Akibat konflik Ukraina, kesadaran atas kebutuhan alutsista menjadi tidak terhindarkan. Terkait ini, Presiden Jokowi sebenarnya sudah sejak lama menekankan pentingnya produksi alutsista nasional agar tidak bergantung pada impor. Lantas, mengapa Indonesia sulit mengembangkan industri pertahanan dalam negeri? Apakah alutsista dalam negeri hanya merupakan mitos atau jargon politik?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali marah-marah. Dalam acara Afirmasi Bangga Buatan Produk Indonesia yang digelar di Bali pada 25 Maret, RI-1 menyoroti berbagai kementerian yang masih mengandalkan produk impor untuk kegiatan operasionalnya.
“Bodoh sekali kita kalau tidak melakukan ini,” ungkap Presiden Jokowi. Jika belanja diarahkan ke produk dalam negeri, ini tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, melainkan juga membuka lapangan pekerjaan.
Sedikit jauh ke belakang, tepatnya pada 27 Januari 2020, Presiden Jokowi juga telah meminta pengembangan industri pertahanan lokal untuk mengurangi ketergantungan terhadap barang-barang impor.
Ya, ini adalah pekerjaan rumah (PR) Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan (Menhan). Pada 12 Februari, Indonesia menjalin kontrak dengan Dassault Aviation SA untuk pengadaan 42 pesawat tempur Rafale. Nilai kontraknya fantastis, sebesar US$8,1 miliar atau sekitar Rp 116,4 triliun.
kembali mengutip pernyataan Presiden Jokowi pada 25 Maret, bukankah angka besar itu akan sangat membantu perekonomian dalam negeri jika industri pertahanan nasional telah dikembangkan?
Apalagi, di tengah tensi politik dunia, mulai dari pakta pertahanan AUKUS hingga konflik Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, kebutuhan atas alutsista tengah meningkat.
Merespons ketegangan di Ukraina, Jerman sampai mengeluarkan langkah mengejutkan dengan meningkatkan belanja alutsista sebesar £100 miliar atau sekitar Rp1.563,8 triliun.
Selaku sosok yang sangat paham ketegangan semacam ini, Prabowo jelas tengah menaruh perhatian besar. “Kalau kau menghendaki perdamaian bersiaplah untuk perang,” ungkapnya pada 5 Maret. Itu adalah terjemahan adagium Latin yang sangat terkenal, sī vīs pācem, parā bellum.
Tangguh Chairil dalam tulisannya A self-reliant defence industry: a mission impossible for Indonesia?, menyebut pemerintah Indonesia telah membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) sejak tahun 2010 untuk membuat rencana induk pengembangan industri pertahanan.
Menurut Chairil, industri pertahanan Indonesia mencapai puncaknya di rezim Orde Baru ketika B.J. Habibie menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Di bawah Habibie, industri pertahanan menjadi sektor strategis.
Pemerintah Orde Baru mendirikan beberapa pemain besar industri pertahanan, seperti IPTN (sekarang Dirgantara Indonesia) yang memproduksi pesawat terbang. IPTN mengembangkan pesawat angkut CN-235 pada 1980-an. Namun, krisis keuangan Asia 1997 menghancurkan perkembangan industri pertahanan Indonesia.
Sekarang pertanyaannya, seperti yang juga menjadi keluhan Chairil, dengan sejarah dan potensi yang besar, mengapa industri pertahanan nasional berjalan stagnan? Mengapa kebutuhan alutsista masih mengandalkan impor?
Masalah Hulu yang Ada
Atas pertanyaan tersebut, ada berbagai jawaban yang terhampar. Masalah pertama terkait teknis pengadaan. Kita dapat mengutip dua dari empat analisis Imparsial tentang persoalan pengadaan alutsista TNI.
Pertama, pemerintah beberapa kali membeli alutsista dengan status bekas. Misalnya ketika Prabowo menyurati Menhan Austria, Klaudia Tanner untuk membeli 15 unit pesawat jet tempur Eurofighter Typhoon. Ini merupakan pesawat tempur bekas yang dibuat pada tahun 1983.
Austria bahkan disebut berencana memensiunkan pesawat ini karena dianggap menghabiskan anggaran negara. Karena yang dibeli adalah alutsista bekas, transfer teknologi (ToT) menjadi sulit dilakukan.
Kedua, ada dugaan keterlibatan broker dalam pengadaan alutsista. Misalnya pada pembelian Sukhoi masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggunakan jasa perantara, padahal kantor resminya ada di Jakarta.
Penggunaan jasa perantara membuat pengeluaran pemerintah membengkak karena harus memberikan komisi. Ya, singkatnya, ada kelindan bisnis di poin ini. Ada segelintir pihak yang mendapat keuntungan jika melakukan impor.
Kemudian, ada analisis yang sangat menarik dari pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Tanyanya singkat, “apa salahnya impor?”.
Menurut Fahmi, memproduksi sendiri tidak selamanya lebih efisien. Pasalnya, alutsista merupakan industri hilir, ini tidak akan berjalan baik apabila industri hulu belum dikembangkan, khususnya pengembangan industri besi dan baja lokal.
Melihat datanya, impor besi dan baja (HS 72) sepanjang 2021 mengalami kenaikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impornya meningkat 15 persen menjadi 13,03 juta ton, dari 2020 yang sebesar 11,35 juta ton.
Pengamat militer Connie Rahakundini dalam tulisannya Industri Baja dan Interdependensi Ekonomi Pertahanan, menjelaskan bahwa industri pertahanan dan industri pendukungnya bersandar pada industri baja, terutama produksi logam khusus (specialty metals).
Connie mencontohkan Amerika Serikat, negara yang menjadi produsen alutsista terbesar dunia. Di sana, industri baja adalah mitra penting bagi para kontraktor pertahanan dan Departemen Pertahanan (DoD). Logam dalam negeri digunakan hampir pada semua platform militer, seperti rudal, pesawat jet, kapal selam, helikopter, dan amunisi.
Menurut Connie, ini menunjukkan betapa pentingnya industri baja yang berkualitas untuk mendukung basis industri pertahanan negeri Paman Sam.
Seperti pernyataan Deputi Wakil Menhan AS, Gary A. Powell, “There is no question that specialty metals are critical to the national defense, and the U.S. specialty metals industry is a very important supplier of these materials to various defense contractors.” Tidak ada keraguan bahwa industri baja sangat penting bagi industri pertahanan AS.
Menurut Khairul Fahmi, tanpa mengembangkan terlebih dahulu industri hulu, terutama industri besi dan baja yang memproduksi logam khusus, kita hanya bisa membeli lisensi dan menjadi tukang rakit alutsista.
Tekanan Internasional?
Masalah selanjutnya adalah faktor politik internasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa CAATSA, yakni Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi, merupakan faktor penghambat transaksi alutsista. Pasalnya, Amerika Serikat (AS) akan menjatuhkan sejumlah sanksi pada negara yang melakukan transaksi senjata dengan Rusia, Iran, dan Korea Utara.
Pengamat militer ISESS Khairul Fahmi juga telah lama menduga kuat bahwa CAATSA didesain untuk menjadi alat tekan dan memperbesar peluang bisnis AS.
Bahkan tidak hanya AS, dalam pengamatannya, CAATSA juga dilihat Fahmi menguntungkan sekutu AS di Eropa. Pasalnya, dengan adanya larangan, produsen alutsista Eropa juga mendapatkan banjir pesanan karena menjadi alternatif pilihan. Ini terlihat jelas dari manuver Prabowo yang mendekati berbagai negara Eropa seperti Austria dan Prancis.
Dalam perspektif bisnis, ini melahirkan adagium, “military industry not for every country”. Mengacu pada rumus dasar supply and demand, jika produsen alutsista semakin banyak, ini akan mengurangi harga produk, dan sekaligus mengurangi keuntungan.
Kemudian, jika melihatnya dalam perspektif keamanan global, jika pemain industri pertahanan bertambah banyak, ini berpotensi meningkatkan ketegangan internasional. Jordi Calvo Rufanges dalam tulisannya No business without enemies: War and the arms trade, menyebutkan bisnis senjata membutuhkan konflik dan perang.
Artinya, industri ini bergantung pada tetesan darah dan air mata. Ini misalnya dapat dilihat dari pernyataan terbuka dua industri pertahanan raksasa asal AS, Raytheon dan Lockheed Martin, yang menyebut ketegangan antar negara, seperti konflik Rusia-Ukraina, bagus untuk bisnis (good for business).
Well, sebagai penutup, kita dapat merinci dua masalah utama. Pertama adalah faktor industri hulu yang belum berkembang. Kita butuh industri besi dan baja yang memproduksi logam khusus.
Kedua, ini sepertinya juga berkaitan dengan yang pertama. Karena industrinya belum memungkinkan, sulit membayangkan Indonesia akan menantang pemain-pemain lama industri pertahanan, khususnya Amerika Serikat.
Jika masalah industri besi dan baja, serta industri pendukungnya tidak menjadi perhatian utama, secara meyakinkan dapat dikatakan, produksi alutsista dalam negeri hanya akan menjadi mitos dan jargon politik semata. (R53)