“A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.” – John C. Maxwell
Pinterpolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]eda pendapat tentunya menjadi hal biasa dalam sebuah komunikasi. Beda pendapat hingga membuat gaduh, baru menjadi suatu hal yang mengganggu. Perseteruan ini kerap terjadi dalam tubuh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Para menteri atau pimpinan lembaga pemerintah tersebut sering silang pendapat yang berujung pada keributan.
Yang terbaru, perseteruan ini lahir dari Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) dan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Adu mulut ini dipicu oleh persoalan impor beras. Enggar menginginkan impor beras, sedangkan Buwas menolak impor bahan pokok tersebut.
Kepemimpinan Jokowi dicap lemah karena sering terjadi kegaduhan di antara bawahannya. Share on XBagi Enggar, impor beras diperlukan untuk mengantisipasi kekosongan pasokan beras saat ini. Sedangkan Buwas menilai kalau stok beras cukup untuk mengisi kebutuhan nasional.
Perseteruan yang masih dalam satu lingkup koordinasi ini bagi publik tentu sangat menggelikan, dan tentunya menimbulkan pertanyaan. Kenapa Bulog sebagai operator pengadaan barang berbeda pendapat dengan regulator yakni Kementerian Perdagangan?
Jika dilihat secara seksama, ada semacam miskomunikasi yang terjadi dan berkembang menjadi perseteruan terbuka. Apakah hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Jokowi tidak solid, dan dengan sendirinya menunjukkan adanya kelemahan pada kepemimpinan sang presiden?
Perseteruan Anak Buah, Bukti Lemahnya Jokowi
Persoalan perbedaan data memang selalu menjadi pangkal dari ribut-ribut soal pangan. Polemik data pangan ini terjadi hampir setiap tahun.
Ada empat data terkait dengan persedian beras nasional yang dipertentangkan, pertama dari Kementerian Pertanian, kemudian dari Kementerian Perdagangan, lalu data dari Bulog, dan terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS). Keempat data tersebut seringkali berbeda satu sama lain. Sehingga untuk menentukan ketersedian beras sulit diukur secara pasti.
Dengan perbedaan data dari tiap kementeriann ini pada akhirnya akan merugikan masyarakat sebagai konsumen dan mengindikasikan tidak terciptanya ketahanan pangan.
Persoalan impor beras yang ramai saat ini sebetulnya adalah hasil dari rapat koordinasi sebelum Buwas duduk sebagai Dirut Bulog. Asumsi impor beras ini adalah karena adanya kemerosotan produksi beras lokal sebagai akibat dari alih fungsi sawah yang kian masif. Penambahan kuota impor itu telah dibahas pada saat rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian April lalu, jauh sebelum Buwas menjabat.
Sementara itu, saat ini Buwas berargumen kalau izin impor 2 juta ton terlalu banyak, karena cadangan beras Bulog hingga saat ini mencapai 2,4 juta ton dan diyakini cukup sampai Juni 2019.
Sementara itu, kuota impor yang telah disepakati sebesar 2 juta ton, telah direalisasikan sebesar 1,4 juta ton, sehingga masih ada selisih sebesar 600 ribu ton. Jika Bulog mengatakan ada jumlah stok sebesar 2,4 juta ton dan hal itu mampu menutupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, maka seharusnya tidak perlu impor lagi.
Oleh karena itu, perlu dipertanyakan, urgensi apa yang menyebabkan Kementerian Perdagangan, dalam hal ini Engartiasto Lukita sebagai menteri, memerintahkan untuk impor beras. Patut dipertanyakan adanya pengambilan kebijakan terkait impor beras yang tidak kuat, dan wajar jika kemudian ada dugaan penunggangan kepentingan.
Perseteruan antara Buwas dan Enggar ini kemudian menyeret dua partai yang berada di gerbong pemerintahan Jokowi: PDIP dan Nasdem. Enggar sendiri adalah menteri yang berasal dari Nasdem.
PDIP yang notabene berkoalisi dengan Nasdem, nyatanya mendukung pernyataan Buwas. Hal itu dilontarkan oleh kadernya yang menjabat sebagai anggota Komisi IV DPR Ono Surono, yang menyebut kalau Enggar menutup mata dari fakta di lapangan terkait cadangan beras.
Pernyataan Ono ini menguatkan pendapat ekonom senior Rizal Ramli yang menyebut kalau Enggar tidak becus mengelola Kementerian Perdagangan, dan Rizal mensinyalir ada praktik kartel di bidang pangan tersebut.
PDIP dan Nasdem yang terkesan ikut terlibat dalam perseteruan ini memberikan gambaran ketidakharmonisan Koalisi Indonesia Kerja itu. Pada akhirnya kepemimpinan Jokowi mendapatkan sorotan.
Sebagai presiden tentu ia tidak bisa menutup mata dengan adanya perselisihan di lingkungan bawahannya tersebut. Sering terjadinya adu argumen ini bisa dilacak bahkan sejak awal saat pertama kali Jokowi menjabat sebagai orang nomor satu di republik ini. Dalam konteks kepemimpinannya, patut dipertanyakan kenapa akhirnya sering terjadi kegaduhan yang bisa merugikan soliditas pemerintahannya.
Jika menggunakan bahasa Rizal Ramli yang bertanya: “Ke mana orang tua ketika anak-anaknya sedang bertengkar”, ada dua kemungkinan. Yang pertama adalah karena memang orang tuanya tidak tahu, atau yang kedua, orang tuanya tidak punya wibawa sehingga anaknya kerap bertengkar.
Jika alasannya yang pertama, maka ada yang salah dari komunikasi yang terjadi di tubuh keluarga, dalam hal ini pemerintahan Jokowi.
Kemudian alasan lain adalah karena Jokowi tidak memiliki wibawa, artinya ia tidak memiliki ketegasan untuk mengatur sikap dan langkah bawahannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari politikus partai Gerindra Abdul Wachid. Wachid menyebut jika Jokowi tidak memiliki ketegasan dalam memimpin kabinetnya. Lebih lanjut Abdul menilai bahwa bawahannya itu lebih patuh terhadap partai dibandingkan dengan dirinya.
Enggar sebagai politikus partai, nampaknya lebih patuh terhadap partai, ketimbang terhadap Jokowi. Kondisi ini mengafirmasi bahwa legitimasi partai politik di Indonesia sangat kuat.
Apalagi sudah banyak pihak yang menyebut kalau ada beberapa “matahari” – sebutan untuk patron politik – di balik Jokowi. Ia sebagai pemimpin yang lahir bukan dari kalangan militer dan elite partai sulit mendobrak praktik oligarki politik di Indonesia.
Ciri oligarki yang sering memaksakan kepentingan elite, membuat Jokowi memiliki pilihan yang terbatas dan pada akhirnya tidak bisa berbuat banyak. Hal itu tercermin dari seringnya menteri atau pimpinan lembaga lainnya yang tidak patuh terhadap Jokowi, salah satunya tentu saja dalam kasus kebijakan Enggar terkait impor beras.
Menghadapi isu pelemahan rupiah dan sebagai upaya mendorong perekonomian yang kian memburuk, tentunya kebijakan impor beras sangatlah kontraproduktif. Apalagi Jokowi sudah menyatakan akan menyetop keran impor untuk berbagai macam komoditas.
Ketidakpatuhan ini pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa Jokowi sebagai pemimpin negara lemah di hadapan pembantu-pembantunya. Seperti yang ditulis oleh Barbara Kellerman dalam bukunya The End Leadership bahwa yang terjadi pada Jokowi adalah adanya ketidakmampuan untuk memahami dan memimpin (incompetent to the point of being inept).
Faktanya, dalam demokrasi, oligarki tidak berjalan di permukaan. Ia tak terlihat, namun bekerja dengan efektif. Kekuatan ini nampaknya tidak mampu dilawan oleh Jokowi dan pada akhirnya pria kelahiran Solo itu mengalah kepada keadaan.
Berdampak Buruk Untuk Jokowi
Seperti jerami yang diberi minyak, polemik beras impor juga punya nuansa yang sama, mudah terbakar jika diberi api. Jika isu ini terus-menerus diproduksi dan tidak segera diselesaikan, maka akan memberikan efek negatif bagi Jokowi.
Persoalan impor beras ini akan menyeret Jokowi ke ranah yang lebih jauh bagi kepentingan politisnya. Masalah ini bisa mempengaruhi persepsi publik terhadap pemerintahannya saat ini dan akan menurunkan elektabilitas dirinya. Tentu saja itu menjadi preseden buruk sebagai petahana yang akan tampil lagi pada Pilpres 2019.
Hal ini seperti yang juga dicermati oleh Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio. Ia mengingatkan agar Jokowi segera menyelesaikan masalah ini karena jika dibiarkan berlarut-larut akan mempengaruhi suara dukungannya dari kelompok petani.
Jokowi bisa saja kehilangan suara dari petani karena mereka tidak percaya dengan pemerintahannya terkait kebijakan impor beras. Secara umum, polemik ini juga akan memberikan efek negatif dari masyarakat yang merasa sistem manajerial Jokowi buruk karena gagal mengendalikan bawahannya.
Nampaknya tugas Jokowi sebagai petahana bertambah satu lagi, yakni membuat “anak-anaknya” akur, agar tidak menimbulkan kegaduhan dan dicap jelek sebagai kepala keluarga. Apakah ini menunjukkan Jokowi powerless atau lemah? Semuanya akan kembali pada penilaian masyarakat. (A37)