Site icon PinterPolitik.com

Amandemen Terbatas, Apa Pantas?

Sidang MPR RI (Foto: Sindo Photo)

Usulan amandemen terbatas UUD 1945 berhembus di pertemuan MPR dengan BPIP.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]intu ruangan di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen ditutup rapat-rapat. Di dalam ruangan tersebut tengah dihelat sebuah pertemuan orang-orang penting bangsa ini. Diketahui bahwa pertemuan ini dilakukan oleh MPR dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Banyak yang bertanya-tanya mengapa pertemuan tersebut perlu digelar secara tertutup. Sepenting apa isi pembicaraan di dalam ruangan tersebut, sehingga hanya orang dalam saja yang perlu tahu. Pertanyaan akhirnya terjawab, pertemuan tersebut menghasilkan usulan perubahan penting: amandemen terbatas UUD 1945.

Menurut Ketua MPR Zulkifli Hasan, amandemen terbatas ini diperlukan untuk menghadirkan haluan kepada pembangunan negara ini. Haluan ini nantinya memiliki kemiripan dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dulu pernah ada.

Perubahan seperti amandemen tentu bukan sesuatu yang harus dihindari, tetapi mengapa perubahan perlu dilakukan saat ini? Perubahan apa yang diharapkan dari amandemen terbatas tersebut?

Di Balik Usulan Amandemen Terbatas

Bangsa ini telah menjalani perjalanan cukup panjang sejak tahun 1945. Sejak saat itu, perubahan terhadap konstitusi negara yaitu UUD 1945 pernah beberapa kali dilakukan. UUD pernah mengalami penggantian versi dan juga amandemen.

Amandemen terhadap konstitusi adalah hal yang wajar dilakukan. Perubahan pada konstitusi dapat memberikan penyesuaian terhadap beberapa aspek di dalam konstitusi itu. Hal ini sejalan dengan pandangan John Locke yang diadopsi masyarakat AS. Jika konstitusi dianggap sudah tidak lagi memberikan kebahagiaan pada masyarakat, maka konstitusi tersebut dapat diganti kapan saja.

Jika melihat empat amandemen yang sudah dilakukan, urgensi dari perubahan tersebut kebanyakan adalah soal kekuasaan. UUD 1945 pra-amandemen seolah menjadi sebuah bukti legal dari sebuah rezim bernama Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan selama 30 tahun.

Lalu apa urgensi amandemen yang diusulkan saat ini? Melihat pernyataan Zulkifli, ia menilai bahwa sejak 20 tahun amandemen terakhir dilakukan, perlu dilakukan evaluasi. Ia menilai bahwa ada persoalan bangsa terkini yang perlu dibenahi dengan melakukan perubahan pada konstitusi negara tersebut.

Menurut Ketua Umum PAN tersebut, negara ini memerlukan sebuah haluan tertentu. Terungkaplah bahwa haluan negara yang dimaksud ini memiliki kesamaan dengan GBHN yang sangat tenar di era pemerintahan Soeharto.

Tanpa GBHN, pembangunan di Indonesia disebut tidak berjalan secara berkesinambungan. Setiap kali terjadi pergantian jabatan, seluruh rencana pembangunan harus dimulai lagi dari awal, sehingga seolah tidak terjadi perubahan berarti.

Menghidupkan kembali GBHN, umumnya sepaket dengan mengembalikan wewenang MPR. Lembaga ini akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara. MPR kemudian memiliki kewenangan untuk menentukan haluan negara tersebut.

Amandemen terbatas ini juga disebut-sebut dilakukan untuk menjawab sejumlah persoalan bangsa yang terjadi belakangan ini. Menurut Zulkifli, persoalan seperti isu SARA dan korupsi kepala daerah bisa dibenahi dengan melakukan amandemen terbatas UUD 1945.

Mendorong Perubahan Konstitusi

Salah satu pemandangan menarik adalah beberapa pihak yang terlibat dalam pengusulan amandemen terbatas ini, yaitu Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri yang juga merupakan Ketua Umum PDIP.

Jika melihat sejarah amandemen, fraksi PDIP justru adalah fraksi yang paling ngotot agar amandemen tidak dilakukan. Hal ini terlihat misalnya kiprah mereka untuk menggalang dukungan agar amandemen tersebut dihentikan.

Meski begitu, belakangan partai berlogo banteng tersebut justru mendorong adanya amandemen terhadap UUD 1945. Hal ini terungkap misalnya pada Rakernas I PDIP yang digelar tahun 2016. Amandemen terbatas menjadi salah satu dari 22 poin yang dihasilkan pertemuan tersebut.

Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua MPR Zulkifli Hasan (Foto: Kumparan)

Aktor lain dalam pengusulan ini adalah Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sendiri. Seperti PDIP, PAN juga sempat mengusulkan adanya amandemen terhadap UUD 1945. Sesepuh partai matahari ini, Amien Rais, pernah mengungkapkan urgensi perubahan pada UUD 1945.

Sebagai partai yang membidani dan besar di era reformasi, mengapa PDIP dan PAN justru mendorong kembalinya GBHN dan fungsi MPR yang populer di masa Orde Baru? Di atas kertas, PDIP bisa saja menyebut bahwa mereka ingin mengembalikan gagasan Soekarno. Mereka berdalih bahwa GBHN Soekarno berbeda dengan GBHN Soeharto.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang justru bertentangan dengan semangat reformasi. Menghidupkan kembali GBHN bisa saja membangkitkan kembali luka lama di era pemerintahan Orde Baru. Menurut pakar hukum tata negara Saldi Isra, menghidupkan kembali GBHN di era ini adalah hal yang sulit, karena adanya batasan masa jabatan presiden.

Melihat pernyataan tersebut, menghidupkan GBHN memiliki risiko tertentu. Perlu ada pemimpin seperti Soekarno atau Soeharto yang memiliki otoritas kuat. Hal ini berarti GBHN harus disertai pemimpin -atau setidaknya rezim- yang berkuasa dalam waktu yang panjang.

Mengembalikan GBHN juga berarti mengembalikan wewenang MPR. Hal ini juga bertentangan dengan semangat reformasi yang dibawa PAN dan PDIP. Di negara dengan sistem presidensial, memberikan wewenang begitu besar bagi lembaga seperti MPR, tentu adalah hal membingungkan. Idealnya, di sistem presidensial lembaga tertingginya adalah presiden bukan MPR.

Amandemen dan Campur Tangan Asing

Pada tataran yang ideal, amandemen terhadap UUD 1945 tentu ditujukan untuk seluas-luasnya kebutuhan masyarakat. Perubahan dilakukan untuk menjawab tantangan zaman sehingga konstitusi bisa menjawab persoalan-persoalan bangsa terkini.

Meski begitu, bagi beberapa kalangan, proses pengusulan amandemen ini erat kaitannya dengan campur tangan kekuatan asing. Disinyalir ada intervensi mancanegara di balik setiap rencana perubahan konstitusi negara tersebut. Hal ini misalnya terlihat pada amandemen yang terjadi terdahulu.

Salah satu yang terungkap, misalnya adalah soal keterlibatan IMF dalam melakukan amandemen dalam beberapa poin UUD 1945. Keterlibatan ini disebut-sebut membuat konstitusi negara ini menjadi penuh dengan aroma neoliberalisme.

Dalam catatan Salamuddin Daeng, peneliti dari Institute For Global Justice (IGJ), terungkap bahwa dalam puluhan Letter of Intent (LoI) dan Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dengan IMF, ada perintah soal pasal mana saja yang harus diubah di dalam UUD 1945.

Pengamat ekonomi Rizal Ramli juga mengungkapkan hal yang serupa. Menurutnya, IMF dan Bank Dunia banyak menitipkan kepentingan di dalam amandemen UUD 1945. Tidak hanya itu, menurut Rizal, mereka juga terlibat dalam pembuatan banyak UU di bawahnya.

Campur tangan asing juga disebut-sebut dilakukan sebuah LSM asal Negeri Paman Sam, yaitu National Democratic Institute (NDI). LSM ini memiliki program untuk mereformasi konstitusi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Disebutkan bahwa NDI mengucurkan dana hingga 4,4 miliar dollar AS untuk melakukan perubahan legislasi di Indonesia.

Keterlibatan NDI ini sendiri, pernah dikeluhkan oleh anggota fraksi PDIP Amir Aryoso pada amandemen UUD 1945 tahun 2002. Menurutnya, Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja (BP) MPR menerima dana dari luar negeri melalui LSM tersebut.

Melihat pola tersebut, menarik untuk diketahui apakah usulan amandemen terbatas ini juga mendapat pengaruh asing. Jika amandemen dilakukan secara tiba-tiba dan tergesa-gesa, bisa saja publik menduga ada campur tangan asing dalam rencana perubahan konstitusi tersebut.

UUD 1945 memang bukan sebuah kitab suci, sehingga amandemen padanya adalah hal yang sah-sah saja. Akan tetapi, perubahan perlu dilakukan dengan kajian mendalam, sehingga amandemen tidak hanya memenuhi kebutuhan segelintir kelompok saja. (H33)

Exit mobile version