Berbagai isu dan spekulasi memang muncul pasca pertemuan Prabowo Subianto dengan Megawati Soekarnoputri. Salah satu yang belakangan diperbincangkan adalah terkait posisi Ketua MPR sebagai jabatan yang tengah diperjuangkan Prabowo dan partainya, Gerindra. Konteks ini disebut-sebut lahir karena munculnya wacana amandemen terbatas UUD 1945. Pendekatan politik yang terjadi dan bahasa politik yang ditampilkan memang membuat beberapa pihak menduga deal tersebut tinggal menunggu waktu. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
“Our constitution is a ray of hope: H for harmony, O for Opportunity, P for people’s participation and E for equality”.
:: Narendra Modi, Perdana Menteri India ::
Panasnya perebutan kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi salah satu babak dalam pertarungan politik di seputaran rekonsiliasi yang sedang digalakkan oleh kubu Joko Widodo (Jokowi) dengan rival politiknya, Prabowo Subianto. Bukan tanpa alasan, kursi pimpinan lembaga tinggi negara ini menjadi salah satu pos yang menggiurkan bagi banyak pihak.
Selain karena posisinya yang cukup prestisius, Ketua MPR adalah salah satu sentral kepemimpinan nasional, sekalipun peran lembaga tersebut belakangan memang tak sebegitu penting jika dibandingkan dengan saat Indonesia baru mengalami pergolakan kekuasaan setelah jatuhnya Soeharto di tahun 1998.
Sebelumnya kursi puncak lembaga ini diincar oleh tokoh-tokoh dari kubu Jokowi-Ma’ruf Amin. Sebut saja Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin yang secara terang-terangan “mengampanyekan” dirinya untuk jabatan tersebut. Partai lain, Golkar, juga mengemukakan keinginan yang sama.
Sementara di kubu oposisi, awalnya ada PAN sebagai petahana di kursi tersebut yang kembali ingin merengkuh jabatan tersebut. Belakangan, Partai Gerindra juga secara terbuka mensyaratkan kursi ini sebagai bagian dari rekonsiliasi pasca Pilpres.
Bahkan, posisi Gerindra ini menjadi semakin kuat setelah pertemuan antara Megawati dan Prabowo terjadi beberapa hari lalu. Pertemuan dua tokoh sentral politik nasional ini memang menjadi showcase cairnya peta politik di tingkatan elite, pun terkait makin terbukanya peluang Gerindra merengkuh posisi Ketua MPR.
Bagi partai berlambang kepala burung tersebut, posisi Ketua MPR adalah pertaruhan yang masuk akal untuk tetap menjaga peluang merebut kepemimpinan di tingkat nasional. Apalagi, wacana amandemen UUD 1945 semakin kuat berhembus, pun dengan keinginan untuk mengembalikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) – dua hal yang berhubungan erat dengan fungsi MPR.
Konteks amandemen UUD 1945 menjadi menarik karena berpotensi mengubah sistem politik yang kini telah berjalan di Indonesia, termasuk terkait jabatan presiden dan wakil presiden yang – jika benar-benar terjadi – bisa dikembalikan pemilihannya seperti pada era Orde Baru. Di era tersebut presiden dan wakil presiden memang dipilih oleh MPR.
Pertanyaannya adalah apakah deal terkait posisi ini benar-benar tercapai di antara Mega dan Prabowo, mengingat posisi menguntungkan yang kini dimiliki oleh PDIP sebagai pemenang Pemilu dan bisa juga merengkuh posisi pucuk di lembaga legislatif tersebut?
Merebut Kesaktian Ketua MPR
MPR memang menjadi salah satu sentral politik di Indonesia, terutama pasca berakhirnya rezim Orde Baru.
Saat Soeharto berkuasa, MPR memang berperan penting, terutama dalam fungsinya memilih presiden. Namun, mengingat dominannya kekuasaan Soeharto kala itu, posisi MPR tak banyak berpengaruh dan dianggap sekadar sebagai alat legitimasi kekuasaan sang jenderal.
Konteks tersebut berubah saat Soeharto jatuh. Kewenangan MPR untuk mengamandemen UUD 1945 menempatkannya sebagai sentral politik. Selain itu, MPR mengambil tempat sebagai representasi kekuasaan rakyat atas negara pada tataran yang paling tinggi.
Lembaga ini memang punya kewenangan yang besar, termasuk terhadap kekuasaan eksekutif karena bisa memberhentikan presiden dan wakil presiden jika dianggap melanggar UUD 1945. Akibatnya, posisi pimpinan tertinggi di lembaga ini menjadi sangat bergengsi.
Walaupun posisi Ketua MPR hanya bersifat fungsional dan kekuatan utama lembaga tersebut tetap ada di anggota, namun jabatan ini tetap berperan penting dalam konteks pembentukan agenda dan lobi-lobi politik di dalamnya. Ketuk palu Ketua MPR juga ikut menentukan berlaku atau tidaknya sebuah kebijakan tertentu.
Publik tentu masih ingat bagaimana kekuatan politik Amien Rais yang menjabat sebagai Ketua MPR di sekitaran tahun 1998. Amien misalnya dituduh “bertanggung jawab” terhadap naiknya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Presiden, dan dia pula lah yang menjatuhkan kiai NU tersebut dari kekuasaan.
Walaupun kini kewenangan Ketua MPR tidak lagi sebesar di era Amien, namun jabatan tersebut masih sangat prestisius.
Saat kursi tersebut diduduki oleh Taufik Kiemas, publik juga menyaksikan bagaimana suami dari Megawati Soekarnoputri itu membawa MPR menjadi motor penggerak 4 pilar kebangsaan. Taufik juga menjadi sentral hubungan kekuasaan antara pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan PDIP dan Megawati sebagai oposisi.
Baik Amien maupun Taufik adalah ejahwantah kuatnya posisi Ketua MPR, setidaknya dalam konteks perimbangan kekuasaan di hadapan eksekutif.
Adapun posisi Ketua MPR untuk periode 2019-2024 semakin sentral karena munculnya wacana akan dihidupkannya kembali GBHN. Semua faksi politik tentu ingin ambil bagian dalam proses tersebut, termasuk kepentingan yang bisa diselipkan di dalamnya.
Wacana lain yang juga muncul adalah tentang akan diamandemennya UUD 1945 secara terbatas. Hal terakhir ini membuat beberapa partai politik ngotot mengincar kursi pimpinan yang dianggap bisa mendorong terwujudnya hal tersebut.
Partai seperti PDIP misalnya, sudah terang-terang menginginkan pimpinan MPR yang bisa memfasilitasi amandemen UUD 1945. Bahkan, dalam salah satu kesempatan disebutkan sudah ada dua panitia ad hoc (PAH) yang diusulkan untuk dibentuk, yaitu PAH I mengenai haluan negara yang dipimpin oleh politisi PDIP Ahmad Basarah dan PAH II tentang rekomendasi MPR yang dipimpin politisi Golkar Rambe Kamarulzaman.
Menariknya, Gerindra juga merasa berhak ada di puncak kekuasaan lembaga ini karena visi besar yang ada dalam Manifesto partai tersebut untuk mengembalikan UUD 1945 ke versi aslinya sebelum diamandemen – sekalipun juga dipengaruhi oleh kondisi politik yang terjadi saat ini. Hal inilah yang membuat pertemuan Megawati dan Prabowo seolah-olah menyiratkan persinggungan kepentingan dalam konteks amandemen UUD 1945 tersebut.
Meski demikian, konteks amandemen UUD 1945 ini di sisi lain memang menjadi sangat rawan karena MPR sedang menjalankan kewenangannya “bermain” dengan konstitusi negara. Kata “bermain” menjadi layak untuk dipakai jika berkaca dari isu yang muncul di seputaran amandemen UUD 1945 pasca kejatuhan Soeharto, di mana banyak yang menuduh negara ini sudah “diperjualbelikan” oleh oknum-oknum yang ikut dalam proses amandemen tersebut.
Yang jelas, jika kursi Ketua MPR memang benar-benar dikejar oleh Gerindra, maka motivasi politik yang ada di belakangnya memang tidak bisa dianggap sepele. Laporan Tempo misalnya menyebutkan posisi ini sebagai salah satu yang diajukan sebagai syarat rekonsiliasai pasca Pilpres. Adapun nama Sekjen Gerindra Ahmad Muzani disebut-sebut sebagai sosok yang diusulkan oleh partai tersebut.
Pun jika amandemen UUD 1945 menjadi hal yang dikejar oleh baik Gerindra maupun PDIP. Jika konteksnya adalah untuk meningkatkan posisi tawar, maka keduanya memang berebut kesaktian tuah kursi tersebut.
Ujung Deal Mega-Prabowo
Wacana amandemen UUD 1945 memang telah dibahas dalam 3 periode terakhir kekuasaan di MPR. Namun, hingga saat ini muaranya tak kunjung jelas. Artinya, wacana ini memang bisa saja hanya menjadi manuver politik untuk sekadar meningkatkan posisi politik. Dengan demikian, memang ada motif politik yang bisa dilihat di balik manuver yang terjadi.
Motif politik ini salah satunya disorot oleh James C. Davies dalam tulisannya untuk jurnal The Western Political Quarterly edisi tahun 1959. Davies menggunakan istilah political motivation atau motivasi politik untuk menyebut langkah yang diambil oleh seseorang ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan.
Jelas bahwa political motivation ini ada dalam manuver Gerindra. Sebagai faksi politik yang kalah dalam kontestasi elektoral di 2019 ini, memang mau tidak mau pilihan rasional harus diambil untuk tetap menjaga posisi politiknya di hadapan faksi politik yang menguasai pemerintahan.
Persoalannya adalah apakah amandemen UUD 1945 memang benar-benar menjadi ujung deal politik yang terjadi di antara Megawati dan Prabowo?
Tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, konteks perubahan UUD 1945 ini juga sangat mungkin bisa terjadi karena dinamika yang bergejolak di level internasional, terutama di Amerika Serikat (AS). Negara tersebut memang disebut-sebut ada di balik demokratisasi Indonesia.
Namun, kini AS dipimpin oleh Donald Trump yang dianggap tidak terlalu peduli dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Bahkan beberapa pihak menyebut Trump juga sebenarnya tak tahu di mana letak Indonesia. Artinya, jika kini terjadi perubahan signifikan dalam konteks konstitusi Indonesia, banyak yang menyebut bahwa hal ini bisa terjadi karena dinamika politik tersebut.
Bagaimanapun juga, amandemen UUD 1945 di sekitaran tahun 1998 telah mengubah banyak hal di Indonesia, termasuk membawa negara ini masuk dalam liberalisme pasar bebas dengan segala dampaknya.
Pada akhirnya, perebutan kursi Ketua MPR dan motif politik di belakangnya masih akan menjadi diksursus pasca Pemilu. Yang terpenting, jika memang akan diamandemen, UUD 1945 tetap harus diupayakan untuk menjamin kehidupan masyarakat banyak. Sebab, seperti kata Narendra Modi di awal tulisan, konstitusi sudah selayaknya memberikan harapan. (S13)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.