Dengarkan artikel ini:
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (2/1) kemarin menghilangkan kewajiban untuk memenuhi ambang batas presiden (PT) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres). Mungkinkah ini jadi kesempatan untuk Anies Baswedan “ancam” pengaruh Joko Widodo (Jokowi)?
“Gee, gee, gee, gee, baby, baby, baby” – Girls’ Generation, “Gee” (2010)
Siapa yang tidak kenal dengan Girls’ Generation (SNSD)? Girl band asal Korea Selatan (Korsel) ini menjadi salah satu grup musik yang paling terkenal pada tahun 2010-an. Jelas, girl band satu ini sangat dikenal bagi para penggemar K-pop yang masuk dalam kelompok usia Milenial.
Salah satu lagunya yang paling terkenal adalah “Gee” yang dirilis pada tahun 2010. Lagu ini terkenal dengan salah satu koreografinya yang menjadi pembahasan soal gelombang K-pop hingga kini, yakni gerakan tarian kaki kepiting (crab leg dance).
Tarian ini dilakukan dengan meletakkan kedua tangan di pinggang kanan dan kiri. Kemudian, para anggota Girls’ Generation menggerakkan kakinya dengan gaya menyeret ke samping, layaknya gerakan kepiting.
Kesuksesan Girls’ Generation ini membuat para anggotanya turut menjadi terkenal. Salah satunya adalah Tiffany Young, seorang warga negara Amerika Serikat (AS) yang merupakan keturunan Korea.
Girl band satu ini sebenarnya berada di bawah manajemen SM Entertainment. Namun, Tiffany memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya dengan SM Entertainment dan memutuskan untuk bekerja di bawah naungan label Paradigm Talent Agency yang berbasis di AS.
Well, persaingan antar-label di industri K-pop memang bukanlah hal baru. Saking kempetitifnya, para label ini selalu berusaha mendorong artis-artisnya untuk menampilkan yang terbaik. Para artis yang ada di bawah mereka kerap menjadi token yang bisa mendatangkan profit.
Inilah kenapa akhirnya artis dam grup musik menjadi hal berharga juga bagi para label. Dengan basis penggemar yang besar, banyak artis akhirnya dijaga dan dipelihara agar terus menjaga daya saing label mereka.
Menariknya, cara kerja industri hiburan di Korsel – dan juga beberapa negara lain – memiliki kemiripan dengan dinamika politik terbaru di Indonesia masa kini, khususnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan untuk menghapus ambang batas presiden (presidential threshold) – atau disingkat PT.
Lantas, bagaimana cara kerja industri K-pop, seperti Girls’ Generation, bisa berkaitan dengan putusan MK? Mengapa ini bisa mengubah dinamika permainan elektoral di masa depan?
Partai Politik = Label?
Pada tahun 2015, Nikolai V. Ostapenko menulis sebuah tulisan berjudul The Cult of Shinhwa, An Original K-pop Band: South Korea’s Prime Cultural Export. Dalam tulisan itu, Ostapenko menjelaskan bahwa persaingan antara grup-grup idola di industri K-pop sebenarnya adalah persaingan antara label-label besar di balik mereka.
Beberapa di antaranya adalah SM Entertainment, YG Entertainment, dan JYP Entertainment. Mereka semua saling bersaing untuk menemukan dan mendidik artis terbaik mereka untuk bersaing dengan satu sama lain.
SM Entertainment, misalnya, berhasil menjadi salah satu label terbesar dalam sejarah K-pop. Pada tahun 1998, SM Entertainment memulai gebrakannya di dunia musik dengan grup bernama Shinhwa, yang mana merupakan salah satu grup K-pop yang paling bertahan lama di industri musik Korsel.
Kesuksesan label dengan grup atau artisnya yang besar ini krang lebih menunjukkan bagaimana para artis ini punya peran signifikan, yakni penyumbang bagi branding dan profit. Layaknya investasi, mereka juga menjadikan label mereka turut tumbuh.
Lantas, apa kaitan antara persaingan antar-label di K-pop dengan dinamika politik di Indonesia?
Menariknya, partai-partai politik di Indonesia bisa dianalogikan dengan para label di industri K-pop. Merekapun saling bersaing untuk menjangkau para penggemar (alias pemilih).
Mengapa demikian? Alasannya adalah partai-partai politik kini memiliki diferensiasi yang semakin tipis di antara satu sama lain.
Dengan dinamika elektoral yang semakin terpusat pada persona individu politisi, partai politik semakin bergantung pada kader dan kandidatnya untuk membangun branding politik mereka, layaknya label-label di industri K-pop.
Mungkin, layaknya SM Entertainment yang akhirnya bisa menjaga kesuksesannya sejak akhir dasawarsa 1990-an dengan Shinhwa, PDIP-pun berhasil menjaga momentum politiknya selama dua periode dengan kader-kader seperti Joko Widodo (Jokowi). Namun, bagaimana kelanjutan persaingan antara “label-label” politik ini usai putusan MK yang menghapus PT?
Jokowi dan “Ancaman” dari Anies?
Kesuksesan SM Entertainment, YG Entertainment, dan JYP Entertainment tentunya bukan hanya sekadar berarti profit. Label-label besar ini juga akhirnya memiliki modal untuk menumbuhkan branding mereka sendiri.
Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan menggunakan modal itu untuk menemukan, menumbuhkan, hingga memasarkan artis-artis berbakat mereka, mulai dari artis-artis lama hingga artis-artis baru yang masih belia.
Marta Escudero dari University of Westminster melalui tulisannya yang berjudul “The Evolution of the Korean Pop Industry and the Influence in the Western Culture, Social Media and Audience Response” menjelaskan bahwa artis baru memiliki kesempatan besar untuk menjadi terkenal bila bergabung dengan tiga label raksasa tersebut.
Sering kali, label-label kecil kesulitan untuk bisa bersaing dengan label-label besar tersebut. Dengan modal yang besar, label-label besar juga punya kemungkinan yang lebih besar untuk bisa tetap kompetitif dalam persaingan.
Nah, ini juga berlaku dalam politik Indonesia. Partai-partai politik besar memiliki modal yang bisa membuat mereka tetap kompetitif dalam memenangkan suara dalam pemilihan umum (pemilu), misal melalui biaya kampanye dan koneksi yang mereka miliki.
Dominasi partai-partai besar ini juga didukung dengan aturan PT yang membuat para kandidat potensial di Pemilihan Presiden (Pilpres) mau tidak mau sulit menjaga daya tawar tinggi bila berhadapan dengan partai-partai ini. Partai-partai besar punya kendali luas untuk menentukan siapa yang berhak maju.
Dengan dihapusnya ketentuan PT, kini satu modal besar partai, yakni modal perolehan suara di pemilu sebelumnya, tidak lagi menjadi faktor penentu utama dalam penentuan kandidat. Alhasil, individu-individu yang bukan bagian dari partai besar bisa punya kesempatan lebih besar.Anies Baswedan yang tidak tergabung dalam partai manapun, misalnya, bisa saja memiliki kesempatan lebih besar untuk maju di Pilpres. Bukan tidak mungkin, individu-individu seperti ini bisa menjadi “ancaman” bagi para politisi yang sudah established dan memiliki koneksi dan pengaruh kuat di partai politik, misal Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai masih berpengaruh di banyak partai politik. (A43)