Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi artificial intelligence (AI).
Tiongkok semakin menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya bisa menyaingi Amerika Serikat (AS). Kini, kompetisi bagi AS bahkan datang di sektor yang didominasinya, yakni dunia artificial intelligence. Lantas, mungkinkah ini awal dari kejayaan Tiongkok yang menjadi nyata?
Dalam dunia fiksi, Tiongkok sering digambarkan sebagai sebuah kekuatan besar yang memiliki potensi untuk menyaingi Amerika Serikat (AS), dan bahkan melampauinya.
Dalam serial video gim Fallout misalnya, Tiongkok bahkan diceritakan sebagai negara yang berhasil menghancurkan AS dalam perang nuklir. Tidak heran, imajinasi-imajinasi tentang kekuatan Tiongkok tersebut memang cukup beresonansi dengan keadaan di dunia nyata, saat ini, Tiongkok sering dipersepsikan sebagai satu-satunya negara yang memiliki potensi untuk menggeser hegemoni yang dimiliki AS.
Namun, siapa sangka, potensi yang selama ini hanya dibayangkan, nyatanya mulai menjadi kenyataan. Kabar terbaru yang bisa menjadi petunjuk akan hal ini adalah kemunculan Deepseek, sebuah perusahaan kecerdasan buatan (AI) Tiongkok yang mengembangkan model AI yang bisa menjawab hampir semua permintaan kita, mirip dengan ChatGPT yang dibuat oleh OpenAI. Bedanya, Deepseek disebut bisa menyajikan beberapa fitur premium yang dimiliki ChatGPT, namun secara gratis.
Kendati masih sangat baru, terobosan ini tentu mampu menjadi pendobrak industri yang selama ini didominasi oleh perusahaan AS. Menariknya, AI bukan satu-satunya sektor yang mulai “digoyah” oleh Tiongkok, beberapa industri penting lain seperti mobil listrik, bahkan video gim juga mulai memiliki beberapa perusahaan asal Tiongkok yang mulai jadi pemain besar.
Hal ini lantas memantik pertanyaan, mungkinkah dalam waktu dekat Tiongkok akhirnya berhasil menggerogoti dominasi AS?

Tiongkok dan Teori Kindleberger Trap
Dalam lanskap geopolitik modern, kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan hegemon semakin terlihat jelas. Berbeda dengan pendekatan AS yang semakin proteksionis, Tiongkok justru memperkuat perannya dalam menyediakan infrastruktur dunia, baik dalam bentuk fisik seperti Belt and Road Initiative (BRI), maupun dalam bentuk digital seperti kecerdasan buatan (AI) dan teknologi informasi, bahkan media sosial.
Dengan kapasitas ini, Tiongkok berpotensi menghindari jebakan Kindleberger Trap, di mana dunia menghadapi ketidakstabilan akibat kegagalan negara adidaya lama dengan hadirnya kandidat adidaya baru dalam menyediakan barang publik global, yang sebelumnya disediakan oleh adidaya lama.
Teori Kindleberger Trap, yang diperkenalkan oleh ekonom Charles Kindleberger, menyatakan bahwa ketika sebuah negara hegemon menurun dan gagal menyediakan kepemimpinan global, dunia akan mengalami kekacauan ekonomi dan politik. Hal ini terjadi saat AS mengadopsi kebijakan isolasionis setelah Perang Dunia I, yang berkontribusi terhadap Depresi Besar.
Mengomentari teori Kindleberger Trap, Joseph S. Nye dalam artikelnya di Project Syndicate (2017) menyebutkan bahwa kepemimpinan global tidak hanya ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan militer, tetapi juga oleh kemampuan menyediakan barang publik global seperti stabilitas perdagangan, inovasi teknologi, dan infrastruktur.
Dengan semakin luasnya jangkauan BRI dan dominasi AI Tiongkok, dunia perlahan mulai menerima realitas bahwa Beijing adalah pemain utama dalam tata kelola global. Jika tren ini terus berlanjut, Tiongkok tidak hanya akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar, tetapi juga hegemon sejati yang menentukan arah perkembangan dunia.
Saat ini, dengan kebijakan proteksionis yang diadopsi oleh AS—terutama di bawah kepemimpinan Trump yang menarik diri dari berbagai perjanjian internasional—Tiongkok justru mengambil langkah sebaliknya. Tiongkok semakin aktif menawarkan diri sebagai pemimpin global dengan membangun infrastruktur dunia yang memperdalam ketergantungan ekonomi dan teknologi banyak negara terhadapnya.
Melalui program-program BRI misalnya, Tiongkok tidak hanya membangun jalur perdagangan yang menghubungkan Asia, Afrika, dan Eropa, tetapi juga menciptakan keterikatan ekonomi yang mendalam dengan negara-negara mitranya. Infrastruktur ini tidak hanya berupa jalan, pelabuhan, dan rel kereta api, tetapi juga mencakup investasi besar dalam sektor energi dan manufaktur.
Langkah ini memperlihatkan ambisi Tiongkok untuk menyediakan barang publik global dalam bentuk jalur perdagangan dan investasi, yang di masa lalu menjadi tugas negara hegemon seperti AS dan Inggris. Dengan semakin banyak negara yang bergantung pada Tiongkok dalam hal pembangunan infrastruktur, posisi Beijing sebagai pemimpin global secara otomatis semakin kokoh.
Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apakah negara-negara lain siap menerima hegemoni Tiongkok? Ataukah dunia akan melihat perlawanan dari AS dan negara lain yang khawatir terhadap dominasi Beijing?

Sebuah Persimpangan?
Masa depan hegemoni Tiongkok akan sangat bergantung pada bagaimana dunia merespons kebangkitannya. Secara teoritis, ada dua skenario utama yang dapat terjadi.
Pertama, dunia dapat menerima peran hegemonik Tiongkok sebagai penyedia infrastruktur global, terutama jika Beijing dapat membangun kepercayaan dengan tidak menggunakan kekuatannya secara koersif. Jika Tiongkok mampu menghindari jebakan imperialisme dan menunjukkan bahwa kepemimpinannya membawa manfaat bagi negara-negara mitranya, banyak negara kemungkinan akan beradaptasi dengan tatanan baru ini. Negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada investasi dan teknologi Tiongkok mungkin akan menjadi blok pendukung bagi kepemimpinan Beijing di dunia internasional.
Namun, skenario kedua menunjukkan potensi perlawanan dari AS dan negara-negara Barat lainnya. Washington dan sekutunya mungkin akan meningkatkan strategi untuk membendung pengaruh Beijing, baik melalui aliansi militer seperti AUKUS maupun strategi ekonomi seperti reshoring industri kritis.
Selain itu, ketergantungan pada infrastruktur Tiongkok juga dapat menimbulkan kekhawatiran akan dominasi ekonomi yang berlebihan dan risiko geopolitik yang lebih besar, terutama jika Beijing menggunakan kekuatannya untuk menekan negara-negara yang tidak sejalan dengan kebijakannya.
Dalam skenario ini, dunia mungkin akan terpecah menjadi dua blok besar—satu yang menerima kepemimpinan Tiongkok, dan satu yang menentangnya. Pola bipolar seperti era Perang Dingin dapat muncul kembali, dengan AS dan sekutunya mencoba menawarkan alternatif bagi negara-negara yang ingin menghindari ketergantungan pada Beijing. Ini bisa berarti meningkatnya ketegangan ekonomi, sanksi, serta konflik diplomatik yang lebih intens.
Pada akhirnya, masa depan hegemoni Tiongkok akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana Beijing mengelola hubungan internasionalnya.
Jika berhasil membangun kepemimpinan yang diterima luas tanpa menimbulkan ketakutan di antara negara-negara lain, Tiongkok bisa menjadi hegemon yang relatif stabil. Sebaliknya, jika pendekatan Beijing terlalu agresif, perlawanan dari negara-negara besar lainnya mungkin tak terhindarkan, dan dunia akan kembali pada ketidakstabilan geopolitik yang lebih besar. (D74)