Napas tua Amien Rais sepertinya tidak akan menyurutkan niatnya untuk terus turun ke jalan. Latar pendidikannya di University of Chicago disebut menjadi pertautan dari banyak kepentingan yang mengubah wajah politik internasional di masa lalu. Benarkah?
PinterPolitik.com
“Wer Morgen sicher leben will, muss heute für Reformen kämpfen”. – (Siapa yang ingin hidup aman besok, hari ini harus berjuang untuk reformasi)
::Wily Brandt (1913-1992), kanselir Jerman::
[dropcap]T[/dropcap]idak ada berita yang menarik tanpa sosok Amien Rais. Kisah paling baru terjadi pada acara Reuni 212 beberapa waktu lalu. Saat itu, Amien yang telah berusia 73 tahun, mengkritik keras kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia menyebut Jokowi menjual negara ke pihak asing dan ‘aseng’ – sebutan terakhir seringkali dialamatkan kepada para pengusaha keturunan Tionghoa.
“Para kecebong itu biarkan mendekuk, kucing tetap mengeong, anjing menggonggong, tapi khafilah terus berlalu. Jauhilah berburuk sangka, jangan saling himpit menghimpit, gunjing menggunjing. Tidak rela kita makan mayat, saudaraku. Jadi ke Pak Jokowi, jangan jual negeri ini kepada asing dan aseng.” – Amien Rais
Kata-kata yang bergelora itu keluar dari mulut guru besar Ilmu Hubungan Internasional ini dan membakar jiwa para peserta aksi. Usia kepala 7 belum membuat mantan ketua PP Muhammadiyah periode 1995-1998 ini berhenti dari aktivitas berorasi yang seolah menjadi kegemarannya.
Sepak terjang Amien Rais pasca tak lagi punya jabatan publik (terakhir menjabat sebagai Ketua MPR) memang ‘membingungkan’ – apalagi pasca Partai Amanat Nasional (PAN) ditinggalkan satu per satu oleh para pendirinya. Amien belakangan selalu muncul sebagai antagonis, bukan hanya bagi pemerintah yang saat ini berkuasa, tetapi seringkali juga berseberangan dengan PAN.
Tadi kenapa si amien rais enggak ada waktu aksi bela palestina di monas? Demo berjilid-jilid ada, yang beneran aksi agama enggak ada.
— Madangkara2020 (@madangkara2020) December 17, 2017
Namun, jika ditelaah lebih jauh, latar belakang pendidikannya yang pernah belajar di University of Chicago merupakan hal menarik lain dari sang ‘Bapak Reformasi’ ini. Apalagi, tidak banyak orang Indonesia yang pernah menempuh pendidikan di kampus alma mater Barack Obama.
University of Chicago memang dikenal sebagai salah satu kampus yang punya pengaruh besar di Amerika Serikat, terutama dalam menentukan kebijakan ekonomi negara tersebut di tingkat global pada akhir abad ke-20. Perubahan kepemimpinan di banyak negara yang bermula dari persoalan ekonomi, disebut-sebut sebagai salah satu ‘pekerjaan besar’ dari Chicago School of Economics – mazhab ekonomi di University of Chicago.
Lalu, apakah Amien punya korelasi terhadap hal tersebut?
Para Pendekar Chicago
Beberapa pengikut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjuluki Amien Rais sebagai salah satu ‘pendekar Chicago’ – entah julukan ini bersifat pujian, ataukah ketidaksukaan karena Amien Rais-lah yang menurunkan Gus Dur dari jabatan presiden.
Yang jelas, Amien bersama Nurcholis Majid (Cak Nur) dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i) dijuluki sebagai tiga pendekar dari Chicago karena ketiganya adalah alumni dari University of Chicago. Amien mengambil program doktoral Ilmu Politik, Cak Nur program doktoral Filsafat Agama Islam, sementara Buya Syafi’i program doktoral Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat.
Secara kebetulan atau memang disengaja, ketiganya berkuliah dalam kurun waktu yang hampir bersamaan di University of Chicago. Dalam berbagai kesempatan, mereka juga aktif bersama-sama berdiskusi dan memperdalam Alquran dengan Fazlur Rahman Malik (1919-1988), seorang pengajar di universitas tersebut yang merupakan filsuf Islam modern.
Fazlur Rahman yang berasal dari Pakistan dikenal sebagai salah seorang liberal reformer Islam yang sangat berpengaruh di dunia. Pemikiran-pemikiran Fazlur sangat terlihat dalam diri ketiga pendekar Chicago ini, di mana walaupun sering berbeda pandangan – bahkan juga bertolak belakang – ketiganya sepaham tentang Islam yang modern dan diamalkan sebagai cara hidup.
Pada praktiknya, Amien memang cenderung berada di kutub yang berbeda jika dibandingkan dengan Cak Nur dan Buya Syafi’i Ma’arif.
Khusus terkait sikap Amien Rais yang kerap mengkritik masalah asing dan ‘aseng’, sebuah laporan khusus untuk Kongres Amerika Serikat yang disusun Richard J. Leitner dan Peter M. Leitner berjudul Unheeded Warnings: The Lost Reports of The Congressional Task Force on Terrorism and Unconventional Warfare, menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi karena pemahaman Amien terhadap struktur masyarakat di Amerika Serikat.
Amien memandang apa yang terjadi di negara Paman Sam tersebut sama dengan yang terjadi di Indonesia. Lha, kok bisa?
Ternyata, Amien melihat posisi orang-orang Yahudi di Amerika Serikat – yang walaupun minoritas, tetapi mampu menguasai politik-ekonomi negara tersebut – sama dengan yang terjadi pada masyarakat beragama Kristen atau komunitas Tionghoa di Indonesia.
Amien menganggap kekuasaan ekonomi-politik orang-orang Yahudi di Amerika Serikat membuat mereka menjadi sangat kuat, sehingga mampu mengendalikan negera tersebut. Contoh terbarunya mungkin bisa dilihat dalam kasus pernyataan Presiden Donald Trump yang menyebut Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Oleh karena itu, Amien tidak ingin hal yang demikian terjadi di Indonesia. Ia menganggap kelompok minoritas harus dikawal, sehingga tidak berbalik menguasai yang mayoritas. Pemahamannya tentang bagaimana orang-orang Yahudi mengendalikan Amerika Serikat, cenderung membuat pria kelahiran Surakarta ini menjadi ‘kurang ramah’ terhadap golongan minoritas Kristen dan kaum Tionghoa.
Amien adalah salah satu pendiri Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan memasukkan isu ‘Kristenisasi’ sebagai salah satu fokus gerakan tersebut. Hal ini diamini oleh Douglas Ramage dalam bukunya Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance yang menyebut sikap Amien ini sangat dipengaruhi oleh keyakinannya bahwa sejak tahun 70-an penyebaran agama Kristen sedang marak terjadi di Indonesia. (Baca: ICMI, Pilih Jokowi atau Prabowo)
Walaupun demikian, pandangan Amien tentang Islam sebagai cara hidup dengan tetap mengedepankan demokrasi dan mempelajari ilmu pengetahuan sebagai upaya pembaharuan, tetap sangat terlihat dipengaruhi oleh pendidikannya di Chicago.
Amien memang sering berada dalam barisan kelompok-kelompok ‘anti kemapanan’, namun ia tetap memandang demokrasi sebagai hal yang inheren dengan perjuangannya tersebut – berbeda dengan gerakan yang ingin menciptakan kekhalifahan yang anti demokrasi.
Dalam segala pandangan politik identitas yang sering digaungkannya, Amien tetap melihat demokrasi sebagai hal yang harus diperjuangkan – paham yang juga membuat mantan Ketua MPR ini lagi-lagi menyamakan Indonesia dengan Amerika Serikat.
Kekuatan politik Amien juga dipengaruhi oleh keberadaan kelompok pendukung yang cukup loyal, terutama di akar rumput. Ia dianggap sebagai pejuang reformasi sekaligus juga Imam Besar oleh beberapa pihak. Banyak yang mendukungnya untuk menjadi presiden, namun banyak juga yang khawatir jika pandangan-pandangan politiknya membawa Indonesia ke arah yang berbeda.
The Chicago Connection
Terkait latar belakang pendidikannya di University of Chicago, perbincangan yang muncul di berbagai forum adalah apakah hal ini berhubungan dengan kebijakan ekonomi global Amerika Serikat saat itu yang dipengaruhi oleh monetarisme (ekonomi ditentukan oleh demand dan supply uang) ala Milton Friedman dari Chicago School of Economics.
Bukan rahasia lagi jika pemikiran Friedman dengan teori ekonomi neo-klasiknya – yang mengabaikan efek turunan dari pasar bebas (misalnya kemiskinan) – adalah warna utama kebijakan ekonomi Amerika Serikat antara tahun 1980-1990an. Kebijakan-kebijakan ekonomi tersebut pada akhirnya juga mempengaruhi banyak negara di dunia – terutama yang mengalami kehancuran ekonomi.
Krisis ekonomi di Amerika Latin, Eropa Barat, keruntuhan Uni Soviet, hingga krisis ekonomi Indonesia di tahun 1997-1998 disebut-sebut menjadi dampak aliran pemikiran tersebut. Beberapa ekonom asal Amerika Serikat – misalnya Jeffrey Sachs – disebut-sebut berdiri di belakang persoalan-persoalan ini.
Selain itu, keberadaan kelompok macam ‘Chicago Boys’ – yakni para ekonom yang menganut pemikiran Chicago – di Amerika Latin merupakan salah satu contoh signifikansi mazhab ekonomi ini terhadap kondisi ekonomi di negara-negara tersebut yang umumnya dikuasai oleh para diktator.
Agenda utamanya adalah menundukan legitimasi politik absolut pada demokrasi dan pasar bebas melalui strategi moneter. Perjuangannya menggunakan strategi moneter (misalnya lewat monopoli dollar) untuk menggoyangkan pemerintahan yang ada dengan dalil penciptaan demokrasi, dan ketika berhasil, pasar bebas dengan sendirinya tercipta.
Hal inilah yang membuat banyak selentingan muncul dan menyebut Amien Rais sebagai salah satu bagian dari ‘big framing’ penundukan kekuasaan di negara-negara diktator untuk mengadopsi demokrasi sekaligus juga ekonomi pasar bebas (laissez faire). Apalagi, Amien menjadi bagian dari pergerakan reformasi yang melengserkan kekuasaan otoriter Soeharto. Kejatuhan Soeharto memang menandai masuknya Indonesia ke era demokrasi-pasar bebas.
Walaupun Chicago School of Economics dan jurusan Ilmu Politik yang dipelajari Amien adalah dua entitas yang berbeda, namun beberapa pihak menyebut Chicago connection tetap sangat mungkin terjadi – setidaknya dalam bentuk irisan kesamaan tujuan perjuangan: demokrasi dan pasar bebas.
Lalu, apakah Amien benar-benar menjadi bagian dari gerakan ini?
Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, jejak pendidikan Amien dan para pendekar Chicago menimbulkan dugaan ke arah sana. Apalagi, Amien disebut sebagai ‘angkatan pertama’ asal Indonesia dari kampus ini, dan setelahnya belum muncul lagi tokoh-tokoh baru lulusan kampus yang telah melahirkan 90 orang peraih hadiah Nobel ini.
Pada akhirnya, jalan politik Amien masih akan tetap demikian adanya, kuat dengan politik identitas yang dipercayai, sembari memperjuangkan demokrasi dan kebaharuan yang terus menerus dari Islam sebagai cara hidup.
Menuju tahun politik di 2018 dan 2019, kiprah Amien masih akan menjadi daya tarik politik. Sebagai figur yang punya simpatisan, ia masih akan sangat mempengaruhi pembentukan opini publik. Jika Amien berkata ‘lawan asing dan aseng’, maka kata-katanya akan sangat mungkin menggerakan ribuan orang – sesuatu yang perlu menjadi catatan tersendiri bagi sang professor.
Lalu, jika agenda politik yang dibawanya tetap sama, apakah sosok Amien masih akan sama dengan orang yang menjatuhkan Soeharto dulu? Atau kini Amien punya agenda berbeda dan demokrasi yang diagung-agungkannya telah diganti oleh paham lain? Hanya Mbah Amien yang bisa menjawab, nggeh. (S13)