Greg Fealy dalam Nahdlatul Ulama and the politics trap menyebut menjelang Pemilu 2014, Cak Imin khawatir PKB tak mampu memenuhi ambang batas parlemen 3,5 persen. Dia kemudian merancang dua strategi untuk mengamankan dukungan NU.
Pertama, Cak Imin disebut “mengikat” NU dengan penyaluran dana dan aset. Seluruh kader PKB yang duduk di DPR maupun DPRD diinstruksikan untuk memberikan dana bulanan rutin kepada NU untuk keperluan administrasi.
Posisi para kader di legislatif juga disebut digunakan untuk merengkuh dana bagi program sosial dan keagamaan NU. Bahkan, di bawah komando Cak Imin, PKB juga menjamin jika partai dibubarkan, maka semua asetnya akan dilimpahkan ke NU.
Kedua, Cak Imin sukses merangkul pengusaha kaya yang dapat mendanai program pemilunya di sejumlah komunitas NU di daerah pemilihan (dapil) PKB di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Secara spesifik, Fealy menyebut nama pemilik Lion Air, Rusdi Kirana, yang berhasil dibujuk masuk partai dan menjadi wakil ketua umum partai.
Menurut Fealy, resultan dari dua strategi tersebut terlihat dari dukungan simbolis Said Aqil Siradj maupun Ma’ruf Amin kepada PKB. Tak hanya itu, di Pemilu 2014 banyak pula kiai NU yang secara terbuka mendukung PKB.
Namun, saat ini Cak Imin dan NU diketahui tak lagi mesra seperti di masa lalu. Gus Yahya kerap terlibat ketegangan dengan Cak Imin yang kemungkinan karena perbedaan visi pribadi.
Penjelasan di atas kiranya dapat menjadi lentera untuk melihat secara jelas masuknya Erick ke struktur PBNU, sekaligus dapat menjawab mengapa NU memberikan panggung bagi sosok yang memiliki probabilitas kepentingan politik.
Satu hal yang menarik, predikat Erick lebih relevan disebut sebagai konglomerat, bukan warga NU “tulen”.
Saat mencari benang merah kedekatan Erick dengan NU di bawah kepemimpinan Gus Yaqut, kemungkinannya tak lain, adalah untuk mengisi simbiosis dengan aktor seperti Cak Imin, PKB, dan sosok seperti Rusdi Kirana yang “hilang”.
Lalu, jika interpretasi motif NU demikian, bagaimana dengan motif dan kepentingan Erick?
Investasi Politik Erick 2029?
Sebelum puncak kemesraan Erick dengan masuk ke struktur kepengurusan PBNU, keduanya telah menjalin pendekatan sejak Menteri BUMN itu menjadi Ketua Pengarah Panitia Peringatan Satu Abad NU pada Februari 2023 lalu.
Erick juga menjadi aktor utama yang mengaktualisasikan ide Gus Yahya untuk membentuk Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama (BUMNU).
Menurut Ketua Tanfidziyah PBNU Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat, Alissa Wahid, Erick berjanji BUMNU akan mendapat suntikan dana dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang meliputi BNI, BTN, Bank Mandiri, dan BRI.
Gelagat itu setidaknya membuat interpretasi di bagian sebelumnya menemui relevansinya.
Lalu, frasa “simbiosis” di sisi Erick sendiri agaknya tak akan jauh dari “investasi” bagi karier politiknya ke depan.
Dengan menjadi bagian dari NU secara organisasi, predikat “anak” segalanya kiranya bisa menjadi keuntungan dan peningkatan daya tawar politik.
Sebagaimana yang terjadi di realita politik Indonesia, restu maupun dukungan pertama dan utama bukanlah simpati rakyat, melainkan dukungan para elite.
Dengan kapitalisasi basis massa seperti dari ceruk pengusaha, audiens sepak bola, hingga warga NU, Erick kiranya tengah membentuk impresi diri sebagai sosok yang paling potensial di kontestasi elektoral yang akan datang.
Muaranya, mungkin saja ekspektasi Erick adalah para entitas dan aktor politik yang “mencari” dirinya, bukan sebaliknya, seperti yang tampak terjadi jelang penentuan cawapres 2024 di mana Erick sempat masuk bursa cawapres.
Akan tetapi, jabatan Ketum PSSI dan Menteri BUMN yang menjadi instrumennya mendapat predikat “anak” apa saja tak akan digenggam selamanya. Oleh karena itu, Erick membutuhkan lobi politik lain untuk memperpanjang konsesi jabatan seksi tersebut demi keleluasaan manuvernya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)