Pembangunan infrastruktur adalah salah satu jualan utama pemerintahan Jokowi-JK. Begitu masifnya pembangunan ini, apakah hanya ambisi belaka?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]elama 3 tahun menjabat ada sejumlah capaian dalam pemerintahan Jokowi-JK. Salah satu yang kerap digembar-gemborkan adalah pembangunan infrastruktur. Pemerintah kini memang tengah getol membangun infrastruktur di sana-sini.
Infrastruktur yang mumpuni memang prasyarat bagi kemajuan suatu negara. Ketimpangan antarwilayah dapat dikurangi melalui fasilitas yang memadai. Ketertinggalan prasarana dengan negara lain harus segera dikejar agar tetap mampu bersaing.
Meski begitu, banyak yang menganggap bahwa pembangunan prasarana di era Jokowi-JK ini hanya ambisi belaka. Banyak pembangunan yang hanya menjadi proyek mercusuar saja. Selain itu ada beberapa pembangunan yang diklaim sebagai capaian nyatanya belum maksimal.
Infrastruktur Sebagai Proyek Strategis Nasional
Pembangunan beragam prasarana besar ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Perpres ini mengalami revisi di tahun 2017 untuk menambahkan berbagai proyek baru.
Berdasarkan Perpres tersebut, total dari proyek ambisius pemerintah tersebut adalah 245 PSN. Selain itu, terdapat pula dua program yaitu satu program kelistrikan 35.000 mW dan satu pengembangan industri pesawat terbang. Proyek-proyek dan program-program tersebut ditargetkan harus rampung maksimal pada tahun 2019.
Total investasi dari proyek ini diestimasikan mencapai Rp 4.197 triliun. Investasi ini didominasi oleh swasta yaitu dengan Rp 2.414 triliun. Disusul kemudian oleh BUMN/BUMD dengan Rp 1.258 triliun. Sementara itu total investasi dari APBN diperkirakan mencapai Rp 525 triliun.
Untuk menunjang proyek besar ini, pemerintah melakukan penyesuaian dari sisi anggaran. Pemerintah mengalokasikan 18,6% untuk belanja infrastruktur di tahun ini. Hal ini berarti kenaikan dua kali lipat dari tahun 2014 yaitu 8,7% dari APBN.
Sejauh ini pemerintah mengklaim ada beberapa proyek infrastruktur yang telah diwujudkan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) misalnya mengklaim bahwa hingga saat ini telah ada total 568 km jalan tol dibangun. Kementerian PUPR optimis bahwa target 1.000 km dapat terwujud bahkan terlampaui menjadi 1.852 km di tahun 2019.
Dari segi konektivitas, pemerintah menargetkan penambahan panjang jalan baru sepanjang 2.600 km pada tahun 2019. Hingga tahun 2017 pemerintah menyaebut sudah terbangun 2.623 km atau telah melampaui target.
Capaian dalam pembangunan bendungan juga menjadi hal yang dibanggakan oleh Kementerian PUPR. Selama 2015 hingga 2017 total sudah ada 39 bendungan yang dibangun.
Hanya Sekadar Ambisi?
Sejumlah pengamat mulai mencium adanya gejala anomali dalam pembangunan di Indonesia. Proyek-proyek besar ini disinyalir minim dampak. Hal ini misalnya dapat dilihat dari rendahnya multiplier effect yang dihasilkan dari proyek-proyek ini. Beragam aspek industri, perbankan, hingga penyerapan tenaga kerja idealnya terbawa arus positif pembangunan.
Realitanya beberapa aspek justru tidak terbawa arus tersebut. Sektor industri logam dasar justru tumbuh negatif -3,06% pada kuartal I 2017. Konsumsi semen secara nasional periode Januari-Juni 2017 juga tercatat menurun 1,3%.
Pembangunan juga ternyata tidak berdampak pada penyerapan tenaga kerja. penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi justru mengalami penurunan dari 8,21 juta orang menjadi 7,98 juta orang.
Hal ini dapat menjadi petunjuk bahwa proyek infrastruktur sejauh ini tergolong minim dampak. Sektor-sektor yang berkorelasi dengan pembangunan fisik justru tidak mengalami peningkatan.
Cap ambisius juga wajar disematkan pada proyek ini jika melihat dari minimnya proses studi kelayakan. Salah satu proyek yang dipersoalkan adalah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Akibatnya pembangunan kereta ini molor dan diprediksi baru akan selesai pada tahun 2020.
Proyek lainnya adalah pembangunan Light Rail Transit (LRT). Proyek ini masih menyisakan masalah dalam skema pendanaan bahkan ketika proyeknya sudah berjalan.
Ambisi pemerintah juga dapat terlihat dalam program listrik 35.000 mW. Proyek ini dianggap sebagai proyek yang terlalu besar dan sulit diwujudkan dalam waktu singkat.
Sejak awal, program listrik 35.000 mW sudah dikritik karena dianggap tidak realistis. Perkembangan terkini, proyek ini baru terpenuhi 758 mW atau sekitar 2 persen dari total 35.000 mW di tahun 2019. Sementara itu, yang mencapai tahap konstruksi mencapai 14.768 MW atau sekitar 41 persen dari target.
Banyak pengamat yang memprediksi program ini sulit terwujud pada tahun 2019. Secara realistis, diprediksi program ini baru akan sepenuhnya rampung pada tahun 2022 mendatang.
Pemerintah sendiri terbuka untuk merevisi target program ini. Penyesuaian terhadap target akan dilakukan dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan kondisi keuangan PLN. Program ini semula diluncurkan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7 persen di tahun 2019. Kenyataannya pertumbuhan ekonomi di era Jokowi-JK selalu berada di kisaran 5 persen.
Program lainnya yang kerap tidak mencapai target adalah program 1 juta rumah. Pada tahun 2015, pemerintah hanya berhasil membangun 699.770 unit. Di tahun 2016, target ini juga tidak tercapai di mana hanya 805.169 unit berhasil dibangun. Diprediksi target ini juga tidak akan tercapai di tahun 2017.
Dalam klaimnya soal pembangunan infrastruktur sejauh ini, terdapat silang data antara klaim pemerintah dengan data riil. Pada pidato presiden 16 Agustus 2017 lalu misalnya, pemerintah mengklaim empat bandara sudah dibangun. Akan tetapi, jika merujuk pada data Kementerian Perhubungan, kenyataannya baru dua bandara yang beroperasi.
Kondisi serupa berlaku pada total jalur kereta baru. Pada pidato tersebut Jokowi menyebut bahwa pembangunan jalur kereta baru mencapai sepanjang 199,6 km. Akan tetapi berdasarkan data Kementerian Perhubungan total jalur baru dan rehabilitasi hanya mencapai 142,99 km.
Tenggat penyelesaian program yang maksimal rampung 2019 dapat menjadi sinyal bahwa proyek ini akan menjadi benteng bagi Jokowi di Pilpres 2019. Pembangunan infrastruktur merupakan jenis pembangunan yang nampak jelas dan dirasakan langsung. Pembangunan fisik juga bersifat jangka panjang dan dapat menjadi warisan pemerintahan.
Jika upaya menggenjot infrastruktur dilakukan semata demi ambisi tanpa studi memadai maka anggapan tersebut menjadi benar. Alih-alih rakyat yang diuntungkan, pembangunan tersebut bisa saja hanya mendongkrak citra presiden jelang pemilu.
Perlu Kehati-hatian
Pembangunan proyek yang begitu besar tentu memerlukan dana yang besar pula. Pemerintah terpaksa membebani APBN demi proyek-proyek ini. Pemerintah bahkan telah menambah banyak utang untuk pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan data pada akhir September 2017, pemerintah telah menambah utang hingga mencapai Rp 3.866 triliun. Angka ini naik sekitar 41 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu Rp 3.826 triliun.
Jika tidak berhati-hati dampak terhadap APBN bisa sangat berbahaya. Per Agustus 2017, defisit anggaran mencapai Rp 224 triliun atau setara dengan 1,64 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Saat ini penerimaan dari pajak diduga tidak akan memenuhi target. Hal ini membuat defisit anggaran bisa saja mencapai 2,9 persen. Pemerintah harus berupaya keras agar defisit tidak menyentuh angka 3 persen yang menjadi batas dalam undang-undang. Jika ini terjadi maka ada implikasi politik yang berpotensi memicu kegaduhan.
Mengapa Pembangunan Infrastruktur Bakal Bermasalah? https://t.co/gqXHccsqUZ pic.twitter.com/gw9dpt4WE4
— Faisal Basri (@FaisalBasri) October 12, 2017
Pembangunan infrastruktur fisik yang begitu masif membutuhkan ketersediaan lahan yang besar. Hal ini pemerintah harus dihadapkan dengan sengketa lahan. Akibat dari mimpi pembangunan ini, pemerintah harus menghadapi konflik agraria dengan masyarakatnya sendiri.
Salah satu konflik agraria yang dihadapi pemerintah adalah pertentangan dengan masyarakat di Desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka. Masyarakat ini melakukan protes terhadap pembangunan Bandara Kertajati atau yang nanti akan disebut Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).
Sengketa lahan tidak dapat dibendung akibat tidak ada dialog sebelumnya antara masyarakat setempat dengan pihak pemerintah. Konflik pun akhirnya meletus ditandai dengan munculnya aparat yang berasal dari TNI dan Polri.
Cerita tentang sengketa lahan tidak hanya terjadi pada kasus pembangunan BIJB saja. Friksi antara pemerintah dengan masyarakat terjadi pula pada pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo di Yogyakarta. Lahan petani yang menjadi sumber penghasilan harus dihadapkan pada ambisi pembangunan pemerintah. Bentrok warga dengan aparat pun tidak dapat dihindari.
Mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur memang hal yang penting. Meski begitu, pemerintah perlu berhati-hati. Jangan sampai proyek yang dilaksanakan hanya menjadi ambisi tanpa studi. Mengingat kondisi keuangan pemerintah yang juga tidak stabil merevisi target capaian bukanlah hal yang teramat tabu. Memprioritaskan proyek yang mendesak dan menunda yang rendah urgensinya dapat menjadi solusi agar terhindar dari bahaya. (Berbagai sumber/H33)