Dua petinggi PAN, Amien Rais dan Zulkifli Hasan tampak memiliki pandangan berbeda terkait dengan wacana rekonsiliasi pasca Pilpres 2019. Hal ini kemudian membuat negosiasi terkait hal tersebut menjadi alot.
Pinterpolitik.com
Teka-teki tentang kohabitasi atau kumpul kebo (kumbo) politik pasca Pilpres 2019 tampak masih belum bisa terungkap sepenuhnya. Salah satu partai yang masih beleum menentukan sikap adalah PAN, yang pada Pilpres lalu berada di gerbong Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais sebagai pendiri partai tampak memiliki pandangan tersendiri terkait dengan wacana kumpul kebo ini. Menurutnya, rekonsiliasi boleh saja terjadi asalkan ada pembagian kursi dengan proporsi 55-45 antara partai pendukung Jokowi dan Prabowo.
Meski demikian, pernyataan Amien tersebut ternyata ditanggapi berbeda oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Ketua MPR tersebut menyatakan bahwa PAN menghormati Jokowi sebagai pemenang dan berharap agar kepemimpinannya sukses. Ia menyebut bahwa tak ada syarat-syarat khusus yang diajukan PAN kepada Jokowi dalam pembicaraan pasca Pilpres.
Kader-kader PAN tampak memiliki respons beragam terkait dengan pernyataan dua sosok elite partai matahari ini. Ada yang mengambil sisi yang sama dengan Amien, ada pula yang menganggap pernyataan Zulkifli adalah sikap resmi partai.
Terlihat bahwa ada dua sikap berbeda dari dua petinggi PAN dalam menyikapi wacana kumpul kebo politik saat ini. Lalu mengapa perbedaan sikap ini dapat terjadi?
Alotnya Komunikasi
Alot. Itulah kata-kata yang dapat digunakan untuk menggambarkan wacana kumpul kebo politik pasca Pilpres 2019 belakangan ini. Meski dua kutub utama, yaitu PDIP dan Gerindra, tampak hubungannya telah mencair, hal ini belum sepenuhnya berlaku untuk partai-partai dan kelompok lain di sekeliling mereka.
Istilah alot ini barangkali tepat untuk menggambarkan sikap Amien Rais dalam menanggapi wacana kumpul kebo politik tersebut. Saat beberapa tokoh dan partai mulai membuka jalur komunikasi, mantan Ketua MPR tersebut malah menimbulkan pembicaraan baru dengan mengajukan syarat 55-45.
Sayangnya, sikap alot Amien ini ternyata tak sepenuhnya sejalan dengan Zulkifli Hasan sebagai pemimpin tertinggi eksekutif PAN. Alih-alih memberikan syarat berat seperti Amien, Zulkifli justru menyatakan bahwa PAN menghormati pemerintahan Jokowi dan tak mengajukan syarat khusus.
Perbedaan sikap ini sebenarnya bukan kali ini terjadi pada dua sosok elite PAN tersebut. Jauh sebelum wacana kumpul kebo politik ini mengemuka, keduanya tampak memiliki aspirasi yang tak sepenuhnya sama dalam menentukan langkah menuju pencapresan.
Zulkifli misalnya sempat bersikap lebih lunak tatkala dihadapkan pada wacana pencapresan Jokowi. Meski tak pernah benar-benar mengumumkan secara luas dukungannya kepada Jokowi, Zulkifli masih membuka jalan jika terjadi komunikasi di antara kedua belah pihak.
Sementara itu, Amien berada dalam kubu yang lebih ekstrem. Pendiri PAN tersebut bersikap lebih tegas dengan menolak partainya bergabung dengan koalisi Jokowi. Ia sejak jauh-jauh hari memang lebih cenderung mendukung rival abadi Jokowi, yaitu Prabowo.
Rangkaian perbedaan sikap antara Amien dan Zulkifli ini sebenarnya tergolong unik karena relasi keduanya tak hanya terjadi melalui partai, tetapi juga melalui hubungan pribadi sebagai besan. Oleh karena itu, penting untuk ditelusuri mengapa keduanya bisa terus-menerus berbeda dalam menentukan keputusan partai.
Dinamika Intra-partai
Di atas kertas, penentuan langkah koalisi suatu partai politik seharusnya dapat diambil dengan mudah oleh pimpinan partai. Meski demikian, dalam beberapa kasus, perilaku koalisi atau coalitional behavior suatu partai ini tak berlaku sesederhana itu.
Menurut Helene Helboe Pedersen dalam How intra-party power relations affect the coalition behaviour of political parties, ada unsur distribusi kekuatan dalam partai yang dapat mempengaruhi perilaku koalisi suatu partai. Oleh karena itu, sikap partai dalam menentukan koalisi kerap kali tidak bersifat tunggal.
Pedersen menggambarkan bagaimana distribusi kekuatan di internal partai kerap kali melepaskan sejenak hal-hal ideal dalam kebijakan, untuk berpartisipasi dalam koalisi dan mendapatkan pengaruh dalam kebijakan tertentu.
Distribusi kekuatan antara Amien Rais dan Zulkifli Hasan membuat potensi bergabungnya PAN dalam rekonsiliasi menjadi alot Share on XPartai dengan kekuatan yang terdistribusi ini kemudian menjadi lebih kuat dalam hal negosiasi koalisi. Hal ini berbeda dengan partai yang lebih tersentralisasi karena potensi konflik intra-partai lebih kecil kemungkinannya terjadi dalam partai ini.
Dalam beberapa kasus, perbedaan sikap elite-elite ini juga sering kali terkait dengan klientelisme di dalam internal partai. Meski dalam konteks PAN tak ada konflik antara Amien dan Zulkifli, jika melihat dinamika di dalam partai, tampak ada kader yang memilih berpihak pada salah satu dari antara keduanya.
Hal tersebut sejalan dengan pandangan Nahomi Ichino dan Noah L. Nathan dari Harvard University yang menggambarkan adanya klientelisme dalam konflik intra-partai.
Distribusi Kekuatan
Merujuk pada kondisi tersebut, relasi kekuatan di internal PAN boleh jadi adalah salah satu hal penting dalam penentuan sikap mereka terkait dengan kumpul kebo politik. PAN sebenarnya boleh jadi mengalami distribusi kekuatan antara Amien dan Zulkifli. Oleh karena itu, wajar jika Amien dan Zulkifli memiliki sikap berbeda, sehingga tak heran PAN hingga saat ini masih belum kelihatan jelas sikapnya.
Di satu sisi, Zulkifli bisa jadi memang memegang kekuasaan tertinggi eksekutif partai. Secara struktural, ia tergolong memiliki kekuatan mumpuni karena seluruh kader lebih mudah dikendalikan melalui berbagai kebijakan resmi partai.
Meski demikian, Amien sendiri tak bisa dianggap remeh di lingkaran internal PAN. Sebagai pendiri, ia masih sangat berpengaruh di mata beberapa kader PAN. Tak hanya dari sisi histori pendirian PAN, pengaruh Amien juga bersumber dari jejaring yang ia miliki secara pribadi.
Dalam dokumen yang disunting oleh Richard J. Leitner dan Peter M. Leitner berjudul Unheeded Warnings, digambarkan bahwa Amien memiliki kedekatan dengan kelompok-kelompok Islam dunia seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan kelompok Islam di Moro, Filipina. Amien sendiri tergolong ke dalam sosok pendiri PAN yang konsisten dalam garis Islam, meski PAN saat berdiri mencoba lebih inklusif.
Di satu sisi, Amien bisa memiliki kekuatan tersendiri dengan kelompok Islam di internal PAN yang bisa menjadi kliennya. Di sisi yang lain, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut juga bisa membangun relasi dengan kelompok Islam di luar partai. Hal ini terlihat interaksinya dengan kelompok Islam konservatif seperti Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama.
Pada titik ini, Amien tak hanya punya daya tawar internal partai, tetapi juga daya tawar dalam eksternal partai. Hal ini menurut Pedersen menjadi salah satu faktor yang juga mempengaruhi perilaku koalisi suatu partai.
Oleh karena itu, selain Amien sudah mendapatkan distribusi kekuatan yang kuat di internal, ia boleh jadi juga harus mendistribusikan kekuasaan yang ada dengan jejaring yang ia miliki tersebut. Amien memiliki klien-klien tersendiri yang sebenarnya dapat memberi pengaruh dalam keputusan koalisi PAN, meski secara struktur tak punya posisi formal.
Merujuk pada kondisi tersebut, wajar bahwa meski Amien tak duduk dalam posisi tertinggi eksekutif partai, ia tetap memiliki kekuatan tersendiri. Amien tetap merupakan sosok penting dalam hubungan kekuatan intra-partai dalam menentukan perilaku koalisi. Oleh karena itu, wajar misalnya sosok seperti Amien dapat membuat alot kumpul kebo politik yang dinanti beberapa pihak.
Patut ditunggu bagaimana kekuatan Amien di PAN ini nantinya akan bermain dalam wacana kumpul kebo politik dalam beberapa waktu ke depan. Yang jelas, jika kekuatannya tak diakui, boleh jadi Zulkifli dan pihak-pihak lain yang terlibat termasuk Jokowi sendiri, tak akan mampu melunakkan alotnya negosiasi. (H33)