HomeNalar PolitikAmien Bertenaga untuk People Power

Amien Bertenaga untuk People Power

Wacana people power milik Amien Rais menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Mengapa pendiri PAN tersebut sampai mewacanakan hal tersebut?


Pinterpolitik.com

[dropcap]A[/dropcap]mien Rais seperti tak ada matinya. Mantan Ketua MPR RI itu kembali hadir pernyataan yang memicu pembicaraan di dalam masyarakat. Dalam pernyataannya di Aksi 313, Amien menyatakan bahwa dirinya siap mendorong people power jika terjadi kecurangan pada Pemilu 2019.

Pernyataan tersebut lantas menimbulkan tanggapan dari berbagai tokoh politik Tanah Air. Kandidat nomor urut 01 sekaligus petahana presiden Joko Widodo (Jokowi) misalnya, menanggapi pernyataan itu dengan menyebut bahwa tidak perlu ada tekanan kepada masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan Pemilu.

Di luar itu, pernyataan Amien tersebut juga memicu tanggapan dari segi konstitusional. Banyak ahli hukum yang menyebut bahwa idealnya segala jenis sengketa Pemilu diselesaikan melalui mekanisme legal dan formal, alih-alih dengan mekanisme ‘jalanan’ seperti dengan people power.

Amien dan para pendukungnya sendiri tampak tak surut langkah akibat pernyataan-pernyataan tersebut. Mereka menganggap bahwa people power adalah hal yang lazim dalam budaya demokrasi.

Lalu seperti apa sebenarnya gagasan people power ala Amien Rais ini? Lalu mengapa pula gagasan seperti ini muncul dari seorang Amien yang memiliki pengalaman mirip di masa lalu?

Ekspresi Kekecewaan

Di atas kertas, gagasan people power seperti yang dikemukakan oleh Amien Rais boleh jadi adalah hal yang tidak masuk akal dilakukan di era demokrasi saat ini. Berbagai institusi dan mekanisme telah tersedia, sehingga cara-cara berbau jalanan seperti ini seharusnya tidak lagi muncul.

Anggapan ini kemudian yang menjadi dasar sejumlah ahli hukum memberikan tanggapan terhadap wacana people power milik Amien Rais ini. Saran mereka tergolong seragam, ada Mahkamah Konstitusi (MK) yang dapat menjadi sasaran ketidakpuasan Amien jika hasil Pemilu dianggap berbau kecurangan.

Di satu sisi, anjuran ahli-ahli hukum tersebut boleh jadi benar. Adanya institusi dan mekanisme hukum memang idealnya bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Meski demikian, dalam banyak kasus, cara-cara institusional ini kerap kali mandeg.

People power kemudian lahir sebagai salah satu upaya untuk meminimalisasi kemandegan tersebut. Gerakan semacam ini boleh jadi tidak sepenuhnya konstitusional, tetapi hak untuk menyatakan pendapat nyatanya adalah hal yang diperbolehkan. Secara khusus, dalam demokrasi, people power dapat menjadi upaya untuk mengingatkan pihak berkuasa bahwa ada yang berjalan tidak wajar dalam suatu rezim.

April Carter mengaitkan people power ini dengan gelombang demokrasi ketiga yang diungkapkan oleh Samuel Huntington. Demokratisasi atau dukungan terhadap demokrasi kerap menjadi penyebab utama dari gerakan sipil seperti ini.

Pada gerakan ini terjadi titik kulminasi atau titik puncak dari ketidakpuasan masyarakat. People power tersebut kerap terjadi pada rezim yang meski memiliki demokrasi multi partai, tetapi berupaya menjaga kekuasaannya melalui manipulasi Pemilu, manipulasi media, dan represi selektif.

Secara khusus, Carter juga menyoroti people power ini dalam konteks Pemilu. Carter menyebutkan bahwa people power kerap memobilisasi kekuatan oposisi kepada pemimpin otokratik. Selain itu, gerakan ini juga akan mengawasi proses elektoral dari kecurangan dan jika perlu akan melakukan protes keras jika ada yang ‘mencuri’ hasil Pemilu.

Gerakan Mendunia

Istilah people power oleh beberapa pihak kerap dikaitkan dengan gerakan flower power di Amerika Serikat (AS) di tahun 1960-an. Kala itu, masyarakat AS menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan penolakan mereka atas Perang Vietnam.

Meski demikian, gerakan people power yang paling mudah diidentifikasi boleh jadi adalah gerakan yang terjadi di Filipina pada tahun 1986. Saat itu, masyarakat Filipina melakukan gerakan untuk melakukan protes keras kepada pemerintahan Ferdinand Marcos yang berkuasa lebih dari 20 tahun.

Secara spesifik, di luar perkara pemerintahan Marcos yang dianggap totaliter dan menyengsarakan rakyat, ada hal lain yang memicu gerakan rakyat Filipina tersebut. Kecurangan Pemilu di tahun 1986 menjadi alasan mengapa rakyat negeri tersebut menginisiasi gerakan untuk menurunkan Marcos dari tampuk kekuasaan negara bekas jajahan Spanyol tersebut.

People power merupakan ekspresi lazim kepada rezim yang tak demokratis. Share on X

Kala itu, jalannya pemilu diwarnai dengan dugaan kecurangan dan kekerasan. Puncaknya terjadi ketika 35 pekerja Pemilu yang bertanggungjawab pada tabulasi komputer memutuskan mengundurkan diri sebagai protes dari kecurangan yang terjadi.

Berbagai kondisi tersebut membuat masyarakat Filipina melakukan protes dengan gerakan non-kekerasan. Gerakan yang banyak digawangi oleh tokoh gereja ini mendapatkan simpati dari masyarakat, sehingga dukungannya meluas.  Secara dramatis, gerakan ini akhirnya membuat Marcos terusir dari jabatannya dan harus lari dari negaranya.

Sejak saat itu, banyak gerakan masyarakat yang melawan kesewenang-wenangan dan kecurangan suatu rezim dapat dianggap setara dengan gerakan people power. Di Indonesia, gerakan di tahun 1998 bisa saja digolongkan ke dalam gerakan seperti itu. Selain itu, ada pula Arab Spring di awal tahun 2010-an sebagai contoh teranyar dari gerakan semacam itu.

Amien Mengulang Memori

Merujuk pada hal-hal tersebut, people power boleh jadi bukan sepenuhnya tentang perdebatan konstitusional atau tidak. People power lebih banyak terkait dengan ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap berjalannya suatu rezim. Hal ini sendiri wajar dalam demokrasi sebagai bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kerap memicu demokrasi itu sendiri.

Dalam konteks tersebut, Amien boleh jadi merasakan kekecewaan tersebut jika hasil Pemilu nantinya diwarnai oleh kecurangan. Oleh karena itu, terlepas dari perdebatan tentang konstitusional atau tidak, para penyelenggara Pemilu idealnya bisa memahami adanya kemungkinan ekspresi kemarahan masyarakat seperti Amien.

Seperti disebutkan oleh Carter, meski nanti Pemilu tetap terlaksana, tetapi jika terjadi manipulasi hasil dan manipulasi media, maka gerakan seperti ini boleh jadi tak terhindarkan. Demokrasi multi-partai mungkin masih terlaksana, tetapi hanya secara prosedural saja, sementara nilai demokrasi yang bebas dan adil justru tidak terlaksana. Kondisi seperti ini yang perlu dihindari oleh pemerintah dan penyelenggara Pemilu jika tak ingin menghadapi people power.

Secara spesifik, Amien boleh jadi akan mengalami déjà vu jika ia benar-benar menggerakkan massa ketika hasil Pemilu 2019 dianggap mengandung kecurangan. Di tahun 1998, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu juga aktif dalam gerakan yang mirip.

Latar belakang Amien sendiri boleh jadi membuatnya tidak bisa dianggap sosok sembarangan. Meski usianya sudah tak lagi prima, Amien boleh jadi tak sepenuhnya bisa dijadikan lelucon dan bahan tertawaan. Latar belakangnya sebagai lulusan University of Chicago membuat ia bisa saja memiliki bekal mumpuni terkait dengan pernyataannya termasuk soal people power.

Lulusan universitas tersebut bukanlah lulusan sembarangan. Di Cile misalnya, dikenal ada Chicago Boys sebagai orang-orang yang mengarsiteki transformasi ekonomi di negara tersebut. Chicago Boys tersebut bahkan memberi pengaruh juga di negara-negara lain di kawasan Amerika Latin.

Guru dari para Chicago Boys tersebut adalah Milton Friedman. Sosok Friedman merupakan sosok yang mempengaruhi kebijakan ekonomi utama AS. Selain itu, ada pula figur seperti Jefrrey Sachs yang jejak pemikirannya dapat dilihat dalam kebijakan ekonomi di Amerika Latin dan Eropa Timur.

Umumnya, para Chicago Boys tersebut terlibat dalam transformasi suatu negara yang mengalami perubahan rezim. Secara spesifik, Chicago Boys ini kerap membawa angin demokrasi dan pasar bebas yang sejalan dengan kepentingan negara Barat, terutama AS.

Memang, Amien bukanlah lulusan di bidang ekonomi layaknya para Chicago Boys di Amerika Latin. Akan tetapi, hal ini belum tentu berarti Amien sama sekali tidak terkait dengan kekuatan utama kelompok Chicago tersebut. Yang jelas, kiprah Chicago Boys yang banyak terlibat dalam proses pergantian rezim, membuat sosok Amien sedikit banyak terpapar nuansa serupa.

Berdasarkan koneksi Amien dan kiprah Chicago Boys tersebut, boleh jadi Amien mengetahui sesuatu yang tidak banyak orang lain ketahui. Apalagi, jika terbukti Pemilu nanti berbau kecurangan, maka angin demokrasi yang sejalan dengan pemikiran kelompok tersebut boleh jadi akan muncul. Pada titik ini, people power bisa saja menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. (H33)

Baca juga :  Selinap "Merah" di Kabinet Prabowo?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...