Perseteruan Amien Rais dan elite PAN memasuki babak baru. Amien Rais mengaku dipecat oleh kadernya sendiri di PAN. Tak lama kemudian muncul wacana yang menyebut Ia akan mendeklarasikan partai baru. Dengan Amien yang didepak dari partainya sendiri, mungkinkah ini adalah indikasi karier politik Bapak Reformasi tersebut telah memasuki fase akhir?
Pada tahun 1983, co-founder Apple Inc, Steve Jobs merekrut CEO PepsiCO, John Sculley untuk bergabung ke perusahaan teknologi yang Ia dirikan. Jobs terpesona dengan kemampuan Sculley dalam membangun citra brand Pepsi di tengah perang minuman ringan atau Cola Wars.
Saat itu, Jobs merayu Sculley dengan kata-kata terkenalnya, “Kamu ingin menjual air bergula sepanjang hidupmu? Atau ikut denganku dan mengubah dunia”. Lewat tangan dingin Sculley, Jobs berharap Apple akan semakin dikenal publik dan meningkatkan penjualan.
Sayangnya, romansa Jobs dan Sculley hanya berlangsung sesaat. Ia terlibat perselisihan dengan orang yang Ia rekrut sendiri ke perusahaannya.
Perselisihan ini berawal ketika Sculley, yang saat itu sudah menjabat sebagai CEO Apple, memindahkan Jobs dari divisi pengembangan komputer Macintosh. Keputusan ini diambil Sculley lantaran Lisa, komputer pertama Apple yang menggunakan graphical user interface (GUI) ciptaan Jobs gagal di pasaran.
Tak terima dengan langkah Sculley, Jobs memutuskan hengkang dari Apple. Jobs mengaku dipecat oleh Sculley, sementara Sculley mengaku Jobs mengundurkan diri secara sukarela. Jobs kemudian mendirikan perusahaan baru bernama NeXT setelah keluar dari perusahaan yang berbasis di Coupertino, California, Amerika Serikat tersebut.
Meski pada akhirnya Ia kembali dan berkarier di Apple hingga ujung hayatnya, namun kisah keluarnya Jobs dari perusahaan yang Ia dirikan sendiri mengindikasikan bahwa status sebagai ‘pendiri’ tak serta merta menjamin kepemimpinan dan pengaruh seseorang di suatu organisasi akan abadi.
Hipotesis inilah yang agaknya sedang dihadapi oleh Bapak Reformasi sekaligus tokoh sentral Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais. Drama perseteruan Amien dengan PAN termasuk Ketua Umumnya, Zulkifli Hasan (Zulhas) kembali memanas.
Pasalnya, Amien tak menampakkan batang hidungnya di acara hari ulang tahun PAN beberapa waktu lalu. Ia bahkan mengaku sudah dipecat dari partai berlambang matahari itu oleh kadernya sendiri, pernyataan yang belakangan dibantah oleh elite PAN.
Kemelut pun semakin memanas setelah terjadi saling sindir antara Amien dan elite PAN, termasuk sang menantu Zulhas, hingga puncaknya muncul wacana yang menyebut Amien akan mendirikan partai baru pada Desember mendatang.
Perseteruan Amien vs Zulhas dan elite PAN sebenarnya bukan baru kali ini saja terjadi. Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) terpilih menjadi presiden pada 2014 lalu, Amien kerap melontarkan kritik keras ketika partai yang Ia bangun itu mulai ‘lengket’ dengan koalisi pemerintah. Ia memang konsisten dan paling vokal menginginkan PAN berada di sebrang Istana.
Lantas pertanyaannya, mengapa Amien, sosok yang dianggap sebagai personalisasi dari PAN, terlihat tak lagi berdaya menentukan arah partai? Apakah pengaruh Amien di PAN sudah tak lagi diakui kader-kadernya? Jika iya, apa kira-kira penyebabnya?
Etika Berargumen Amien
Harus diakui, inovasi dan kepemimpinan Steve Jobs memang menjadi salah satu kunci kesuksesan Apple saat ini. Banyak yang mengaitkan gaya kepemimpinan Jobs dengan konsep transformational leadership.
Scott E Bryant dalam tulisannya yang berjudul The Role of Transformational and Transactional Leadership in Creating, Sharing and Exploiting Organizational Knowledge mengatakan bahwa transformational leadership menciptakan suasana yang kondusif untuk inovasi, berbagi, dan eksploitasi pengetahuan. Pemimpin yang menggunakan konsep ini mengandalkan kharisma dalam memotivasi bawahannya untuk menciptakan dan berbagi pengetahuan.
Dalam konteks Amien Rais, harus diakui, Ia adalah pemimpin dan pendiri partai yang kharismatik. Faktanya, sejarah mencatat nama Amien karena kiprahnya menjadi sang lokomotif gerakan Reformasi 1998.
Tak hanya itu. Ketika masih dikomandoi oleh Amien, PAN pernah menjadi pelopor terbentuknya kekuatan poros tengah di parlemen yang berhasil menempatkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, rasanya tak berlebihan jika kita menyandingkan Amien sebagai sosok transformational leader layaknya Steve Jobs.
Akan tetapi, baik Jobs maupun Amien bukanlah sosok pemimpin tanpa cela. Meski banyak dielu-elukan, tak sedikit juga yang mengkritik gaya kepemimpinan Jobs.
Lee Butcher dalam bukunya yang berjudul Accidental Millionaire: The Rise and Fall of Steve Jobs at Apple Computer berpendapat bahwa Jobs memiliki sifat perfeksionis berlebihan yang menjadikan dirinya intoleran dan terlalu terpaku pada diri sendiri.
Namun, terlepas dari kekurangannya itu, Jobs tetaplah berhasil mempertahankan gelarnya sebagai the public face of Apple.
TJ Walker dalam tulisannyayang berjudul Why Steve Jobs Was The Ultimate Communicator menilai Jobs memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik. Ia mampu berbicara dengan penuh semangat dan membuat ide-idenya dapat dimengerti dan diingat melalui cerita-cerita inspirtif yang Ia sampaikan kepada audiens.
Di sinilah letak perbedaan yang paling besar antara Jobs dan Amien. Jika publik mengingat Jobs sebagai sosok yang inspiratif melalui kata-katanya, Amien dikenal publik sebagai sosok yang kontroversial dengan pernyataan-pernyataannya.
Amien memang terkenal memiliki lidah yang tajam terutama terhadap pemerintah. Setiap pernyataan-pernyataannya hampir bisa dipastikan menghiasi headline-headline pemberitaan.
Namun sayang, kritis yang disampaikan Amien lebih sering hanya berupa tuduhan tanpa dasar. Belum lagi Ia juga kerap menyelipkan sentimen agama di setiap serangan-serangannya, mulai dari mengibaratkan kontestasi Pilkada dengan Perang Badar, hingga dikotomi Partai Allah dan Partai Setan.
Entah disadari atau tidak, gaya komunikasi agresif ofensif khas Amien ini memiliki dampak buruk terhadap dirinya sendiri.
Hugh Breakey dalam tulisannya yang berjudul That’s offensive, harmful, and unhelpful”: The ethics of responding to arguments with allegations mengatakan bahwa tudingan-tudingan yang terlalu ofensif berpotensi melanggar norma dan etika dalam berargumen.
Menurutnya, ada tiga prinsip dasar dalam etika berargumen. Pertama adalah keterbukaan. Setiap sudut pandang yang berlawanan dapat disuarakan dan ditanggapi dengan serius.
Kedua adalah relevansi. Ia mengatakan dalam berargumen seseorang harus memaparkan pertimbangan yang relevan untuk menyelesaikan persoalan. Ketiga adalah non-koersi, atau strategi untuk memengaruhi orang agar setuju dengan argumen yang disampaikan.
Breakey mengatakan pelanggaran terhadap tiga prinsip etika berargumen tersebut memiliki konsekuensi sosialnya sendiri. Jika dalam suatu lingkungan saling lempar tuduhan ofensif tak berdasar telah menjadi hal biasa, maka bisa dipastikan dialog konstruktif akan runtuh.
Berangkat dari pemikiran Breakey ini, bisa dikatakan pernyataan-pernyataan kontroversi Amien telah melanggar etika dalam berargumen, yang secara tak langsung memperburuk, bukan hanya citranya sendiri, melainkan juga PAN karena Ia adalah sosok yang selama ini menjadi representasi dari partai tersebut.
Amien Semakin Konservatif?
Selain kerap membawa sentimen agama dalam setiap pernyataan kontroversialnya. Tak bisa dipungkiri, Amien juga semakin dekat dengan golongan konservatif.
Hal ini tentu memunculkan tanya, sebab Amien adalah sosok yang progresif dan visioner ketika Ia menjadi lokomotif penggerak gerakan Reformasi 1998.
Tomas Chamorro-Premuzic dalam tulisannya yang berjudul Why Are Older People More Conservative? menyebut bahwa generasi muda dan tua akan selalu berselisih paham tentang nilai-nilai liberalisme dan konservatisme. Ia juga menyebut bahwa ada hubungan yang berkolerasi antara pertambahan usia dan menguatnya paham konservatisme.
Menurut Tomas, keingintahuan intelektual seseorang akan menurun seiring bertambahnya usia. Penurunan ini menyebabkan menurunnya rasa keterbukaan seseorang sehingga secara tak langsung meningkatkan paham konservatisme yang ditandai dengan sikap keras untuk mempertahankan nilai yang dianggapnya benar.
Paham konservatisme inilah yang mungkin saja membuat sosok Amien semakin sulit diterima oleh golongan yang lebih muda.
Direktur Riset Populi Center, Usep S Ahyar menilai sikap keras Amien saat Pemilu 2019 lalu juga turut melunturkan pengaruhnya di PAN. Ia menilai Amien yang saat itu bersikeras mendukung paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkesan mengabaikan suara kader-kadernya di PAN yang lebih condong ke paslon Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Pada akhirnya, asumsi yang mengatakan bahwa gaya komunikasi politik dan konservatisme membuat Amien kehilangan pengaruh di PAN mungkin saja benar adanya.
Namun yang jelas, fakta bahwa Ia masih memiliki loyalis di tubuh PAN serta beredarnya wacana Ia akan mendeklarasikan partai baru mengindikasikan Amien memang belum selesai berpolitik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.